Walau Ada Vaksin, Dorong Ekonomi Tumbuh 5% Tetap Berat...

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
24 November 2020 14:57
Ilustrasi Indonesia Resesi (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Foto: Ilustrasi Indonesia Resesi (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Sudah hampir satu tahun merebak, wabah Covid-19 belum juga bisa dijinakkan. Bahkan negara-negara barat seperti Inggris, Eropa dan Amerika Serikat sekarang sedang bergelut untuk menghadapi gelombang kedua Covid-19 yang lebih dahsyat. 

Langkah pengetatan seperti lockdown kembali marak. Rebound ekonomi yang terjadi pada kuartal ketiga ternyata tak lebih dari sesuatu yang cenderung semu. Adanya penguncian plus aksi social distancing mandiri membuat sentimen di kalangan konsumen kembali memburuk.

Negara-negara Eropa pun diyakini bakal mengalami fenomena double dip recession atau fenomena kontraksi-pulih-kontraksi ekonomi yang terjadi secara beruntun. 

Meski lockdown jilid II ini tak seketat yang pertama tetap saja dampak ke perekonomiannya tetap terasa. Tahun 2020 memang menjadi sejarah baru bagi umat manusia di muka bumi. Ini adalah resesi terparah yang pernah dialami sejak depresi besar tahun 1929-1930.

Lockdown untuk membendung meledaknya wabah Covid-19 harus dibayar dengan mahal. Kerusakan ekonomi yang nyata terlihat adalah melonjaknya angka pengangguran hingga kemiskinan. 

Fenomena 'The Great Lockdown' tidak hanya membuat permintaan akan barang dan jasa merosot. Namun permintaan terhadap sektor tenaga kerja juga ikut menurun drastis karena pabrik dan perkantoran banyak yang tutup atau bahkan beroperasi dengan kapasitas yang lebih rendah.

Pekerja yang dirumahkan dan terkena PHK pun melonjak. Organisasi Buruh Internasional (ILO) pada semester kedua tahun ini jumlah jam kerja yang hilang adalah 1,2% atau setara dengan 34 juta lapangan pekerjaan tetap.

Banyaknya pengangguran membuat kemiskinan juga ikut terkerek naik. Tiga peneliti asal King's College London dan Universitas Nasional Australia memperkirakan jumlah penduduk miskin dunia tahun ini bakal mencapai 1,12 miliar orang atau setara dengan 14,3% dari total populasi global.

Akan ada tambahan 400 juta orang dalam keadaan yang mengalami kemiskinan ekstrem. Artinya jika mengacu pada definisi Bank Dunia, kelompok yang berada di garis kemiskinan ekstrem ini harus hidup di bawah US$ 1,9 per hari atau setara dengan Rp 27.550/hari asumsi kurs Rp 14.500/USS$.

Untuk meredam kejatuhan ekonomi yang lebih parah stimulus jumbo pun digelontorkan oleh para pemangku kebijakan. Di negara-negara maju, suku bunga acuan dipangkas habis-habisan sampai ke zero lower bound

Tak sampai di situ saja, bank sentral global baik di negara maju maupun berkembang kompak menggunakan kebijakan injeksi likuiditas secara masif dengan melakukan pembelian aset-aset keuangan melalui mekanisme yang dikenal dengan quantitative easing.

Di sisi fiskal, pemerintah juga memberikan bantuan kepada masyarakat hingga korporasi lewat stimulus yang nilainya juga terbilang fantastis. Kebijakan fiskal ekspansif pemerintah di tengah penurunan pendapatan dari pajak membuat defisit anggaran membengkak. 

Kebutuhan untuk berhutang menjadi tinggi dan jumlah utang pun meledak. The Institute of International Finance (IIF) memperkirakan total utang global hingga akhir tahun ini mencapai US$ 277 triliun atau setara dengan 342% dari total output perekonomian global. 

Sepanjang vaksin belum didistribusikan secara merata, Covid-19 masih merebak, mobilitas terpantau tetap lengang dan stimulus yang diberikan tidak segera dibelanjakan maka ekonomi akan tetap lesu. 

Berbagai lembaga internasional seperti Bank Dunia hingga Dana Moneter Internasional (IMF) memproyeksi pertumbuhan ekonomi dunia bakal bangkit tahun depan di angka kisaran 4-5%. Namun sebenarnya itu masih banyak diakibatkan oleh low base effect

Fundamental ekonomi masih tetap rapuh, dengan defisit fiskal yang sangat bengkak dan utang yang menggunung, kalau pun ekonomi bisa bangkit tetap saja mempengaruhi kesinambungan (sustainability) dari ekonomi itu sendiri. 

Gelombang utang yang menggulung dunia pada akhirnya hanya akan mempercepat periode boom & bust siklus ekonomi, apalagi ketika pengetatan moneter nantinya akan diterapkan. 

Pada akhirnya apakah vaksin bisa membuat perekonomian pulih, jawabannya bisa. Namun tetap saja butuh waktu tidak hanya berbulan-bulan mungkin tahunan untuk benar-benar mengembalikan ke level sebelum pandemi mengingat kerusakan yang diakibatkan oleh Covid-19 sangatlah parah. 

TIM RISET CNBC INDONESIA

(twg/twg)

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular