Jakarta, CNBC Indonesia - Resesi ekonomi global yang diakibatkan oleh pandemi Covid-19 di 2020 menyebabkan harga komoditas mengalami penurunan yang signifikan.
Namun ada beberapa komoditas yang pada akhirnya justru melesat tinggi, meskipun pandemi belum berakhir dan ekonomi belum pulih benar.
Virus Corona jenis baru (SARS-CoV-2) pertama kali ditemukan di Wuhan, China akhir tahun lalu. Patogen penyebab Covid-19 tersebut akhirnya semakin merebak di Negeri Panda. Mulai akhir Januari pemerintah China akhirnya memutuskan untuk mengkarantina Wuhan dan berbagai wilayah lain yang menjadi zona merah wabah.
Lockdown yang ketat membuat ekonomi China sebagai importir komoditas terbesar di dunia seperti mati suri. Tak butuh waktu lama, wabah Covid-19 mulai meluas. Pada Februari Korea Selatan, Iran dan Italia mulai melaporkan terjadinya lonjakan kasus Covid-19.
Selang satu bulan virus ganas tersebut semakin meluas ke berbagai negara lain. Tepatnya pada 11 Maret WHO menyatakan bahwa wabah Covid-19 dikategorikan sebagai pandemi.
Saat itulah harga komoditas anjlok parah. Bahkan harga kontrak berjangka minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) sempat ambles ke zona negatif. Kontrak minyak mentah Negeri Paman Sam itu anjlok ke minus US$ 37,6/barel. Ini pertama kalinya harga suatu komoditas sampai terjun ke teritori negatif.
Anjloknya harga minyak juga merembet ke harga komoditas lain seperti minyak sawit mentah (CPO) hingga bahan bakar fosil lain seperti gas dan batu bara. Maklum penguncian mobilitas publik membuat permintaan terhadap komoditas pun ikut menurun.
Harga yang terkoreksi tajam dan permintaan yang drop membuat negara-negara penghasil komoditas memilih untuk memangkas produksinya. Sebagai salah satu komoditas yang paling berkaitan erat dengan mobilitas, minyak menjadi yang paling merana.
Para kartel yang dikenal sebagai OPEC+ pun sampai turun tangan dan memilih untuk menurunkan produksinya sampai 9,7 juta barel per hari (bph) atau setara dengan 10% dari total output dalam kondisi normal.
Namun seiring dengan pelonggaran lockdown yang marak di bulan Juni, kebangkitan ekonomi China dan pemangkasan output, harga komoditas berangsur membaik. Harga batu bara bahkan menyentuh level tertinggi dalam 1,5 tahun terakhir akibat ketatnya pasokan domestik China ketika konsumsi listrik mulai meningkat.
Harga CPO tembus ke level tertinggi dalam 8,5 tahun terakhir akibat peningkatan permintaan dan dibarengi dengan pola La Nina yang membuat prospek output menjadi lebih rendah jelang akhir tahun.
Meski permintaan emas fisik mengalami penurunan, tetapi aliran modal ke aset investasi berupa Exchange Traded Fund (ETF) dalam jumlah besar membuat harga logam kuning itu terangkat dan sempat menyentuh level tertinggi sepanjang sejarah.
Ketiga komoditas tersebut kini sudah berada di zona positif. Lain halnya dengan minyak. Harga si emas hitam masih terkontraksi jika ditarik dari awal tahun sampai saat ini. Pemicunya tak lain dan tak bukan adalah masih rendahnya mobilitas publik sehingga permintaan untuk bahan bakar transportasi masih rendah.
Kenaikan harga komoditas turut membawa berkah bagi perekonomian RI. Maklum ekonomi domestik masih sangat bergantung terhadap komoditas. Pangsa ekspor berbagai komoditas mentah dari Indonesia mencapai lebih dari 40% dari total ekspor.
Pada periode Januari-November 2020, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekspor kumulatif Indonesia mencapai US$ 146,8 miliar, turun 4,22% dibanding periode yang sama dari tahun sebelumnya.
Lemahnya permintaan global memang masih dirasakan betul sehingga ekspor RI turun. Namun penurunan ekspor tidak sedalam kontraksi pada impor yang membuat Indonesia beberapa kali mencatatkan surplus pada neraca perdagangannya.
Hampir seperempat dari total ekspor RI adalah minyak dan lemak hewani atau nabati yang didominasi oleh CPO dan turunannya serta bahan bakar mineral yang kebanyakan adalah batu bara.
Dalam laporan Berita Resmi Statistik BPS yang dirilis awal bulan ini, Peningkatan terbesar ekspor nonmigas November 2020 terhadap Oktober 2020 terjadi pada lemak dan minyak hewan/nabati sebesar US$ 449,4 juta (23,6%).
Naiknya permintaan impor dari India dan China, kenaikan harga CPO serta pemangkasan bea masuk impor oleh India sebesar 10% membuat komoditas unggulan RI ini menjadi pendongkrak total ekspor Indonesia.
Eskpor bahan bakar mineral pun tercatat masih minus 24% (yoy) pada 11 bulan tahun 2020. Kendati ekspor bahan bakar mineral masih terkontraksi hingga dobel digit, kerja sama perdagangan batu bara Indonesia-China menjadi katalis positif yang turut mengerek harga batu bara acuan (HBA).
China sepakat membeli batu bara dari Indonesia senilai US$ 1,46 miliar untuk tahun depan. Kedua negara sepakat untuk menargetkan volume perdagangan batu bara sebesar 200 juta ton.
Indonesia diuntungkan dengan semakin panasnya hubungan Australia-China yang membuat Beijing memilih memboikot beberapa produk ekspor unggulan Canberra seperti batu bara.
China banyak mengimpor batu bara termal dari Indonesia dan batu bara kokas dari Australia. Batu bara termal banyak digunakan untuk pembangkit listrik sementara batu bara metalurgi banyak dipakai untuk pembuatan baja.
Untuk tahun 2021 harga batu bara diperkirakan masih lanjut menguat. Badan Energi Internasional (IEA) memproyeksikan permintaan batu bara akan naik di 2021.
Kenaikan permintaan diperkirakan bakal mencapai 2,6% dibanding tahun ini pasca diserang pandemi Covid-19 yang memicu lockdown secara masif dan membuat konsumsi listrik turun dan roda industri tersendat.
Harga CPO pun diproyeksikan masih mampu naik hingga kuartal pertama tahun 2021 akibat La Nina. Namun Fitch menyebut harga yang sudah terlalu tinggi dan prospek output yang membaik di Indonesia berpotensi membuat harga CPO tertekan.
Reli harga komoditas yang terjadi sejak membuat harga saham emiten yang terkait dengan komoditas di Tanah Air juga ikut terdongkrak, meski beberapa masih berada di zona negatif.
Emiten di Bursa Efek Indonesia (BEI) yang memiliki usaha di sektor pertambangan emas dan juga nikel mengalami kenaikan yang fantastis. Contohnya adalah PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA) dan perusahaan pelat merah PT Aneka Tambang Tbk (ANTM). Harga saham keduanya melesat lebih dari 100% secara year to date.
Kemudian untuk emiten batu bara ada saham PT Indo Tambang Raya Megah Tbk (ITMG) yang berhasil melesat dobel digit meninggalkan PT Bukit Asam Tbk (PTBA) dan PT Adaro Energy Tbk (ADRO).
Untuk sektor CPO, saham PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI) yang merupakan anak usaha konglomerasi PT Astra Internasional Tbk (ASII) masih terbenam di zona koreksi dengan penurunan hingga dobel digit sepanjang 2020.
Hal serupa juga dialami oleh perusahaan migas BUMN yaitu PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) sebagai akibat sentimen negatif rendahnya harga minyak dan gas sepanjang pandemi Covid-19.
TIM RISET CNBC INDONESIA