Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah melemah tipis melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Rabu (10/3/2021), dan berada di level terlemah dalam 4 bulan terakhir.
Melansir data Refinitiv, rupiah hari ini melemah 0,03% ke Rp 14.395/US$, di pasar spot. Hingga hari ini, rupiah sudah melemah dalam 5 hari beruntun, dan berada di level terendah sejak 5 November lalu.
Meski sedang lemah, Bank Indonesia (BI) memprediksi rupiah akan menguat ke depannya. Sebab, outlook dolar AS masih suram dalam jangka menengah dan panjang, sementara rupiah masih jauh dari nilai fundamentalnya.
Hal tersebut diungkapkan, Haryadi Ramelan, Kepala Departemen Pengelolaan Devisa, sebagai Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI menjelaskan dalam kondisi sekarang. Ia menyebut negara berkembang seperti Indonesia menjadi satu tempat tujuan menarik oleh para pemegang dana.
Negara maju mematok suku bunga yang rendah, sehingga imbal hasil dari penempatan dananya jauh lebih kecil dibandingkan Indonesia. Suku bunga acuan 7DRR sebesar 3,5% dan yield Surat Berharga Negara (SBN) 10 tahun di atas 6%.
"Skenarionya dolar AS akan melemah dalam jangka menengah panjang, dan memberikan ruang gerak bagi stock market dan bond market kita," kata Haryadi seperti dikutip, Selasa (9/3/2021).
Posisi rupiah saat ini, menurut Haryadi masih jauh dari fundamentalnya. Sehingga ruang penguatan terbuka cukup lebar. Apalagi indikator perekonomian dalam negeri terus menerus menunjukkan perbaikan, baik dari sisi pertumbuhan ekonomi, inflasi hingga neraca pembayaran.
"Kami yakin, rupiah masih undervalue, ruang penguatan rupiah masih ada," tegas Haryadi.
Tidak hanya BI, hasil survei terbaru dari Reuters juga menyebutkan dolar AS masih akan tertekan ke depannya. Penguatan dolar AS belakangan ini disebut sebagai reflation trade, yakni penguatan akibat ekspektasi membaiknya perekonomian AS serta kenaikan inflasi.
Survei yang dilakukan Reuters pada periode 1 sampai 3 Maret lalu terhadap 70 analis valuta asing menunjukkan sebanyak 29% memprediksi reflation trade masih akan terjadi kurang 6 bulan ke depan, 26% melihat kurang 3 bulan ke depan, kemudian 14% kurang dari 1 bulan, dan 9% menyatakan hal tersebut sudah berakhir.
Sementara yang memprediksi reflation trade akan berlangsung lebih dari 6 bulan ada sebanyak 22%.
Artinya, hasil survei tersebut menunjukkan mayoritas para analis valuta asing melihat reflation trade akan berlangsung kurang dari 6 bulan ke depan.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Taper Tantrum Jadi Kecemasan Utama Pelaku Pasar
Ekspektasi membaiknya perekonomian AS membuat pelaku pasar melihat ada kemungkinan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) akan mengubah kebijakan moneternya lebih cepat dari perkiraan.
Berkaca dari pasca krisis finansial satu dekade yang lalu, ketika The Fed merubah kebijakannnya, hal yang pertama dilakukan adalah mengurangi nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) atau yang dikenal dengan istilah tapering.
Apalagi dengan pemerintah AS yang akan menggelontorkan stimulus fiskal senilai US$ 1,9 triliun, maka pemulihan ekonomi berpotensi terakselerasi. Spekulasi tapering menjadi semakin menguat.
Tapering The Fed pernah terjadi pada periode 2013-2015. Krisis finansial global yang terjadi pada tahun 2008 membuat The Fed menerapkan QE dalam 3 tahap.
Pada Juni 2013 The Fed yang saat itu dipimpin Ben Bernanke akhirnya mengeluarkan wacana tapering QE. Saat wacana tersebut muncul dolar AS menjadi begitu perkasa, hingga ada istilah taper tantrum.
Maklum saja, sejak diterapkan suku bunga rendah serta QE, nilai tukar dolar AS melempem. Sehingga saat muncul wacana pengurangan QE hingga akhirnya dihentikan dolar AS langsung mengamuk atau yang dikenal dengan istilah taper tantrum mata uang lainnya dibuat rontok oleh the greenback.
The Fed akhirnya mulai mengurangi QE sebesar US$ 10 miliar per bulan dimulai pada Desember 2013, hingga akhirnya dihentikan pada Oktober 2014. Akibatnya, sepanjang 2014, indeks dolar melesat lebih dari 12%.
Tidak sampai di situ, setelah QE berakhir muncul wacana normalisasi alias kenaikan suku bunga The Fed, yang membuat dolar AS terus berjaya hingga akhir 2015 saat suku bunga acuan akhirnya dinaikkan 25 basis poin menjadi 0,5%. Setelahnya, The Fed mempertahankan suku bunga tersebut selama 1 tahun, penguatan indeks dolar pun mereda.
Rupiah menjadi salah satu korban keganasan taper tantrum kala itu. Sejak Bernanke mengumumkan tapering Juni 2013 nilai tukar rupiah terus merosot hingga puncak pelemahan pada September 2015.
Di akhir Mei 2013, kurs rupiah berada di level Rp 9.790/US$ sementara pada 29 September 2015 menyentuh level terlemah Rp 14.730/US$, artinya terjadi pelemahan lebih dari 50%.
Namun, spekulasi tapering di tahun ini dikatakan masih prematur. Hal ini diungkapkan oleh Kepala Ekonom BCA David Sumual kepada CNBC Indonesia, Selasa (9/3/2021). David mengakui ada beberapa analisa yang menyebutkan kemungkinan terjadi di semester II-2021, namun tidak memiliki alasan yang cukup kuat.
"Jadi, kalau sekarang, menurut saya masih sangat preliminary, masih sangat prematur akan ada taper tantrum dalam waktu dekat. Saya belum melihatnya dalam setahun ini," kata David.
Alasannya, kata David, ekonomi AS belum akan pulih sepenuhnya dalam waktu dekat. Meskipun ada kebijakan yang sangat ekspansif dari sisi fiskal. Sehingga ketika ada kenaikan inflasi, Bank Sentral AS tidak akan serta merta langsung merespons dengan kebijakan moneter. David melihat batas aman inflasi oleh the Fed adalah 1,5-2%.
"Jadi, kalau misalnya di atas itu, the fed masih cukup fleksibel membiarkannya. Mungkin bisa di atas 2%, untuk memastikan betul bahwa pemulihannya sudah terjadi," jelasnya.
Meski demikian, David tidak menutup kemungkinan akan terjadinya di beberapa tahun lagi. Tapi biarpun terjadi, menurutnya dampak yang ditimbulkan tidak seperti yang dirasakan pada 2013. Ini mengingat kondisi fundamental ekonomi yang jauh lebih baik. Seperti cadangan devisa, keseimbangan transaksi berjalan, inflasi hingga utang pemerintah dan swasta.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> The Fed Tegaskan Tak Akan Ubah Kebijakan Dalam Waktu Dekat
The Fed baik dalam rapat kebijakan moneter maupun dalam kesempatan lainnya berulang kali menegaskan belum akan merubah kebijakannya dalam waktu dekat.
Bank sentral paling powerful di dunia ini, menerapkan suku bunga rendah 0,25% dan QE senile US$ 120 miliar per bulan.
"Para anggota dewan melihat kondisi ekonomi masih jauh dari target jangka panjang dan kebijakan moneter masih akan akomodatif sampai target tersebut tercapai," isi notula rapat kebijakan moneter The Fed bulan Januari yang dirilis pertengahan bulan lalu, sebagaimana dilansir CNBC International.
"Akibatnya, para anggota dewan mendukung kebijakan saat ini dan panduan dasar untuk suku bunga (federal funds rate/FFR) dan nilai program pembelian aset".
Sementara sang ketua, Jerome Powell, saat memberikan testimoni di hadapan Kongres (DPR dan Senat) AS menegaskan hal yang sama.
"Perekonomian AS masih jauh dari target inflasi dan pasar tenaga kerja kami, dan kemungkinan memerlukan waktu cukup lama untuk mendapatkan kemajuan yang substansial," kata Powell sebagaimana dilansir CNBC International, Selasa (24/2/2021).
Powell menegaskan The Fed berkomitmen untuk menggunakan instrumen moneter secara penuh untuk mendukung perekonomian, serta membantu memastikan pemulihan ekonomi hingga sekuat mungkin.
Sejak akhir tahun lalu, The pendekatannya terhadap inflasi. Sebelumnya, The Fed menetapkan target inflasi 2%, ketika inflasi mendekati target The Fed biasanya akan mengetatkan moneter. Kini The Fed menetapkan target inflasi rata-rata 2%. Yang digarisbawahi adalah kata "rata-rata".
"Dengan perubahan tersebut, kita tidak akan mengetatkan kebijakan moneter meski pasar tenaga kerja sudah menguat," kata Powell.
Artinya, meski inflasi nanti mencapai 2%, The Fed tidak akan langsung merubah kebijakannya, tetapi membiarkannya lebih tinggi dari 2% dalam beberapa waktu ke depan. Hal tersebut dilakukan untuk mencapai rata-rata inflasi 2%, sebab inflasi saat ini masih jauh di bawahnya.
Dengan The Fed belum merubah kebijakan moneternya dalam waktu dekat, artinya perekonomian AS masih akan banjir likuiditas. Ditambah dengan stimulus fiskal di AS senilai US$ 1,9 triliun yang kemungkinan akan cair di pekan ini, jumlah uang yang beredar tentunya akan semakin bertambah. Secara teori, nilai tukar dolar AS akan melemah.
TIM RISET CNBC INDONESIA