
Buat yang Beli KAEF & INAF di 'Pucuk', Ini Warning Buat Kamu!

Aksi-aksi spekulasi memang umum terjadi di pasar. Namun konsekuensi dari ikut-ikutan euforia juga tidaklah kecil. Pada tahun 2007 silam harga saham-saham pertambangan dan migas cenderung jalan di tempat.
Namun kenaikan harga minyak mentah dunia turut mengerek harga komoditas lain seperti batu bara. Setelah krisis dot com bubble di tahun 2000, dunia memasuki periode commodity boom. Saat itu batu bara seolah menjadi emas baru bagi RI karena permintaannya meningkat dan pasokan yang dimiliki RI berlimpah.
Harga saham-saham pertambangan yang tadinya stagnan pun akhirnya bangkit. Salah satunya adalah emiten tambang batu bara PT Bumi Resources Tbk (BUMI). Hanya dalam kurun waktu kurang satu setengah tahun harga saham BUMI melesat dari Rp 870/unit pada 20 Desember 2006 menjadi Rp 8.550/unit di Juni 2008.
Namun setelah itu krisis finansial global akibat subprime mortgage di AS terjadi. Harga saham BUMI yang sudah melesat signifikan langsung longsor. Dalam kurun waktu satu tahun BUMI kehilangan 94% dari kapitalisasi pasarnya.
Coba bayangkan berapa banyak kerugian investor terutama ritel yang membeli BUMI di harga tinggi kala itu! Yang pasti fantastis dan bikin sakit hati. Perusahaan yang juga terlilit utang besar dengan krediturnya pun menjadi sentimen negatif tambahan bagi perusahaan.
Pada 2015 atau kurang lebih lima tahun lalu, saham BUMI tembus level gocap Rp 50/unit yang merupakan harga terendah yang ditetapkan oleh bursa untuk pasar reguler. Setelah itu BUMI pun tidur panjang. Sempat bangkit di tahun 2017 tetapi BUMI kembali ambles ke level gocap.
Ini menjadi satu-satunya bukti bahwa BUMI (eh saham BUMI) itu datar.
Wisdom berinvestasilah saat krisis dan harga saham jatuh memang terlihat jelas di Indonesia. Ketika pandemi Covid-19 melanda jumlah investor ritel justru meningkat. Hanya saja dalam berinvestasi banyak hal yang harus diperhatikan.
Investasi tidak melulu soal cuan tetapi juga soal risiko. Seorang investor yang andal tidak akan puas hanya dengan berspekulasi, karena dengan berjudi tanpa adanya pemahaman terhadap 'barang' yang dibeli tidak akan melahirkan seorang investor dengan kekayaan yang fantastis.
Ingat ya, Warren Buffett menjadi 'Crazy Rich' dunia bukan karena berspekulasi dan ikut-ikutan pom-pom-an orang. Pria yang dijuluki peramal dari Omaha itu menghabiskan banyak waktu untuk riset dan menganalisa laporan keuangan perusahaan.
Rule berinvestasi ala Warren Buffett pun relatif simpel. Lebih baik membeli perusahaan yang luar biasa di harga wajar daripada membeli perusahaan biasa di harga spektakuler.
Bagi investor ritel pemula hal ini jelas harus menjadi pertimbangan. Oiya bukan maksud menakuti, tapi hanya mengingatkan saja jika Anda membeli saham-saham dengan valuasi tinggi tanpa disertai dengan prospek pertumbuhan kinerja yang jels maka Anda harus bersiap-siap terhadap risiko yang ada.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/twg)[Gambas:Video CNBC]