Buat yang Beli KAEF & INAF di 'Pucuk', Ini Warning Buat Kamu!

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
16 January 2021 16:35
Erick Tohir di kimia farma. (CNBC Indonesia/Monica Wareza)
Foto: Erick Tohir di kimia farma. (CNBC Indonesia/Monica Wareza)

Jakarta, CNBC Indonesia - Berinvestasi di saham-saham farmasi kala terjadi pandemi Covid-19 memang menggiurkan karena capital gain yang diperoleh bisa mencapai ratusan persen dalam waktu singkat. Namun hati-hati, bagi yang membelinya di harga 'pucuk' ini alarm buat Anda!

Pandemi Covid-19 memang membawa petaka bagi masyarakat dan pelaku bisnis. Namun dibalik itu ada bisnis yang meraup cuan besar karena ketiban berkah saat pandemi yang membuat produk-produknya diburu.

Tidak hanya produknya saja yang laris manis di pasaran, tetapi sahamnya juga jadi primadona di kalangan para pelaku pasar dan spekulan. Sebut saja PT Kimia Farma Tbk (KAEF) dan PT Indofarma Tbk (INAF).

Harga saham duo emiten farmasi pelat merah itu melesat signifikan di kala pandemi Covid-19 merebak. Bayangkan saja dalam satu tahun terakhir harga saham KAEF melesat hingga 462,2% dari Rp 1.005/unit awal tahun 2019 menjadi Rp 5.650/unit pada perdagangan akhir pekan kemarin (15/1/2021).

Harga saham INAF melejit lebih 'gila' lagi. Tak tanggung-tanggung, nilai kapitalisasi pasar INAF meroket 857,6% dalam setahun terakhir. Saham INAF ditutup di level yang sama dengan KAEF pekan ini yaitu Rp 5.650/unit, atau melonjak dari Rp 590/unit pada periode yang sama tahun lalu.

Dua saham ini meroket karena adanya sentimen positif vaksin Covid-19. Sebagai perusahaan farmasi BUMN yang akan memproduksi vaksin Covid-19, PT Bio Farma (Persero) menunjuk KAEF dan INAF untuk menjadi distributornya. 

Harga saham KAEF dan INAF sempat menyentuh level tertingginya sepanjang sejarah (all time high) pada awal pekan ini. Kedua saham tersebut dihargai Rp 6.975/unit di pasar. Namun setelah itu keduanya mulai longsor.

Para pelaku pasar bertaruh terhadap sentimen vaksinasi Covid-19 yang sudah dimulai di Tanah Air. Pada Rabu (13/1/2021) Presiden Jokowi menjadi orang pertama di RI yang disuntik vaksin Covid-19 buatan Sinovac yang sudah direstui oleh Badan Pengawas Makanan dan Obat (BPOM) untuk digunakan dalam kondisi darurat. 

Kenaikan harga saham yang sangat fantastis tidak terlepas dari aksi spekulasi yang berlebihan. Fenomena euforia di pasar membuat nilai valuasi kedua saham farmasi ini melampaui rata-rata industri dan tren historisnya. Bahkan valuasinya sudah sangat tidak masuk akal.

Saham KAEF dan INAF ditransaksikan dengan sangat mahal (premium) relatif terhadap nilai intrinsiknya.

Menggunakan berbagai metode valuasi yang konvensional seperti harga terhadap laba (PE), harga terhadap nilai buku (PB), harga terhadap penjualan (PS), harga terhadap arus kas (PCF) hingga nilai perusahaan terhadap laba (EV/EBITDA) semuanya menunjukkan indikator yang sama. Kemahalan pake banget!

Bagaimana bisa suatu saham yang memberikan imbal hasil terhadap modal (return on equity/ROE) hanya 0,72% ditransaksikan di harga 850,9x dari laba bersihnya untuk kasus KAEF.

Saham INAF lebih tidak rasional lagi. Perusahaan ini konsisten membukukan rugi bersih sejak 2014 (menggunakan laporan keuangan 9 bulanan) dan kini ditranskasikan di 927x laba bersihnya dan 36x dari nilai bukunya.

Valuasi yang sudah sangat kemahalan jelas harus diwaspadai. Anda yang membeli di harga tinggi harus siap-siap gigit jari menanggung rugi jika pasar mulai sadar bahwa tidak seharusnya saham KAEF dan INAF dihargai setinggi ini.

Lagipula jika bertaruh pada pertumbuhan di masa depan, investor harus lebih jeli menganalisa bahwa kinerja keuangan perusahaan tidak serta merta menjadi bagus hanya dengan prospek penjualan yang meningkat. 

Ingat, fundamental perusahaan juga dinilai dari kemampuannya untuk mencetak laba, mempertahankan arus kas yang sehat dan berinvestasi di aset-aset produktif yang dapat mendongkrak pertumbuhan di masa depan.

Tanpa adanya ketiga hal tersebut maka kenaikan harga saham yang signifikan tidak memiliki justifikasi yang tepat selain karena aksi spekulasi dan adanya aktivitas goreng menggoreng saham.

Aksi-aksi spekulasi memang umum terjadi di pasar. Namun konsekuensi dari ikut-ikutan euforia juga tidaklah kecil. Pada tahun 2007 silam harga saham-saham pertambangan dan migas cenderung jalan di tempat.

Namun kenaikan harga minyak mentah dunia turut mengerek harga komoditas lain seperti batu bara. Setelah krisis dot com bubble di tahun 2000, dunia memasuki periode commodity boom. Saat itu batu bara seolah menjadi emas baru bagi RI karena permintaannya meningkat dan pasokan yang dimiliki RI berlimpah.

Harga saham-saham pertambangan yang tadinya stagnan pun akhirnya bangkit. Salah satunya adalah emiten tambang batu bara PT Bumi Resources Tbk (BUMI). Hanya dalam kurun waktu kurang satu setengah tahun harga saham BUMI melesat dari Rp 870/unit pada 20 Desember 2006 menjadi Rp 8.550/unit di Juni 2008.

Namun setelah itu krisis finansial global akibat subprime mortgage di AS terjadi. Harga saham BUMI yang sudah melesat signifikan langsung longsor. Dalam kurun waktu satu tahun BUMI kehilangan 94% dari kapitalisasi pasarnya.

Coba bayangkan berapa banyak kerugian investor terutama ritel yang membeli BUMI di harga tinggi kala itu! Yang pasti fantastis dan bikin sakit hati. Perusahaan yang juga terlilit utang besar dengan krediturnya pun menjadi sentimen negatif tambahan bagi perusahaan.

Pada 2015 atau kurang lebih lima tahun lalu, saham BUMI tembus level gocap Rp 50/unit yang merupakan harga terendah yang ditetapkan oleh bursa untuk pasar reguler. Setelah itu BUMI pun tidur panjang. Sempat bangkit di tahun 2017 tetapi BUMI kembali ambles ke level gocap. 

Ini menjadi satu-satunya bukti bahwa BUMI (eh saham BUMI) itu datar.

Wisdom berinvestasilah saat krisis dan harga saham jatuh memang terlihat jelas di Indonesia. Ketika pandemi Covid-19 melanda jumlah investor ritel justru meningkat. Hanya saja dalam berinvestasi banyak hal yang harus diperhatikan.

Investasi tidak melulu soal cuan tetapi juga soal risiko. Seorang investor yang andal tidak akan puas hanya dengan berspekulasi, karena dengan berjudi tanpa adanya pemahaman terhadap 'barang' yang dibeli tidak akan melahirkan seorang investor dengan kekayaan yang fantastis.

Ingat ya, Warren Buffett menjadi 'Crazy Rich' dunia bukan karena berspekulasi dan ikut-ikutan pom-pom-an orang. Pria yang dijuluki peramal dari Omaha itu menghabiskan banyak waktu untuk riset dan menganalisa laporan keuangan perusahaan.

Rule berinvestasi ala Warren Buffett pun relatif simpel. Lebih baik membeli perusahaan yang luar biasa di harga wajar daripada membeli perusahaan biasa di harga spektakuler.

Bagi investor ritel pemula hal ini jelas harus menjadi pertimbangan. Oiya bukan maksud menakuti, tapi hanya mengingatkan saja jika Anda membeli saham-saham dengan valuasi tinggi tanpa disertai dengan prospek pertumbuhan kinerja yang jels maka Anda harus bersiap-siap terhadap risiko yang ada.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular