Analisis

Utang Menggunung & Kinerja Lesu, BUMN Karya Kompak Jual Aset

Feri Sandria, CNBC Indonesia
07 February 2022 13:20
PT Waskita Karya Tbk (WSKT)
Foto: PT Waskita Karya Tbk (WSKT). (Dok. Waskita)

Jika ditotal, secara keseluruhan utang dari keempat BUMN karya tersebut mencapai Rp 218,61 triliun dengan 144,99 triliun merupakan utang jangka pendek.

Total aset yang dimiliki sedikit lebih baik atau sebesar Rp 272,14 triliun, dengan total kas atau setara kas gabungan tercatat hanya sebesar Rp 15,04 triliun. Aset lancar gabungan keempat perusahaan adalah sejumlah Rp 139,35 atau lebih kecil dari gabungan kewajiban jangka pendek.

Total utang gabungan BUMN karya mencapai 4,03 kali jumlah liabilitas yang dimiliki, dengan kas atau setara kas hanya mampu menutup 12,41% dari total kewajiban perusahaan.

Angka tersebut sangat buruk yang mana jika aturan keras Xi Jinping terhadap perusahaan pengembang perumahan di China diterapkan di Indonesia, keempat emiten karya ini akan memperoleh rapor merah dengan konsekuensi tidak dapat menambah utang, karena likuiditas yang buruk.

Aturan yang dikeluarkan Beijing untuk mengekang perusahaan paling berutang di dunia, Evergrande, diberi nama 'three red lines' (tiga garis merah). Yang mana secara singkat, aturan tersebut merupakan pedoman bagi perusahaan properti untuk menentukan batas maksimal pertumbuhan utang tahunan yang bisa diperoleh.

Aturan ini terdiri dari tiga prasyarat yang mana jika perusahaan melewati satu batas yang ditentukan maka pertumbuhan utang tahunan dipotong 5%. Perusahaan yang memenuhi semua aturan utangnya diperbolehkan tumbuh maksimal 15%, sementara yang tidak memenuhi satu pun pertumbuhan utangnya dikekang total.

Three red lines atau tiga kriteria kondisi finansial yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut

Rasio utang terhadap aset (tidak termasuk penerimaan uang muka) kurang dari 70%

Net gearing ratio kurang dari 100% (membandingkan rasio utang terhadap likuiditas perusahaan)

Rasio kas terhadap hutang jangka pendek harus lebih dari 100%

China memberlakukan pedoman tersebut setelah pertemuan Agustus 2020 di Beijing yang dilatarbelakangi oleh tingkat utang pengembang yang meningkat, kenaikan harga tanah, dan penjualan rumah yang tidak terkontrol.

Berdasarkan kalkulasi dari Tim Riset CNBC Indonesia, tidak ada satu pun dari empat emiten karya yang mampu memenuhi kriteria yang diterapkan pemerintah Xi Jinping di China.

 

Rasio utang terhadap likuiditas (Debt to Equity Rasio/DER) terbesar BUMN karya dicatatkan ADHI yang nilai utang usaha mencapai 6,28x ekuitas perusahaan. Adapun nilai DER terkecil emiten karya dicatatkan oleh WIKA (2,73x) dan dikuti oleh PTPP (2,92x). Waskita sendiri memiliki DER 5,71x dengan jumlah utang terbesar dari semuanya atau mencapai Rp 89,93 triliun.

Tingginya nilai DER ini dapat diartikan bahwa pertumbuhan perusahaan sebagian besar disokong oleh utang usaha. Semakin tinggi nilainya semakin besar perusahaan mendanai proyek dan bisnis yang dimiliki dari pinjaman atau utang.

Jumlah utang jumbo tersebut tentu akan membuat pusing manajemen, apalagi mengingat sebagian besarnya adalah utang jangka pendek yang merupakan bagian paling krusial karena jika tidak diselesaikan dapat mengganggu kegiatan operasi.

Tingkat likuiditas juga dapat diukur dari kemampuan perusahaan membayar utang jangka pendek menggunakan aset lancar yang dimiliki. Dari keempat emiten tersebut hanya Waskita yang current rasio nya tidak mencapai 100%, artinya utang jangka pendek yang dimiliki perusahaan tersebut lebih kecil dari aset lancar atau dengan kata lain modal kerja perusahaan tercatat negatif.

Sementara itu jika harus melunasi utang jangka pendek hanya dari kas perusahaan emiten karya akan mengalami kesulitan, paling parah dialami Waskita dan ADHI yang kas masing-masing perusahaan hanya mampu membayar 4,44% dan 5,04% utang jangka pendek, disusul oleh PP dan Wika memiliki kondisi sedikit lebih baik yang nilainya secara berurutan sebesar 17,99% dan 22,82%.

Saat ini memang terdapat banyak faktor eksternal seperti kondisi ekonomi dan pandemi yang membuat perusahaan kesusahan dalam mengelola utang dan menjaga likuiditas. Akan tetapi ke depannya perusahaan tentu perlu berusaha lebih keras lagi mencari jalan keluar demi mengelola perusahaan yang dapat memuaskan kreditor dan pemegang saham khususnya serta pemangku kepentingan lain secara umum.

(fsd/fsd)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular