Analisis

Utang Menggunung & Kinerja Lesu, BUMN Karya Kompak Jual Aset

Feri Sandria, CNBC Indonesia
07 February 2022 13:20
Ruas jalan tol Cimanggis-Cibitung.
Foto: Ruas jalan tol Cimanggis-Cibitung. (Dok. Waskita Karya)

Jakarta, CNBC Indonesia - Kondisi ekonomi yang masih belum benar-benar pulih di tengah situasi pandemi menyebabkan likuiditas dan kinerja keuangan emiten BUMN karya terganggu. Utang jumbo yang semula ditargetkan untuk pertumbuhan usaha, kini malah menjadi ancaman signifikan.

Hingga akhir kuartal kedua tahun ini jumlah utang yang dimiliki oleh empat emiten karya cukup besar relatif terhadap total aset yang dimiliki. Penggunaan utang usaha untuk investasi dan modal kerja (leverage) dalam jumlah besar terlihat seakan seperti kebijakan 'tidak tertulis' yang diimplementasikan pihak manajemen.

Alhasil dalam situasi saat ini, banyak perusahaan harus memutar otak demi melakukan restrukturisasi agar perusahaan dapat tetap sehat dan beroperasi tanpa gangguan berarti.

Jika dilihat dari permukaan, kinerja BUMN karya terlihat baik-baik saja. Pada semester pertama tahun ini keempat perusahaan tersebut mampu membukukan laba bersih, meskipun emiten dengan laba bersih terbesar hanya mampu mengumpulkan Rp 252 miliar, dengan gabungan dari keempatnya hanya sebesar Rp 503 miliar.

Gabungan pendapatan BUMN karya di kuartal ketiga tersebut hanya setara dengan 4,7% laba Bank BNI (BBNI) sepanjang tahun 2021. Meskipun masih ada gap satu kuartal, walaupun laba emiten karya naik, sepertinya tidak cukup signifikan untuk bergerak jauh dari angka tersebut. Jika dibandingkan dengan laba gabungan tiga BUMN perbankan terbesar sepanjang 2021, laba emiten BUMN Karya sembilan bulan pertama tahun lalu bahkan tidak mencapai 1% nya.

Akan tetapi, torehan medioker tersebut menjadi positif jika dibandingkan dengan kinerja tahun sebelumnya, yang mana pada sembilan bulan awal ini PT Wijaya Karya Tbk (WIKA), PT Pembangunan Perumahan Tbk (PTPP) dan PT Adhi Karya Tbk (ADHI) mengalami pertumbuhan laba dengan PT Waskita Karya Tbk (WSKT) berbalik dari rugi menjadi memperoleh laba. Hingga akhir September 2020 lalu, total rugi bersih emiten karya mencapai Rp 2,53 triliun, akibat dari buruknya kinerja keuangan Waskita.

Adapun dari segi pendapatan dua BUMN karya tersebut mengalami penurunan dengan koreksi paling dalam dialami oleh Waskita, nyaris mencapai 40%. Sementara pertumbuhan pendapatan tertinggi dibukukan WIKA sebesar 12,17%.

Dari data kinerja perusahaan terlihat laba bersih PTPP melonjak hingga 207% sedangkan laba bersih WIKA tumbuh hingga 110%, dan tentu yang paling impresif lagi adalah Waskita yang mampu membalikkan keadaan dari semula mengalami kerugian lebih dari Rp 2,5 triliun hingga menjadi laba.

Namun kenaikan tersebut tidak bisa menjadi acuan utama dalam menjustifikasi kondisi perusahaan yang jika dilihat lebih dalam lagi, memiliki kondisi yang jauh lebih rumit dan kompleks.

Jika ditotal, secara keseluruhan utang dari keempat BUMN karya tersebut mencapai Rp 218,61 triliun dengan 144,99 triliun merupakan utang jangka pendek.

Total aset yang dimiliki sedikit lebih baik atau sebesar Rp 272,14 triliun, dengan total kas atau setara kas gabungan tercatat hanya sebesar Rp 15,04 triliun. Aset lancar gabungan keempat perusahaan adalah sejumlah Rp 139,35 atau lebih kecil dari gabungan kewajiban jangka pendek.

Total utang gabungan BUMN karya mencapai 4,03 kali jumlah liabilitas yang dimiliki, dengan kas atau setara kas hanya mampu menutup 12,41% dari total kewajiban perusahaan.

Angka tersebut sangat buruk yang mana jika aturan keras Xi Jinping terhadap perusahaan pengembang perumahan di China diterapkan di Indonesia, keempat emiten karya ini akan memperoleh rapor merah dengan konsekuensi tidak dapat menambah utang, karena likuiditas yang buruk.

