Analisis

Waduh! 3 Saham Konstruksi Ini Paling Ambruk, Masih Minat?

Aldo Fernando, CNBC Indonesia
18 March 2021 09:21
Pembangunan Tol Padang - Pekanbaru Dimulai
Foto: Biro Komunikasi Publik Kementerian PUPR

Jakarta, CNBC Indonesia - Mayoritas saham emiten konstruksi ditutup di zona hijau pada Rabu (17/3/2021). Penguatan tersebut diikuti oleh aksi beli bersih oleh asing serta ditopang sentimen positif mengenai relaksasi tarif pajak penghasilan (PPh) final jasa konstruksi.

Namun, apabila menilik gerak saham selama sebulan, kinerja saham emiten konstruksi tercatat jeblok.

Pertanyaannya, saham emiten konstruksi apa saja yang mencatatkan kinerja paling ambles selama sebulan terakhir? Kemudian, bagaimana prospek emiten-emiten konstruksi tersebut ke depannya?

Berikut ini tabel mengenai gerak saham-saham emiten konstruksi pada penutupan pasar, Rabu (17/3/2021):

Berdasarkan tabel di atas, setidaknya ada tiga emiten konstruksi dengan catatan kinerja saham paling merosot selama sebulan terakhir. Ketiga saham tersebut, yakni ACST, WIKA dan PTPP.

NEXT: Analisis ACST, WIKA & PTPP

Acset Indonusa (ACST)

Emiten konstruksi Grup Astra ini tercatat menjadi saham dengan kinerja teranjlok selama sebulan, yakni 13,33%. Asing tercatat ramai-ramai melego saham ACST senilai Rp 4,28 miliar selama sebulan terakhir.

Sementara, pada perdagangan Rabu (17/3), berbeda dengan mayoritas saham konstruksi lainnya, ACST malah terjerembap di zona merah dengan terkoreksi 0,55% ke Rp 364/saham. Pelemahan tersebut dibayangi aksi jual bersih oleh asing sebesar Rp 40,82 miliar.

Praktis, ini membuat ACST berada di zona merah dalam tiga hari beruntun, atau sejak Senin (18/3).

Adapun menurut laporan keuangan perusahaan, sepanjang tahun lalu, ACST kembali membukukan rugi tahun berjalan menjadi Rp 1,34 triliun, dari rugi tahun sebelumnya sebesar Rp 1,13 triliun.

Pendapatan bersih perusahaan juga tercatat merosot 69,62% dari Rp 3,95 triliun pada 2019 menjadi Rp 1,20 triliun pada tahun lalu.

Setali tiga uang, total aset perusahaan menyusut sebesar 70,69%. Pada tahun lalu aset ACST sebesar Rp 3,06 triliun, sementara pada 2019 senilai Rp 10,44 triliun.

Adapun liabilitas ACST turun 73,13% menjadi Rp 2,73 triliun pada 2020, dari Rp 10,16 triliun pada tahun sebelumnya.

Selanjutnya, ekuitas perseroan naik menjadi Rp 275,31 miliar dari tahun 2019 yang sebesar Rp 228,33 miliar.

Mengenai rencana perusahaan tahun ini, per Februari 2021 ACST membukukan total kontrak baru sebesar Rp 140 miliar.

"Di tahun 2021, ACSET akan berupaya untuk mendapatkan proyek-proyek baru secara selektif dan memastikan bahwa proyek tersebut sesuai dengan kemampuan dan kapasitas operasional Perusahaan," jelas Sekretaris Perusahaan ACST Maria Cecilia kepada CNBC Indonesia, Kamis (17/3).

Maria menambahkan, sampai saat ini, ACST telah mencatatkan perolehan kontrak baru, yakni pembangunan fondasi Terowongan Silaturahmi Mesjid Istiqlal dan fondasi Menara BRI di Medan.

Kedua proyek tersebut dioperasikan oleh anak usaha ACST yang terspesialisasi di bidang fondasi, yakni Acset Pondasi Indonusa.

Di samping itu, ACST juga mendapatkan kontrak pekerjaan sipil Pembangkit Listrik Tenaga Mini Hidro (PLTM) Besai Kemu, di Provinsi Lampung.

Pada tahun ini, ACST masih akan tetap fokus mencari peluang pada tiga lini bisnis utama perusahaan, yakni fondasi, struktur dan infrastruktur.

"Kami juga selalu memperkaya keahlian kami dalam ketiga bidang usaha tersebut dengan diversifikasi," kata Maria.

Adapun strategi perusahaan dalam menjalankan fokus tersebut, di antaranya dengan mengutamakan prinsip safety dan quality sebagai prinsip utama kerja, melakukan perbaikan berkelanjutan untuk mencapai operational excellence, pemanfaatan teknologi engineering untuk meningkatkan efisiensi.

Kemudian, ACST juga aktif mencari peluang dengan mengutamakan kesesuaian kompetensi, memperkuat aliansi dengan mitra strategis, dan, terakhir, proaktif memperkaya keahlian guna menyediakan jasa konstruksi terintegrasi.

Wijaya Karya (WIKA)

Emiten pelat merah WIKA juga mencatatkan kinerja saham yang negatif selama sebulan, alias ambles 13,25%. Merosotnya saham emiten yang didirikan pada 1960 ini diwarnai aksi jual asing Rp 28,39 miliar dalam sebulan terakhir.

Berdasarkan publikasi laporan keuangan pada periode Januari-September 2020, WIKA hanya mencatat laba bersih sebesar Rp 50,19 miliar, atau ambles 96,28% dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya Rp 1,35 triliun. Padahal pada kinerja kuartal sebelumnya, WIKA masih mencatatkan laba bersih Rp 250,41 miliar untuk kinerja Januari-Juni 2020 atau per semester I-2020.

Hingga akhir September 2020, total aset WIKA sebesar Rp 61,43 triliun, turun sekitar Rp 680 miliar dibandingkan dengan akhir 2019.

Menurut, Corporate Secretary Wijaya Karya Mahendra Vijaya, tahun ini perusahaan menargetkan nilai kontrak baru sebesar sebesar Rp 40 triliun. Nilai ini naik dari realisasi kontrak baru sepanjang 2020 yang senilai Rp 23 triliun.

"Kita melihat bahwa kondisi ekonomi sudah membaik, ditambah optimisme dengan adanya vaksin. Selain itu pemerintah juga masih menganggarkan dana Rp 420 triliun untuk infrastruktur, sehingga kami optimis tahun ini jauh lebih baik," kata dia kepada CNBC Indonesia beberapa waktu lalu.

Tahun ini WIKA kembali menerbitkan surat utang, obligasi dan sukuk senilai total Rp 3 triliun, ini artinya akan menambah liabilitas perseroan. Surat utang ini ditawarkan dengan tingkat bunga sebesar 8,5% hingga 9,75% per tahun.

Penerbitan kali ini merupakan bagian dari penawaran umum berkelanjutan melalui Obligasi Berkelanjutan I dengan target dana Rp 4 triliun dan Sukuk Mudharabah Berkelanjutan I dengan target dana senilai Rp 1 triliun.

Pada Desember 2020 lalu perusahaan telah menerbitkan obligasi senilai Rp 1,5 triliun dan sukuk senilai Rp 500 miliar.

PP (PTPP)

Saham PTPP juga tercatat anjlok selama sebulan terakhir sebesar 10,19%. Asing pun tercatat ramai-ramai keluar dari saham ini dengan catatan jual bersih Rp 34,46 miliar dalam sebulan.

PTPP baru saja mempublikasikan kinerja keuangan yang kurang menggembirakan sepanjang tahun lalu. Berdasarkan laporan keuangan perusahaan, per akhir 2020 lalu PTPP terpaksa membukukan penurunan laba bersih yang tajam hingga 84,28% secara tahunan (year on year/YoY).

Sementara, sepanjang 2020 laba bersih perusahaan tercatat sebesar Rp 128,75 miliar, jatuh dari posisi akhir 2019 yang senilai Rp 819,46 miliar.

Turunnya laba bersih ini disebabkan karena pendapatan perusahaan juga mengalami kontraksi 32,84% YoY menjadi sebesar Rp 15,83 triliun. Nilai ini turun dari periode yang sama tahun sebelumnya yang sebesar Rp 23,57 triliun.

Kemudian, pada tahun ini, emiten pelat merah ini menargetkan memperoleh nilai kontrak baru senilai Rp 30,1 triliun. Angka ini naik sebesar 35% dari realisasi kontrak baru sepanjang 2020 yang senilai Rp 22,26 triliun.

Pada 14 Januari 2021, Corporate Secretary PTPP Yuyus Juarsa mengatakan seiring dengan kenaikan target kontrak baru ini, perusahaan juga menaikkan alokasi belanja modal (capital expenditure/capex) perusahaan yang menjadi senilai Rp 6,2 triliun.

Adapun dana capex ini akan didominasi untuk pengerjaan proyek jalan tol sebesar 37%, proyek pengembangan properti dan residential sebesar 9%, pengembangan kawasan dan bandar udara sebesar 12%. Sedangkan sisanya 33% akan dialokasikan untuk pengembangan investasi di anak perusahaan.

NEXT: Sentimen Positif Sektor Konstruksi

Setidaknya, ada dua sentimen utama yang menjadi pendorong saham konstruksi ke depan. Pertama, adanya kabar baik dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait dengan relaksasi tarif pajak penghasilan (PPh) final jasa konstruksi.

Kedua, dibentuknya Lembaga Pengelola Investasi (LPI) atau Sovereign Wealth Fund (SFW) yang bernama Indonesia Investment Authority (INA).

Sebelumnya, Presiden Jokowi dikabarkan telah menerima usulan Kementerian Keuangan untuk merevisi sejumlah aturan terkait perpajakan. Salah satunya, rencana penurunan tarif pajak penghasilan PPh final jasa konstruksi.

Restu Jokowi tersebut dituangkan dalam Keputusan Presiden (Keppres) 4/2021 tentang Program Penyusunan Peraturan Pemerintah. Aturan ini diteken Jokowi pada 8 Maret 2021, seperti dikutip CNBC Indonesia dalam lampiran Keppres, Rabu (17/3/2021).

Rencana penurunan tarif PPh final jasa konstruksi tertuang dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Perubahan Kedua Atas PP 51/2008 tentang Pajak Penghasilan dari Penghasilan Usaha Jasa Konstruksi. RPP ini berada dalam lampiran Keppres.

Melalui RPP ini, tarif PPh final atas pekerja konstruksi yang dilakukan oleh penyedia jasa dengan kualifikasi usaha orang perseorangan dan kualifikasi usaha kecil dipatok sebesar 1,75%, dari yang sebelumnya 2%.

Kemudian, tarif PPh final untuk pekerja konstruksi yang dilakukan oleh penyedia jasa selain penyedia jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha atau usaha orang perseorangan dan kualifikasi usaha kecil dipatok 2,65%, dari yang sebelumnya 3%.

Selanjutnya, pemerintah mematok tarif 3,5% tarif untuk konsultasi konstruksi yang memiliki kualifikasi usaha dan tarif 6% untuk konsultasi konstruksi yang dilakukan penyedia jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha.

Sovereign Wealth Fund (SWF)

Pada 16 Februari lalu, Presiden Jokowi mengumumkan jajarandewan direksi pengelola dana abadi Indonesia (Sovereign Wealth Fund/SWF) alias INA.

INA ditujukan agar pembiayaanpembangunan infrastruktur nasional bersumber dari pendanaan modal, bukan dari utang seperti yang dilakukan saat ini. Modal ini bersumber dari dana pemerintah, juga dari investasi lembaga-lembaga keuangan banyak negara yang akan diinvestasikandi Indonesia melalui INA.

SWF diprediksi akan menguntungkan saham konstruksi karena akan menjadi sumber pembiayaan baru bagi emiten kontraktor BUMN yang saat ini memiliki utang (leverage) yang tinggi.

Apalagi setelah CEO INA Ridha DM Wirakusumah mengatakan, pascapelantikan 16 Februari 2021, INA bisa menjadi kendaraan untuk mendanai proyek-proyek infrastruktur di Indonesia.

Meskipun tidak merinci secara spesifik, Ridha menyebut, banyak proyek infrastruktur yang menjanjikan di Indonesia, salah satunya adalah jalan tol.

Ridha menegaskan, pembentukan LPI tidak hanya digunakan untuk mencari modal semata. Melainkan juga menjadi sarana untuk memperbaiki kualitas infrastruktur di tanah air lebih baik.

Ridha menegaskan, jalan tol bukanlah pilihan satu-satunya. Eks bankir itu mengatakan, ada sejumlah proyek infrastruktur yang juga dilirik seperti bandara, pelabuhan, hingga infrastruktur di sektor jasa lainnya.

Informasi saja, pembentukan INA adalah mandat langsung UU Cipta kerja atau Omnibus Law.

Pemerintah diperkirakan akan menyuntikkan modal awal Rp 75 triliun dengan dana Rp 30 triliun berasal dari kas, aset negara, saham BUMN, dan piutang negara. Pada tahap pertama, SWF diharapkan bisa menghimpun dana hingga Rp 225 triliun.

Sejauh ini UEA, IDFC (International Development Finance Corporation) dan Softbank telah berkomitmen untuk memberikan US$ 52 miliar.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular