Analisis

BI Sebut Dolar AS Mau Lesu, tapi Rupiah Keok, Bagaimana nih?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
10 March 2021 20:05
Ilustrasi Dollar
Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto

Ekspektasi membaiknya perekonomian AS membuat pelaku pasar melihat ada kemungkinan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) akan mengubah kebijakan moneternya lebih cepat dari perkiraan.

Berkaca dari pasca krisis finansial satu dekade yang lalu, ketika The Fed merubah kebijakannnya, hal yang pertama dilakukan adalah mengurangi nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) atau yang dikenal dengan istilah tapering.

Apalagi dengan pemerintah AS yang akan menggelontorkan stimulus fiskal senilai US$ 1,9 triliun, maka pemulihan ekonomi berpotensi terakselerasi. Spekulasi tapering menjadi semakin menguat.

Tapering The Fed pernah terjadi pada periode 2013-2015. Krisis finansial global yang terjadi pada tahun 2008 membuat The Fed menerapkan QE dalam 3 tahap.

Pada Juni 2013 The Fed yang saat itu dipimpin Ben Bernanke akhirnya mengeluarkan wacana tapering QE. Saat wacana tersebut muncul dolar AS menjadi begitu perkasa, hingga ada istilah taper tantrum.

Maklum saja, sejak diterapkan suku bunga rendah serta QE, nilai tukar dolar AS melempem. Sehingga saat muncul wacana pengurangan QE hingga akhirnya dihentikan dolar AS langsung mengamuk atau yang dikenal dengan istilah taper tantrum mata uang lainnya dibuat rontok oleh the greenback.

The Fed akhirnya mulai mengurangi QE sebesar US$ 10 miliar per bulan dimulai pada Desember 2013, hingga akhirnya dihentikan pada Oktober 2014. Akibatnya, sepanjang 2014, indeks dolar melesat lebih dari 12%.

Tidak sampai di situ, setelah QE berakhir muncul wacana normalisasi alias kenaikan suku bunga The Fed, yang membuat dolar AS terus berjaya hingga akhir 2015 saat suku bunga acuan akhirnya dinaikkan 25 basis poin menjadi 0,5%. Setelahnya, The Fed mempertahankan suku bunga tersebut selama 1 tahun, penguatan indeks dolar pun mereda.

Rupiah menjadi salah satu korban keganasan taper tantrum kala itu. Sejak Bernanke mengumumkan tapering Juni 2013 nilai tukar rupiah terus merosot hingga puncak pelemahan pada September 2015.

Di akhir Mei 2013, kurs rupiah berada di level Rp 9.790/US$ sementara pada 29 September 2015 menyentuh level terlemah Rp 14.730/US$, artinya terjadi pelemahan lebih dari 50%.

Namun, spekulasi tapering di tahun ini dikatakan masih prematur. Hal ini diungkapkan oleh Kepala Ekonom BCA David Sumual kepada CNBC Indonesia, Selasa (9/3/2021). David mengakui ada beberapa analisa yang menyebutkan kemungkinan terjadi di semester II-2021, namun tidak memiliki alasan yang cukup kuat.

"Jadi, kalau sekarang, menurut saya masih sangat preliminary, masih sangat prematur akan ada taper tantrum dalam waktu dekat. Saya belum melihatnya dalam setahun ini," kata David.

Alasannya, kata David, ekonomi AS belum akan pulih sepenuhnya dalam waktu dekat. Meskipun ada kebijakan yang sangat ekspansif dari sisi fiskal. Sehingga ketika ada kenaikan inflasi, Bank Sentral AS tidak akan serta merta langsung merespons dengan kebijakan moneter. David melihat batas aman inflasi oleh the Fed adalah 1,5-2%.

"Jadi, kalau misalnya di atas itu, the fed masih cukup fleksibel membiarkannya. Mungkin bisa di atas 2%, untuk memastikan betul bahwa pemulihannya sudah terjadi," jelasnya.

Meski demikian, David tidak menutup kemungkinan akan terjadinya di beberapa tahun lagi. Tapi biarpun terjadi, menurutnya dampak yang ditimbulkan tidak seperti yang dirasakan pada 2013. Ini mengingat kondisi fundamental ekonomi yang jauh lebih baik. Seperti cadangan devisa, keseimbangan transaksi berjalan, inflasi hingga utang pemerintah dan swasta.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> The Fed Tegaskan Tak Akan Ubah Kebijakan Dalam Waktu Dekat

(pap/pap)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular