
Walau Ada Vaksin, Dorong Ekonomi Tumbuh 5% Tetap Berat...

Jakarta, CNBC Indonesia - Vaksin adalah satu-satunya tumpuan harapan tersisa untuk mengembalikan perekonomian global yang terkontraksi sepanjang tahun ini kala pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) merebak. Perkembangan progresif vaksin Covid-19 memang menggembirakan. Namun untuk vaksin bisa sampai ke tangan orang yang membutuhkan jalannya masih panjang.
Baru kali ini dalam sejarah umat manusia, proses pengembangan vaksin dilakukan secara paralel. Baru kali ini juga pemerintah, akademisi, institusi riset, korporasi hingga pemilik modal bekerja sama untuk menemukan sang juru selamat.
McKinsey & Company pada Juli lalu memperkirakan total nilai investasi untuk pengembangan vaksin sudah mencapai US$ 6,7 miliar. Sementara lembaga think tank global Oxfam menyebut butuh US$ 79 miliar untuk riset, produksi, pengadaan hingga distribusi vaksin secara global.
Konsekuensi kerja sama yang agresif dan timeline yang diperketat memang menjadikan pengembangan vaksin berlangsung lebih cepat tetapi harus dilihat juga risikonya. Hanya dalam kurun waktu kurang dari 12 bulan sudah ada 10 kandidat vaksin yang memasuki uji tahap akhir.
Bahkan beberapa di antaranya sudah melaporkan analisa awal hasil uji klinis tahap ketiganya. Di bulan ini saja sudah ada empat kandidat vaksin yang berada di fase akhir uji klinis melaporkan hasil yang menjanjikan.
Semua diawali oleh Pfizer dan BioNTech yang mengklaim bahwa kandidat vaksin yang mereka kembangkan ternyata memiliki tingkat keampuhan (efficacy) di atas 90%. Tak butuh waktu lama, giliran vaksin Rusia yakni Sputnik-V yang dikembangkan oleh Gamaleya Research Institute yang mengklaim punya efficacy rate 92%.
Seolah tak mau ketinggalan, Moderna Inc yang mengembangkan vaksin Covid-19 berbasis molekul RNA pekan lalu merilis hasil uji klinis tahap ketiganya. Kandidat vaksin mRNA-1273 dinilai punya tingkat keampuhan sampai 94,5%.
Seminggu kemudian ada AstraZeneca yang mengembangkan vaksin Covid-19 termurah dan terlaris yang mengklaim bahwa kandidat vaksin AZD1222 punya tingkat keampuhan dalam memproteksi seseorang dari Covid-19 di kisaran 70-90%.
Sekilas kabar tersebut terdengar menjanjikan sampai-sampai membuat sumringah pasar keuangan. Harga aset-aset berisiko seperti saham mengalami apresiasi, perilaku risk aversion juga cenderung berkurang dengan aksi jual emas yang masif dan membuat harga aset safe haven tersebut terperosok.
Optimisme bahwa vaksin akan mengembalikan hidup normal seperti sediakala juga membuat harga komoditas seperti minyak mentah mengalami kenaikan tajam sampai lebih dari 20% sepanjang November ini.
Sebenarnya ada banyak hal yang perlu dicatat terkait vaksin. Masih banyak pertanyaan yang belum bisa dijawab meski ada klaim vaksin yang dikembangkan dinilai aman dan efektif.
Hasil studi yang dirilis kebanyakan masih hasil awal. Belum ada studi yang komprehensif. Agar bisa disetujui oleh otoritas kesehatan informasi mendetail soal keamanan dan kemanjuran vaksin tetap harus dipublikasikan dengan transparan. Analisa harus objektif terbebas dari kepentingan politis dan kalkukasi untung rugi.
Kalaupun pada akhirnya ada beberapa vaksin Covid-19 yang goal dan diberi lampu hijau oleh otoritas kesehatan terkait untuk digunakan oleh publik, tantangan lain muncul.
Saat ini ada kurang lebih 7,8 miliar orang di dunia. Apabila diasumsikan satu orang butuh dua kali suntikan (dua dosis) dengan tingkat pemborosan 15%, maka total vaksin yang dibutuhkan mencapai 18 miliar dosis.
Mengacu pada kajian WHO, saat ini orang yang benar-benar membutuhkan vaksin karena berisiko tinggi jumlahnya mencapai 1,85 miliar orang atau 24% dari total penduduk bumi. Artinya jumlah vaksin yang dibutuhkan mencapai 4,625 miliar dosis.
Masalahnya, vaksin yang dikembangkan saat ini selain belum selesai uji klinis juga belum menjadi barang miliki publik. Artinya masih ada tendensi bahwa para pengembang masih ingin meraup untung dari produk yang dikembangkannya.
Hal ini dikritisi oleh Oxfam yang terus meminta bahwa transfer teknologi harus dilakukan untuk mempercepat produksi vaksin. Pasalnya tidak ada satu pengembang pun yang bisa memenuhi kebutuhan vaksin global.
Vaksin pun akan tetap menjadi barang langka, kajian yang dilakukan oleh Center for Global Development (CGD) dan Bryden Wood memproyeksikan bahwa untuk memasok 4,265 miliar dosis vaksin butuh waktu kurang lebih 26 bulan. Itu pun tingkat kemungkinannya hanya 75%.
Makin mirisnya lagi, setengah dari pasokan vaksin yang diproyeksikan bakal tersedia sudah dikuasai oleh negara-negara maju. Saat ini negara-negara kaya dengan 13% populasi penduduk global telah mengamankan 51% dari total dosis vaksin yang bisa diproduksi oleh para pengembang.
Kapasitas produksi vaksin yang tercatat saat ini menurut Oxfam bisa mencapai 5,94 miliar dosis. Namun kesepakatan terkait pasokan vaksin sudah mencapai 5,3 miliar dosis.
Sebanyak 2,73 miliar dosis (51%) sudah dipesan oleh negara-negara maju seperti Inggris, AS, Australia, Hong Kong & Macau, Jepang, Swiss, Israel dan Uni Eropa.
Sementara sisanya sebanyak 2.575 miliar dosis telah dibeli oleh atau dijanjikan ke negara-negara berkembang termasuk India, Bangladesh, China, Brasil, Indonesia dan Meksiko.
Pemerintah Inggris telah mengamankan sejumlah dosis vaksin sehingga 1 orang warganya mendapat pasokan 5 dosis vaksin. Jelas ini sangat kontras dengan kondisi di Bangladesh yang sampai sekarang hanya mendapat jatah 1 dosis untuk 9 orang menurut Oxfam.
Dengan jalan yang masih panjang dan ketimpangan ini mustahil sekali kalau perekonomian bakal langsung pulih ke level sebelum pandemi dalam waktu dekat. Ini baru dilihat dari sisi sektor kesehatan saja dan perlu melihat dengan kacamata yang lebih luas lagi.