Sepanjang pekan ini, pasar keuangan Indonesia berhasil menguat. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melonjak 3,8% secara point-to-point, terbaik se-Asia.
Sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menguat 0,57% di hadapan dolar AS secara point-to-point. Rupiah jadi mata uang terbaik kedua di Asia, hanya kalah dari won Korea Selatan.
Bagaimana dengan pekan depan? Sentimen apa saja yang perlu dimonitor oleh pelaku pasar?
Dari sisi agenda, investor perlu menyimak paparan Ketua Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) Jerome 'Jay' Powell di hadapan Kongres. Testimoni ini akan memberi gambaran bagaimana kondisi perekonomian saat ini dan prospek ke depan. Termasuk arah kebijakan suku bunga.
Sepertinya Powell masih akan memberi wanti-wanti soal ekonomi yang belum pulih betul akibat hantaman pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19). Bank sentral diperkirakan tetap menjalankan kebijakan moneter longgar sembari berharap kebijakan fiskal pun demikian, sampai perekonomian Negeri Adidaya berhasil bangkit.
Oleh karena itu, kemungkinan suku bunga acuan tetap bertahan rendah hingga beberapa tahun ke depan. Saat ini suku bunga acuan AS berada di titik terendah yaitu 0-0,25%.
"Jika perekonomian pulih tahun depan dan sudah ada vaksin, maka situasinya pasti akan lebih baik. Namun saya tidak yakin suku bunga acuan akan naik sebelum 2023, bahkan mungkin bisa sampai 2024," kata Charles Evans, Presiden The Fed Chicago, seperti dikutip dari Reuters.
Jika pidato Powell mengarah ke sana, maka dolar AS akan semakin tertekan. Sebab berinvestasi di aset-aset berbasis dolar AS (terutama di instrumen berpendapatan tetap) menjadi kurang menarik.
Investor akan lebih memilih aset-aset berisiko yang memberi cuan tebal, salah satunya tentu di Indonesia. Ketika ini terjadi, maka IHSG dan rupiah masih punya ruang untuk menguat lagi.
Kemudian dari sisi rilis data, ada beberapa yang patut menjadi perhatian. Pertama adalah rilis data aktivitas ekonomi yang dicerminkan oleh Purchasing Managers' Index (PMI) baik manufaktur maupun jasa periode November 2020.
PMI adalah salah satu indikator permulaan (leading indicator) yang berguna untuk meneropong arah perekonomian ke depan. Apakah ekspansif, atau kontraktif?
PMI menggunakan angka 50 sebagai titik mula. Kalau di atas 50 artinya ada ekspansi sementara di bawah 50 berarti kontraksi.
Sayangnya PMI manufaktur Indonesa sampai bulan lalu masih kontraksi. Dengan pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), semoga bisa menembus zona ekspansi pada November 2020.
Kemudian pada 1 Desember 2020 akan diumumkan data inflasi nasional oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan inflasi secara bulanan (month-to-month/MtM) sebesar 0,215%. Kemudian inflasi tahunan (year-on-year/YoY) 1,53% dan inflasi inti YoY di 1,72%.
Secara bulanan, inflasi Indonesia memang semakin terakselerasi. Namun secara tahunan, apalagi inflasi inti, masih terjadi perlambatan. Artinya, pergerakan harga masih belum pulih, permintaan belum kembali ke level pra-pandemi.
Ini menandakan daya beli masyarakat belum pulih sepenuhnya. PSBB yang membuat roda ekonomi berputar seret berdampak kepada penurunan pendapatan masyarakat, yang kemudian menyebabkan perlambatan permintaan sehingga tekanan harga menjadi minimal.
Kembali ke AS, pada akhir pekan depan akan ada rilis data ketenagakerjaan periode November 2020. Pada Oktober 2020, perekonomian AS menciptakan 638.000 lapangan kerja non-pertanian, tetapi bulan ini jumlahnya diperkirakan menyusut menjadi 500.000 berdasarkan konsensus yang dihimpun Reuters. Meski begitu, angka pengangguran AS diperkirakan turun dari 6,9% menjadi 6,7%.
Data ketenagakerjaan yang campur-aduk ini menggambarkan bahwa ekonomi Negeri Adikuasa belum pulih 100%. Pemulihan ekonomi masih bersifat sporadis, dan bisa mundur sewaktu-waktu jika pemerintah memperketat pembatasan sosial karena ledakan kasus corona.
"Pertanyaannya bukan apakah laju pemulihan akan lambat, memang lambat. Masalahnya adalah, seberapa jauh perlambatannya?" tegas Joel Naroff, Kepala Ekonom Naroff Economics yang berbasis di Pennylvania, seperti dikutip dari Reuters.
TIM RISET CNBC INDONESIA