Analisis
Ramai-ramai Bikin Bank Digital & Caplok Bank Bermodal 'Mini'

Jakarta, CNBC Indonesia - Prospek bank digital yang menjanjikan sedang dilirik oleh banyak pihak. Tidak hanya perbankan, tapi juga korporasi, konglomerat hingga perusahaan rintisan alias startup berlomba-lomba untuk menjadi first mover.
Tren membuat bank digital ini sejalan dengan rencana dari regulator mengkonsolidasikan industri perbankan agar lebih kuat dari sisi permodalan. Konsekuensinnya banyak bank-bank kecil, kategori BUKU I, dijual dan dibeli oleh pemodal besar dan konglomerasi.
Rasanya tanggung, jika pemilik baru bank-bank kecil itu hanya menambah modal dan mengembangkannya menjadi bank konvensional. Lagi pula, sekarang bukan era-nya lagi berdarah-darah di medan perang yang sudah ramai.
Maka pilihannya adalah mengembangkan bank digital. Aksi korporasi caplok mencaplok bank kecil oleh investor kakap sepertinya masih akan berlanjut.
Apalagi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menegaskan, tak ada tawar-menawar lagi soal modal inti bank. Pada akhir Desember 2022, modal inti bank minimal Rp 3 triliun.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Heru Kristiyana, mengatakan sudah tidak ada lagi bank BUKU I karena semuanya sudah memenuhi modal minimum Rp 1 triliun pada akhir Desember 2020 lalu. Dengan demikian seluruh bank tersebut telah naik menjadi Bank BUKU II pada tahun ini.
"Bank-bank sudah melakukan berbagai langkah untuk menambah modal, untuk tahapan pertama sudah memenuhi semuanya, pemilik nambah modal, atau ada bank yang visi misinya bagus mereka melakukan IPO," ujar Heru Kristiyana dalam acara Banking Outlook 2021 yang mengambil tema 'Perbankan Jadi Akselerator Pemulihan Ekonomi', Kamis (11/2/2021).
OJK juga tak akan meninjau kembali atau menunda kebijakan modal inti bank menjadi Rp 3 triliun pada akhir Desember 2022. Kebijakan penambahan modal ini dilakukan karena ekosistem perbankan yang harus beradaptasi dengan tren digitalisasi yang tentunya memerlukan permodalan yang lebih besar.
"Untuk mundur dari modal inti Rp 3 triliun, saya tidak akan lakukan, kita nanti akan membiarkan bank melakukan fungsinya dengan baik," ujar Heru.
Heru menilai, bank harus mempunyai modal inti yang cukup kuat sejalan dengan telah terjadinya perubahan perilaku nasabah di era perbankan digital. Oleh sebab itu, dengan penerapan aturan ini, dia berharap bank-bank di Indonesia akan lebih kuat dari sisi permodalannya.
Dengan demikian, peran bank dalam menjalankan fungsi intermediasinya bisa lebih baik lagi. "Perubahan perilaku nasabah sudah terjadi, kalau tidak bisa melayani nasabah dengan baik, apakah mereka tidak akan ditinggalkan nasabahnya? Lari ke bank-bank besar, [bank digital] itu suatu keharusan dan saya merasa tidak boleh ditinjau ulang," katanya.
Mengacu data Statistik Perbankan OJK sampai dengan November 2020, masih terdapat 8 bank BUKU I. Selanjutnya, ada sebanyak 56 bank BUKU II, 25 bank BUKU III dan 7 bank BUKU IV.
Heru juga mengatakan saat ini transformasi digital perbankan sudah menjadi keharusan. Hal ini karena terjadi perubahan perilaku nasabah yang sudah semakin suka melakukan transaksi melalui smartphone yang didorong oleh pandemi Covid-19.
"Nasabah tidak mau datang ke bank untuk menarik uang atau buka rekening, itu menjadi suatu yang dikesampingkan. Tren seperti bank melakukan transaksi digital," terang Heru dalam diskusi virtual CNBC Indonesia Banking Outlook 2021 bertajuk "Perbankan Jadi Akselerator Pemulihan Ekonomi", kata Heru.
Dari sisi regulator jelas, bahwa bank di masa depan harus punya modal yang kuat. Tentu pemodal besar tak mau rugi, sudah suntik modal besar bisnis harus tumbuh dan bank digital adalah pilihannya, dianggap sebagai masa depan layanan perbankan.
Belakangan terdengar desas-desus menyebutkan bahwa Sea Group berencana untuk mengambil alih PT Bank Bumi Arta Tbk (BNBA) yang nantinya akan dipermak menjadi bank digital dan akan diintegrasikan ke dalam ekosistem platform e-commerce pesaing Tokopedia dan Bukalapak itu.
Namun belum ada kepastian terkait kabar yang beredar. Selain BNBA, saham bank BUKU II lain yang juga bergerak liar dan diisukan masuk radar Sea Group adalah saham PT Bank Capital Indonesia Tbk (BACA). Berbeda dengan BNBA, BACA hanya naik 1,3% pada perdagangan Selasa ini (16/2).
Jika kabar soal ketertarikan Sea Group terhadap BNBA dan BACA benar serta kemungkinan nilai akuisisinya juga berada di kisaran median perbankan dua tahun terakhir, maka ada kemungkinan BNBA akan dibeli di harga Rp 1.310/saham.
Harga tersebut masih jauh di atas dari harga di pasar pada penutupan sesi I hari ini. Maklum saat ini BNBA masih tergolong ditransaksikan relatif terdiskon di harga 1 kali nilai bukunya.
Sementara jika yang ditarget adalah BACA, maka nilai akuisisinya berpotensi di harga Rp 468/saham. Apabila menggunakan asumsi harga akuisisi di level tersebut dan berita yang beredar benar maka tentu saja lebih rendah dari harga yang ada di pasar saat ini.
Ke depan para pemain bank digital akan bertambah banyak. Hal ini juga didukung dengan otoritas pengawas perbankan yang tertuang dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 12/POJK.03/2020.
Aturan tentang Konsolidasi Bank Umum yang diteken oleh Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso pada 16 Maret 2020 itu menyebutkan, bank harus memiliki modal inti minimum bank umum sebesar Rp 1 triliun tahun ini, Rp 2 triliun pada 2021 dan minimal Rp 3 triliun tahun 2022.
Jika mengacu pada aturan tersebut maka baik BNBA dan BACA masih membutuhkan suntikan modal tambahan sekitar Rp 400 - Rp 500 miliar lagi untuk mengejar ketentuan OJK tersebut. Namun bisa saja nilainya jumbo dan lebih dari Rp 1 triliun apabila yang dikejar adalah target di 2022.
Ini juga menjadi pertanda sekaligus sinyal di pasar bahwa aksi korporasi perbankan masih akan marak terjadi. Bank-bank yang dituntut untuk memiliki kapasitas permodalan yang kuat harus agresif mendapat suntikan dana dari investor.