Aturan yang dikeluarkan Beijing untuk mengekang perusahaan paling berutang di dunia, Evergrande, diberi nama 'three red lines' (tiga garis merah). Yang mana secara singkat, aturan tersebut merupakan pedoman bagi perusahaan properti untuk menentukan batas maksimal pertumbuhan utang tahunan yang bisa diperoleh.

Aturan ini terdiri dari tiga prasyarat yang mana jika perusahaan melewati satu batas yang ditentukan maka pertumbuhan utang tahunan dipotong 5%. Perusahaan yang memenuhi semua aturan utangnya diperbolehkan tumbuh maksimal 15%, sementara yang tidak memenuhi satu pun pertumbuhan utangnya dikekang total.

Three red lines atau tiga kriteria kondisi finansial yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut

Rasio utang terhadap aset (tidak termasuk penerimaan uang muka) kurang dari 70%

Net gearing ratio kurang dari 100% (membandingkan rasio utang terhadap likuiditas perusahaan)

Rasio kas terhadap hutang jangka pendek harus lebih dari 100%

China memberlakukan pedoman tersebut setelah pertemuan Agustus 2020 di Beijing yang dilatarbelakangi oleh tingkat utang pengembang yang meningkat, kenaikan harga tanah, dan penjualan rumah yang tidak terkontrol.

Berdasarkan kalkulasi dari Tim Riset CNBC Indonesia, tidak ada satu pun dari empat emiten karya yang mampu memenuhi kriteria yang diterapkan pemerintah Xi Jinping di China.

 

Rasio utang terhadap likuiditas (Debt to Equity Rasio/DER) terbesar BUMN karya dicatatkan ADHI yang nilai utang usaha mencapai 6,28x ekuitas perusahaan. Adapun nilai DER terkecil emiten karya dicatatkan oleh WIKA (2,73x) dan dikuti oleh PTPP (2,92x). Waskita sendiri memiliki DER 5,71x dengan jumlah utang terbesar dari semuanya atau mencapai Rp 89,93 triliun.

Tingginya nilai DER ini dapat diartikan bahwa pertumbuhan perusahaan sebagian besar disokong oleh utang usaha. Semakin tinggi nilainya semakin besar perusahaan mendanai proyek dan bisnis yang dimiliki dari pinjaman atau utang.

Jumlah utang jumbo tersebut tentu akan membuat pusing manajemen, apalagi mengingat sebagian besarnya adalah utang jangka pendek yang merupakan bagian paling krusial karena jika tidak diselesaikan dapat mengganggu kegiatan operasi.

Tingkat likuiditas juga dapat diukur dari kemampuan perusahaan membayar utang jangka pendek menggunakan aset lancar yang dimiliki. Dari keempat emiten tersebut hanya Waskita yang current rasio nya tidak mencapai 100%, artinya utang jangka pendek yang dimiliki perusahaan tersebut lebih kecil dari aset lancar atau dengan kata lain modal kerja perusahaan tercatat negatif.

Sementara itu jika harus melunasi utang jangka pendek hanya dari kas perusahaan emiten karya akan mengalami kesulitan, paling parah dialami Waskita dan ADHI yang kas masing-masing perusahaan hanya mampu membayar 4,44% dan 5,04% utang jangka pendek, disusul oleh PP dan Wika memiliki kondisi sedikit lebih baik yang nilainya secara berurutan sebesar 17,99% dan 22,82%.

Saat ini memang terdapat banyak faktor eksternal seperti kondisi ekonomi dan pandemi yang membuat perusahaan kesusahan dalam mengelola utang dan menjaga likuiditas. Akan tetapi ke depannya perusahaan tentu perlu berusaha lebih keras lagi mencari jalan keluar demi mengelola perusahaan yang dapat memuaskan kreditor dan pemegang saham khususnya serta pemangku kepentingan lain secara umum.

Belum lama ini salah satu emiten konstruksi, PT Waskita Karya Tbk (WSKT) telah merampungkan restrukturisasi utang perusahaan. Pada akhir September tahun lalu, sebanyak 21 bank telah sepakat untuk merestrukturisasi utang WSKT, di mana bank-bank tersebut memberikan keringanan berupa perpanjangan tenor hingga lima tahun ke depan dengan tingkat bunga yang kompetitif.

Selain itu upaya penyehatan likuiditas perusahaan juga dilakukan dengan menjual aset perusahaan berupa kepemilikannya di jalan tol Cibitung senilai Rp 2,44 triliun. Lebih dari itu, Waskita menegaskan akan mendivestasikan seluruh aset jalan tolnya hingga 2025 mendatang.

Rencana divestasi ini karena pembangunan jalan tol menimbulkan beban utang yang besar bagi perusahaan. Utang yang ditimbulkan oleh investasi jalan tol ini setidaknya mencapai Rp 53 triliun hingga Rp 54 triliun.

Selain itu dalam upaya perbaikan likuiditas Waskita baru-baru ini juga telah melakukan penambahan modal dengan memberikan hak memesan efek terlebih dahulu atau rights issue. Akan tetapi perusahaan tercatat hanya mampu menyerap Rp 9,44 triliun, dari target senilai Rp 11,93 triliun. Partisipasi publik tercatat hanya 62%, dengan pemerintah mengambil selurah haknya.

Selain Waskita, lima Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Sektor Konstruksi lain juga berencana untuk melakukan monetisasi atas persediaan properti yang dimilikinya. Langkah ini dilakukan dengan menggandeng PT Danareksa (Persero) sebagai konsultan utama dalam program penjualan tersebut.

"Danareksa yang bertindak selaku konsultan utama dalam Program Penjualan, menawarkan kesempatan kepada calon pembeli untuk memperoleh dan berinvestasi langsung pada persediaan properti yang dimiliki, dikendalikan, dan dikelola oleh BUMN Konstruksi," tulis keterangan Dareksa, dikutip Jumat (4/2/2022).

Dalam keterangan tersebut, persediaan properti yang ditawarkan dalam program ini berupa landbank, apartemen, rumah tapak, komersial retail dan lainnya. terdiri dari 87 properti dengan luas keseluruhan sekitar 1.900 hektare (Ha) yang sebagian diantaranya dikelompokkan dalam beberapa paket.

Langkah ini dilakukan untuk mempercepat peningkatan kinerja BUMN di sektor ini pasca pandemi dan dalam rangka transformasi perusahaan selama dua tahun ke depan sejalan dengan arahan Menteri BUMN.

PT Wijaya Karya Tbk (WIKA) dan anak usahanya menawarkan para investor untuk berinvestasi pada 17 properti yang tersebar di kota-kota besar di Indonesia yang terdiri dari lahan, unit apartemen, dan rumah tapak.

"Properti yang akan ditawarkan melalui mekanisme bulk, sebagian secara berkelompok (clustered) dan sebagian berdiri sendiri (standalone)," tulis manajemen Wika.

Sedangkan PT PP Tbk (PTPP) akan melepas 19 aset propertinya yang merupakan milik anak usahanya PT PP Properti Tbk (PPRO) dan PT PP Urban.

Terdapat 19 aset properti yang terdiri dari high rise building (student apartment, premium apartment hingga low-medium apartment) dan lahan kosong (landed) dengan total luasan area sebesar 46,1 hektar.

"Sejalan dengan program transformasi perusahaan BUMN yang dicanangkan oleh Menteri BUMN RI Erick Thohir, PTPP berharap dengan aksi korporasi tersebut dapat meningkatkan kinerja induk dan anak perusahaan," kata Agus Purbianto, Direktur Keuangan & Manajemen Risiko PTPP.

Ini merupakan bagian dari upaya percepatan asset recycling di bidang properti perusahaan.

PT Hutama Karya (Persero) juga terlibat dalam proses tersebut, rencananya sebanyak tujuh aset persediaan di beberapa lokasi akan dilepas. Aset tersebut dalam bentuk lahan siap bangun hingga bangunan vertikal, dimana salah satu diantaranya merupakan hunian mixed-used yang terintegrasi dengan transportasi publik dan jalan tol.

EVP Sekretaris Perusahaan Hutama Karya Tjahjo Purnomo mengatakan rogram ini selaras dengan arahan dan fokus Kementerian BUMN dan juga proses transformasi perusahaan.

"Program ini merupakan salah satu langkah perusahaan dalam melaksanakan proses transformasi. Kami berharap banyak investor yang tertarik dan berminat mengikuti program ini," kata dia.

Diharapkan program percepatan ini dapat meningkatkan kontribusi BUMN terhadap APBN, sejalan dengan fokus Menteri BUMN Erick Thohir yang akan melakukan transformasi BUMN dua tahun ke depan.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Catatan redaksi: Artikel ini telah diperbaharui yang mana semula ekuitas dan DER ADHI disebutkan Rp 3,77 triliun dan 9,33x menjadi Rp 5,6 triliun dan 6,28x sesuai laporan keuangan perusahaan. 

 

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular