Jakarta, CNBCÂ Indonesia -Â Harga minyak mentah dunia merosot pada sepanjang pekan ini akibat mutasi virus corona yang dikhawatirkan memicu karantina wilayah (lockdown) lagi, serta Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang menolak stimulus fiskal senilai US$ 900 miliar.
Harga minyak mentah jenis West Texas Intermediate (WTI) sepanjang pekan ini merosot 1,77% ke US$ 48,23/barel, sementara jenis Brexit ambrol 1,86% ke US$ 51,29/barel.
Mutasi virus corona di Inggris memicu kekhawatiran akan kembali diterapkannya lockdown di beberapa negara. Sebab, mutasi yang terjadi membuat virus corona lebih mudah menular hingga 70% dari awalnya.
Saat lockdown diterapkan atau setidaknya pembatasan sosial kembali diketatkan, maka aktivitas masyarakat akan kembali menurun, dan permintaan minyak mentah juga akan berkurang lagi.
Inggris sendiri sudah memperketat pembatasan sosial sejak Rabu pekan lalu. Ibu kota Inggris dan sejumlah kota kini dalam status 'high alert' dan akan dikenakan status level tiga yang lebih ketat.
Selain mutasi tersebut, lonjakan kasus penyakit akibat virus corona (Covid-19) memang sudah terjadi dalam beberapa bulan terakhir, yang membuat pembatasan sosial kembali diketatkan di berbagai negara.
Jerman, negara dengan nilai ekonomi terbesar di Eropa sudah mulai melakukan pengetatan pembatasan sosial sejak Rabu pekan lalu.
Kanselir Angela Merkel mengatakan Jerman bakal menutup sebagian besar toko dan mempersingkat musim belanja Natal.
"Saya akan mengharapkan tindakan yang lebih ringan. Tetapi karena belanja Natal, jumlah kontak sosial telah meningkat pesat... Ada kebutuhan mendesak untuk mengambil tindakan," kata Merkel kepada wartawan, dikutip dari CNBC International.
Toko-toko penting seperti supermarket, apotek, dan bank masih tetap buka. Sementara salon rambut, salon kecantikan, dan salon tato harus ditutup.
Sekolah juga ditutup, dan pemberi kerja diminta untuk menutup operasi atau menyuruh karyawan bekerja dari rumah. Penjualan kembang api juga akan dilarang menjelang Malam Tahun Baru.
Sebelumnya Jerman kini sudah mengisolasi sebagian sektor seperti bar dan restoran dalam enam minggu terakhir.
Negara-negara lainnya di Benua Biru hingga beberapa negara Asia, bahkan di New York Amerika Serikat (AS) juga melakukan hal yang sama. Bisnis non esensial di New York sudah ditutup dalam beberapa pekan terakhir. Gubernur New York, Andrew Cuomo, bahkan mengatakan penutupan tersebut bisa saja berlangsung hingga bulan Januari nanti akibat lonjakan kasus Covid-19.
Selain itu, langkah Presiden Trump menolak rancangan undang-undang (RUU) stimulus fiskal yang sudah disetujui Kongres (DPR dan Senat) AS.
Stimulus fiskal tersebut senilai US$ 900 miliar dan di-bundle dengan anggaran belanja pemerintah untuk satu tahun hingga September 2021 senilai US$ 1,4 triliun.
Stimulus fiskal US$ 900 miliar tersebut menjadi yang terbesar kedua yang pernah digelontorkan dalam sejarah AS, setelah stimulus senilai US$ 2 triliun yang digelontorkan pada bulan Maret lalu, yang disebut CARES Act. Sebagai program dalam CARES Act tersebut sudah berakhir.
RUU tersebut sudah diserahkan ke Presiden Trump Kamis (24/12/2020) lalu untuk ditandatangani sehingga sah dan cair. Dalam kondisi normal, Presiden Trump punya waktu 10 hari (di luar hari Minggu) untuk menandatangani RUU tersebut sehingga menjadi undang-undang, atau memveto alias membatalkan RUU tersebut. Seandainya dalam 10 hari Trump tidak menandatangani ataupun memveto RUU tersebut, maka otomatis akan menjadi undang-undang.
Itu dalam kondisi normal, tetapi dalam kondisi saat ini ada istilah "pocket veto" dimana RUU tersebut otomatis tidak akan menjadi undang-udang meski Trump tidak menandatangani atau memveto. Hal tersebut bisa terjadi jika dalam rentang 10 hari setelah RUU tersebut diserahkan ke presiden, Kongres AS mengalami reses. Kabar buruknya, Kongres AS akan resesi pada 3 Januari 2021.
Hingga saat ini Trump belum menandatangani RUU tersebut. Malah, pada Selasa malam waktu setempat Trump sedikit mengejutkan pasar, melalui akun Twitternya, ia menyebut stimulus senilai US$ 900 miliar sebagai "aib".
Dalam stimulus jilid II, Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang diperoleh warga AS sebesar US$ 600/orang, setengah dari yang diterima sebelumnya yakni US$ 1.200/orang. Untuk pasangan yang menikah BLT yang diperoleh sebesar US$ 1.200, dan US$ 600 untuk tanggungan anak. Sama dengan program CARES Act, BLT hanya diberikan sekali saja.
Hal tersebut yang dipermasalahkan oleh Trump. Ia juga meminta Kongres AS untuk menaikkan BLT senilai US$ 600 menjadi US$ 2.000 per orang, dan US$ 4.000 untuk pasangan yang menikah.
Untuk diketahui, stimulus fiskal CARES Act akan habis pada 26 Desember mendatang, dan anggaran untuk menjalankan pemerintahan akan habis pada 28 Desember mendatang.
Artinya, jika sampe tanggal 26 atau 28 Trump tidak menandatangani RUU tersebut, maka untuk sementara tidak akan ada stimulus fiskal untuk perekonomian AS, lebih parah lagi pemerintahan AS akan berhenti beroperasi (shutdown). Untuk diketahui, sejak September lalu, Kongres AS beberapa kali meloloskan RUU untuk anggaran belanja pemerintahan AS sementara agar tidak mengalami shutdown.
Pemulihan ekonomi AS tentunya terancam melambat jika hal tersebut terjadi. Saat pemulihan ekonomi melambat, maka permintaan minyak mentah akan berkurang, dan AS merupakan konsumen minyak mentah terbesar di dunia.
TIM RISET CNBC INDONESIA