Bersiap Nyerok! Ada Wacana Stimulus Rp 51.000 T dari The Fed

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
08 October 2020 14:23
Gubernur bank sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve, Jerome Powell  (AP Photo/Jacquelyn Martin)
Foto: Gubernur bank sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve, Jerome Powell (AP Photo/Jacquelyn Martin)

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank sentral Amerika Serikat (AS) atau The Federal Reserve (The Fed) merilis notula rapat kebijakan moneter periode September 2020 pada Kamis (8/10/2020) dini hari tadi. Notula tersebut menunjukkan bagaimana para anggota komite pembuat kebijakan (Federal Open Market Committee/FOMC) berbeda pendapat mengenai strategi kebijakan moneter bahkan proyeksi perekonomian ke depannya.

Dalam rapat yang digelar pada pertengahan September lalu, Ketua The Fed Jerome Powell mengumumkan mempertahankan suku bunga acuan 0,25%, dan akan dipertahankan hingga akhir 2023. Selain itu, bank sentral paling powerful di dunia ini juga mempertahankan nilai pembelian aset (quantitive easing/QE) tetap sebesar US$ 120 miliar per bulan.

Tetapi untuk diketahui, The Fed sebelumnya mengatakan akan menggelontorkan QE seberapa pun diperlukan guna memacu perekonomian AS yang nyungsep akibat pandemi penyakit virus corona (Covid-19).

Beberapa indikator ekonomi AS sebenarnya menunjukkan pemulihan, tetapi menurut The Fed ketidakpastian masih tinggi, sehingga laju pemulihan pun masih perlu dukungan dari stimulus. 

The Fed memiliki mandat mencapai target inflasi 2% dan penciptaan lapangan kerja maksimal (maximum employment). Inflasi berdasarkan belanja personal (Personal Consumption Expenditure/PCE) yang menjadi acuan The Fed pada bulan Agustus sudah berada di level 1,4% year-on-year (YoY). Tetapi inflasi tersebut belum pernah mencapai level 2% sejak Desember 2018, artinya sebelum pandemi virus corona melanda, inflasi memang sudah menjadi masalah bagi perekonomian AS. 

The Fed ini sudah mengubah targetnya dengan menetapkan rata-rata inflasi 2%, sehingga akan membiarkan inflasi lebih tinggi dari 2% selama beberapa waktu sebelum menaikkan suku bunga. Hal itu dilakukan karena di tahun ini inflasi sempat merosot hingga 0,5% YoY, terendah sejak akhir 2015. 

Kemudian dari pasar tenaga kerja, tingkat pengangguran sudah terus menunjukkan penurunan, di bulan September tercatat sebesar 7,9%, turun jauh dari rekor 14,7% di bulan April lalu. Meski demikian, sekali lagi ketidakpastian masih tinggi, sehingga perekonomian AS masih perlu bantuan stimulus.  

Dalam notula yang dirilis dini hari tadi, beberapa anggota FOMC mulai membuka diskusi mengenai kemungkinan penambahan nilai QE per bulan, tetapi para anggota lainnya mengatakan diskusi tersebut lebih baik dilakukan pada "rapat kebijakan moneter berikutnya".

Artinya, The Fed masih punya "senjata" guna memacu perekonomian AS, yakni dengan penambahan nilai QE.

Sejak pandemi Covid-19 melanda, The Fed sudah menggelontorkan QE sekitar US$ 3 triliun, yang terlihat dari neraca yang dimilikinya. Neraca menunjukkan jumlah aset (obligasi pemerintah, swasta, dan surat berharga lainnya) yang dimiliki The Fed, semakin tinggi artinya The Fed menggelontorkan QE semakin besar.

Berdasarkan data dari Federal Reserve, per 30 September lalu, neraca The Fed mencapai US$ 7,056 triliun, naik tajam ketimbang posisi sebelum dihantam Covid-19 bulan Maret lalu di kisaran US$ 4,1 triliun.

Ekonom The Fed, Michael Kiley, yang juga merupakan Deputi Direktur Stabilitas Finansial, memberikan hasil risetnya yang menunjukkan The Fed bisa mempercepat laju pemulihan ekonomi AS dari resesi jika QE ditambah sebesar US$ 3,5 triliun atau Rp 51.450 triliun (kurs Rp 14.700/US$).

"Melihat terpukulnya perekonomian di awal tahun ini, program pembelian aset setara dengan 30% dari produk domestik bruto, atau sekitar US$ 6,5 triliun, dibutuhkan guna memulihkan perekonomian," tulis Kiley dalam risetnya yang juga tercantum di notula rapat kebijakan moneter The Fed.

Namun, masih belum jelas kapan penambahan QE tersebut akan dibahas, mengingat The Fed menuliskan "dalam rapat kebijakan moneter berikutnya", tetapi jika stimulus fiskal di AS yang terus mandek, ada peluang The Fed akan segera menggelontorkan stimulus tambahan.

Pembahasan stimulus fiskal memang maju mundur antara Pemerintah AS dan House of Representative (DPR) yang dikuasi oleh Partai Demokrat. Padahal, Powell sebelumnya sudah berulang kali menyatakan pentingnya stimulus fiskal guna memulihkan perekonomian AS.

Jika tambahan stimulus moneter The Fed akhirnya jadi digelontorkan, aset-aset berisiko tentunya akan kembali menguat. Bursa saham global berpeluang kembali menanjak.

Pada bulan Maret lalu, bursa saham global termasuk Wall Street mengalami aksi jual masif. Indeks S&P 500 bahkan merosot lebih dari 30% pada periode pertengahan Februari hingga pertengahan Maret.

Namun, setelah The Fed menggelontorkan QE ditambah dengan stimulus fiskal pertama pemerintah AS senilai US$ 2 triliun, indeks S&P 500 kembali menanjak, bahkan mencetak rekor tertinggi sepanjang masa di awal September lalu.

Tidak hanya Wall Street, indeks saham secara global juga pulih termasuk IHSG. Selain The Fed, banyak bank sentral dan pemerintah yang menggelontorkan stimulus moneter dan fiskal.

Tidak hanya aset berisiko, emas yang merupakan aset safe haven juga melesat dan mencetak rekor tertinggi sepanjang masa pada Agustus lalu. Penyebabnya sama, stimulus moneter dan fiskal.

Gelontoran stimulus di AS tersebut membuat jumlah mata uang yang beredar di perekonomian bertambah, dampaknya dolar AS melemah. Efek berikutnya, inflasi ke depannya berisiko meningkat.

Alhasil, "semesta" mendukung emas terbang tinggi. Pandemi Covid-19 memicu resesi dunia, para pelaku pasar mengalihkan investasinya ke aset safe haven seperti emas.

Kemudian, pelemahan dolar AS membuat harga emas menjadi lebih murah bagi pemegang mata uang lainnya, permintaannya berpotensi meningkat.
Terakhir, ekspektasi kenaikan inflasi, juga membuat permintaan emas meningkat sebagai aset lindung nilai terhadap inflasi.

Emas pun akhirnya mencetak rekor tertinggi sepanjang masa sepanjang masa US$ 2.072,49/troy ons pada 7 Agustus lalu, jauh lebih tinggi dari rekor sebelumnya US$ 1.920.3/troy ons yang dicapai pada September 2011.

Jika The Fed benar menambah nilai QE, kemudian stimulus fiskal di AS akhirnya cair, emas tentunya bisa melesat dan mencetak rekor lagi, bahkan kemungkinan jauh lebih tinggi.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular