Jakarta, CNBC Indonesia - Pandemi penyakit virus corona (Covid-19) benar-benar memukul Amerika Serikat (AS), krisis kesehatan berujung pada krisis ekonomi. Saat roda perekonomian mulai pulih, "bensin" dari stimulus fiskal justru macet. Garda moneter bakal turun tangan?
Melansir data Worldometers, hingga saat ini jumlah kasus Covid-19 telah mencapai lebih dari 7,7 juta orang, dengan lebih dari 216 ribu orang meninggal dunia, sementara yang sembuh nyaris 5 juta orang. Itu artinya, kasus aktif Covid-19 di AS saat ini sekitar 2,5 juta kasus.
Pandemi Covid-19 membuat pemerintah AS sebelumnya menerapkan kebijakan karantina wilayah (lockdown) kemudian pembatasan sosial (social distancing), demi meredam penyebaran virus yang berasak dari kota Wuhan China tersebut. Aktivitas bisnis pun merosot tajam dan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terjadi secara masif.
Pada kuartal II-2020, produk domestik bruto (PDB) AS mengalami kontraksi 31,4% secara kuartalan yang disetahunkan (quarterly annualized), menjadi yang terburuk sepanjang sejarah. Di kuartal I-2020, PDB AS mengalami kontraksi 5%, sehingga AS sah mengalami resesi.
Sementara itu, tingkat pengangguran AS sempat melonjak hingga 14,7% di bulan April lalu, menjadi yang tertinggi sepanjang sejarah. Meski data terakhir menunjukkan tingkat pengangguran berada di level 7,9% pada bulan September lalu. Persentase tersebut menunjukkan sebanyak 11 juta warga AS masih menganggur saat ini.
Itu baru dari sisi rumah tangga, dunia usaha juga mengalami pukulan hebat. Tingkat kebangkrutan perusahaan berada di level tertinggi dalam 10 tahun terakhir. Reuters melaporkan hingga bulan September lalu sebanyak 5.529 perusahaan mengajukan kebangkrutan. Angka tersebut naik 33% ketimbang periode Januari-September 2019.
"Perusahaan yang mengajukan kebangkrutan yang paling banyak adalah perusahaan kecil yang tidak memiliki akses ke modal atau stimulus," tulis Deirdre O'Connor, Direktur Pelaksana Restrukturisasi Korporat Epiq, sebagaimana dikutip Reuters. "Sayangnya, akan ada lebih banyak perusahaan yang bangkrut dengan kondisi ekonomi saat ini," tambahnya.
Dengan kondisi tersebut, Ketua bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed), Jerome Powell berulang kali menyatakan tanpa dukungan stimulus fiskal maka pemulihan ekonomi akan lambat, berujung kesulitan hidup bagi masyarakat dan pengusaha.
Pemerintah AS sebenarnya sudah menggelontorkan stimulus jumbo dengan total nyaris US$ 3 triliun, termasuk yang terbesar dalam sejarah dikeluarkan pada bulan Maret lalu senilai US$ 2 triliun. Stimulus tersebut digunakan untuk membantu rumah tangga hingga dunia usaha.
Untuk rumah tangga yang terdampak Covid-19, mendapatkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebesar US$ 1.200 per orang atau US$ 2.400 jika berpasangan dan tambahan US$ 500 untuk setiap anak, serta tambahan klaim tunjangan pengangguran sebesar US$ 600 per pekan. Tetapi, stimulus tersebut sudah habis pada bulan Juli lalu.
Selain menyasar rumah tangga, stimulus fiskal juga bakal membantu korporasi yang terdampak. Industri maskapai penerbangan dan pengangkutan mendapat hibah masing-masing senilai US$ 25 miliar dan US$ 4 miliar untuk membayar upah, gaji, dan tunjangan karyawan. Selain itu ada US$ 25 miliar dan US$ 4 miliar yang digunakan sebagai pinjaman maupun jaminan pinjaman.
Ada juga bantuan senilai US$ 350 miliar dalam bentuk pinjaman ke UKM untuk membayar upah, gaji maupun tunjangan pegawai senilai 250% dari gaji bulanan pemberi kerja dengan maksimal sebesar US$ 10 juta. Dan masih banyak lagi bentuk bantuan yang disalurkan ke semua lini, termasuk kesehatan guna menanggulangi pandemi Covid-19.
Presiden The Fed Minneapolis, Neel Kashkari, kepada CNBC International pada Rabu lalu mengatakan stimulus fiskal adalah kunci pemulihan ekonomi. "Ada konsekuensi yang besar jika stimulus fiskal tidak digelontorkan, kemerosotan ekonomi akan berakhir dengan buruk, sangat buruk," kata Kashkari pada Rabu (7/10/2020) waktu setempat.
"Jika kita tidak menolong warga yang tertekan PHK, mereka tidak akan sanggup membayar tagihan, merembet ke perekonomian, dan kemerosotan akan lebih buruk lagi," katanya.
Kini paket stimulus yang baru sedang dibahas antara Pemerintah AS dengan House of Representatif (DPR) yang dikuasai Partai Demokrat. Sayangnya dalam 2 bulan terakhir, masalah politik membuat pembahasan tersebut maju-mundur akibat tidak adanya kata sepakat soal nilai yang akan digelontorkan.
Ketua DPR dari Partai Demokrat mengajukan paket stimulus senilai US$ 2,2 triliun, sementara pemerintah di bawah Presiden Trump yang berasal dari Partai Republik hanya menyetujui sebesar US$ 1,6 triliun, itu pun masih dikatakan terlalu besar oleh beberapa anggota DPR dari Partai Republik.
Pada Selasa waktu setempat Trump menarik diri dari perundingan stimulus hingga pemilihan presiden 3 November mendatang. "Saya menginstruksikan perwakilan untuk berhenti bernegosiasi sampai setelah pemilihan presiden," tulisnya di Twitter @realDonaldTrump, Selasa (6/10/2020) sore waktu setempat.
Namun kini sikap Presiden Trump berubah sikap dan mendesak Kongres menyetujui program Bantuan Langsung Tuna (BLT) senilai US$ 1.200 bagi warga AS, kemudian US$ 25 miliar untuk industri penerbangan, dan US$ 135 miliar pinjaman untuk usaha kecil.
Masih belum jelas apakah Partai Demokrat dan Republik akhirnya akan mencapai kata sepakat, sebab kedua belah pihak sama-sama ngotot.
Selain stimulus fiskal, The Fed sudah menggelontorkan stimulus moneter guna menyelamatkan perekonomian AS. Suku bunga dibabat habis hingga 0,25%, dan akan dipertahankan hingga akhir 2023. Selain itu, bank sentral paling powerful di dunia ini juga menjalankan program pembelian aset (quantitative easing/QE) dengan nilai US$ 120 miliar per bulan.
Tetapi untuk diketahui, The Fed sebelumnya mengatakan akan menggelontorkan QE seberapa pun diperlukan guna memacu perekonomian AS yang nyungsep akibat pandemi penyakit virus corona (Covid-19).
Dalam notula rapat kebijakan moneter September yang dirilis dini hari tadi, beberapa anggota pembuat kebijakan (Federal Open Marker Committee/FOMC) mulai membuka diskusi mengenai kemungkinan penambahan nilai QE per bulan. Tetapi para anggota lainnya mengatakan diskusi tersebut lebih baik dilakukan pada "rapat kebijakan moneter berikutnya".
Artinya, The Fed masih punya "senjata" guna memacu perekonomian AS, yakni dengan penambahan nilai QE.
Sejak pandemi Covid-19 melanda, The Fed sudah menggelontorkan QE senilai US$ 3 triliun, yang terlihat dari Neraca Saldo yang dimilikinya. Neraca Saldo menunjukkan jumlah aset (obligasi pemerintah, swasta, dan surat berharga lain) yang dimiliki The Fed. Semakin tinggi saldo, artinya The Fed menggelontorkan QE lebih besar dengan memborong surat berharga dari pasar.
Berdasarkan data dari Federal Reserve, per 30 September lalu saldo The Fed mencapai US$ 7,056 triliun, naik tajam ketimbang posisi sebelum dihantam Covid-19 bulan Maret lalu di kisaran US$ 4,1 triliun.
Ekonom The Fed, Michael Kiley, yang juga merupakan deputi direktur stabilitas finansial, memberikan hasil risetnya yang menunjukkan The Fed bisa mempercepat laju pemulihan ekonomi AS dari resesi jika QE ditambah sebesar US$ 3,5 triliun atau Rp 51.450 triliun (kurs Rp 14.700/US$).
"Melihat terpukulnya perekonomian di awal tahun ini, program pembelian aset setara dengan 30% dari produk domestik bruto, atau sekitar US$ 6,5 triliun, dibutuhkan guna memulihkan perekonoman," tulis Kiley dalam risetnya yang juga tercantum di notula rapat kebijakan moneter The Fed.
Namun, masih belum jelas kapan penambahan QE tersebut akan dibahas, mengingat The Fed menuliskan "dalam rapat kebijakan moneter berikutnya", tetapi jika stimulus fiskal di AS yang terus mandek, ada peluang The Fed akan segera menggelontorkan stimulus tambahan.
Hanya saja, stimulus moneter tidak seperti stimulus fiskal yang bisa memberikan BLT. Sehingga stimulus fiskal tetap saja diperlukan guna memulihkan perekonomian AS.
TIM RISET CNBC INDONESIA