Jakarta, CNBC Indonesia - PT Pertamina (Persero), Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sektor minyak dan gas bumi, akan mengeluarkan obligasi global senilai US$ 20 miliar atau sekitar Rp 280 triliun (asumsi kurs Rp 14.000 per US$).
Fitch Ratings pun mengumumkan peringkat 'BBB' atau 'Stabil' atas rencana obligasi global Pertamina tersebut.
"Obligasi akan digunakan untuk belanja modal dan tujuan korporasi umum lainnya," ungkap Fitch Ratings, Selasa (02/02/2021).
Fitch menyebut, belanja modal Pertamina pada 2020 mencapai US$ 6 miliar dan pada 2021 akan naik menjadi sekitar US$ 8 miliar.
Peringkat ini sama dengan yang diberikan kepada Pemerintah Indonesia karena dinilai ada hubungan 'Sangat Kuat' antara Pertamina dan Pemerintah. Fitch meyakini bahwa status Pertamina, kepemilikan dan pengendalian oleh pemerintah Indonesia 'Sangat Kuat'. Hal ini berdasarkan penunjukan Dewan Direksi dan Komisaris ditunjuk dan harus disetujui pemerintah sebagai pemegang saham. Begitu pun dengan rencana investasi, harus melalui persetujuan pemerintah.
Pembentukan Pertamina sebagai Holding BUMN Migas juga memberikan peran penting bagi perseroan dalam mengelola distribusi BBM. Pertamina juga mendominasi distribusi BBM di Indonesia.
Fitch menilai pemerintah secara efektif mengendalikan harga yang mayoritas didistribusikan Pertamina, meski beberapa di bawah harga pasar. Namun, pemerintah mendukung perseroan dengan sejumlah insentif, termasuk pengembalian (reimbursement) untuk penjualan BBM bersubsidi dan pemberian kompensasi untuk produk tertentu.
"Pemerintah juga memberikan blok migas besar yang akan habis masa kontraknya kepada Pertamina dan Fitch memperkirakan ini akan memperbaiki bisnis dan profil keuangan Pertamina."
Harga minyak Brent pada 2020 rata-rata mencapai US$ 41 per barel, diperkirakan pada 2021 naik menjadi US$ 45 per barel, dan 2022 US$ 50 per barel.
Penjualan produk minyak, termasuk BBM pada 2020 disebutkan turun 6% pada 2020, namun diperkirakan akan meningkat 10% pada 2021 dan 5% pada 2022.
Pertamina tidak menurunkan harga BBM hampir di semua produknya selama 2020 meski biaya pengadaan minyak mentah dan BBM jatuh pada tahun lalu. Fitch berasumsi pemerintah enggan menurunkan harga BBM meski perekonomian melemah, karena ketika akan menaikkan harga BBM, ini menjadi isu politik yang sensitif di negara ini.
"Kita berharap Pertamina menghasilkan pendapatan di sisi hilir lebih tinggi lagi untuk mengimbangi turunnya keuntungan di hulu karena turunnya harga minyak mentah."
Fitch juga memperkirakan rendahnya harga minyak dan tetap stabilnya harga jual BBM ke publik dapat mengurangi kebutuhan subsidi dan kompensasi dari pemerintah kepada Pertamina, setidaknya sampai dua tahun mendatang.
Pengembalian (subsidi) dan kompensasi dari pemerintah kepada Pertamina diperkirakan akan turun menjadi sekitar US$ 3 miliar-US$ 4 miliar per tahun hingga 2022 dari US$ 4,8 miliar pada 2019.
Pertamina juga telah mendapatkan kompensasi sekitar US$ 5,4 miliar sejak 2017 atas penjualan BBM (jenis Premium) yang dijual di bawah harga pasar.
"Kami perkirakan perusahaan tidak akan membutuhkan kompensasi ini hingga 2023."
Fitch mengungkapkan produksi hulu Pertamina pada 2020 turun 5%. Namun, Fitch memperkirakan produksi hulu akan naik 10% per tahun pada 2021 dan 2022 setelah mengambil alih Blok Rokan pada Agustus 2021 mendatang.
Produksi Pertamina turun 3% selama sembilan bulan 2020 (year on year/ yoy) menjadi 868.000 barel setara minyak per hari (BOEPD) karena banyaknya lapangan tua.
"Bagaimanapun, kami perkirakan produksi di hulu akan tetap stabil sampai 2022 karena investasi perusahaan di lapangan baru dan usaha untuk mempertahankan produksi pada lapangan yang telah ada."
Operasi hulu Pertamina juga diuntungkan karena biaya operasi bisa dipertahankan di bawah US$ 11 per barel setara minyak pada 2019.