'Hantu' CAD Pergi dari RI Bukan Karena Prestasi, Tapi Tragedi

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
20 November 2020 13:48
Dollar
Foto: Freepik

Jakarta, CNBC Indonesia - Setelah nyaris satu dekade lamanya, transaksi berjalan (current account) Indonesia akhirnya mencatat surplus lagi di kuartal III-2020.

Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada periode Juli-September kembali mencatat surplus US$ 2,1 miliar. Transaksi berjalan, yang sebelumnya selalu membuat NPI tekor, kini turut menyumbang surplus.

"NPI mencatat surplus sebesar US$ 2,1 miliar pada triwulan III 2020, melanjutkan capaian surplus sebesar US$ 9,2 miliar pada triwulan sebelumnya. Surplus NPI yang berlanjut tersebut didukung oleh surplus transaksi berjalan maupun transaksi modal dan finansial," sebut keterangan tertulis Bank Indonesia (BI), Jumat (20/11/2020).

Pada kuartal III-2020, pos transaksi modal dan finansial dalam NPI mencatat surplus US$ 1 miliar, atau 0,4% dari Produk Domestik Bruto (PDB), menurun jauh dibandingkan kuartal sebelumnya US$ 10,6 miliar atau 4,3% dari PDB.

Sementara itu pos NPI yang selalu menjadi perhatian, transaksi berjalan, mencatat surplus sebesar US$ 1 atau 0,4% dari PDB, setelah mengalami defisit US$ 2,9 miliar atau 1,2% dari PDB di kuartal sebelumnya.

Surplus transaksi berjalan ditopang oleh surplus neraca barang seiring dengan perbaikan kinerja ekspor di tengah masih tertahannya kegiatan impor sejalan dengan permintaan domestik yang belum kuat.

Kali terakhir transaksi berjalan mencatat surplus persis sembilan tahun lalu, yakni kuartal III-2011. Setelahnya, transaksi berjalan terus defisit sehingga kita terbiasa dengan istilah CAD (Current Account Deficit). Mungkin sekarang kita harus membiasakan diri dengan sebutan CAS (Current Account Surplus).

Transaksi berjalan menggambarkan arus masuk-keluar devisa yang datang dari ekspor-impor barang dan jasa, pendapatan primer, serta serta pendapatan sekunder.

Berdasarkan publikasi BI, neraca perdagangan barang dan jasa menjadi penopang surplus transaksi berjalan. Pendapatan sekunder juga mencatat surplus, sementara itu pendapatan primer mengalami defisit.

Neraca Perdagangan Barang dan Jasa

Neraca perdagangan barang di kuartal III-2020 mencatat surplus US$ 9,8 miliar, lebih tinggi dari kuartal sebelumnya surplus US$ 4 miliar, dan jauh lebih tinggi dari surplus US$ 1,4 miliar di kuartal III-2019. Sedangkan neraca perdagangan Jasa membukukan defisit US$ 2,6 miliar, lebih tinggi dibandingkan kuartal sebelumnya US$ 2,2 miliar.

Surplus neraca barang terbantu melonjaknya surplus di neraca non-migas yang mencapai US$ 10,5 miliar, naik tajam dibandingkan kuartal II-2020 lalu sebesar US$ 4,8 miliar dan kuartal III-2019 US$ 3,4 miliar. Sementara itu neraca migas tercatat defisit sebesar US$ 0,7 miliar.

idrSumber: BI

Pemulihan ekonomi China setelah dihantam pandemi penyakit virus corona (Covid-19) menjadi kontributor terbesar surplus neraca non-migas. Ekspor ke China sepanjang kuartal III-2020 mencatat kenaikan 9,4% year-on-year (YoY). Kemudian ekspor ke Amerika Serikat (AS), juga tumbiuh 5,4% YoY, setelah mengalami kontraksi 9,8% YoY di kauartal II-2020.

Sementara itu, ekspor ke negara-negara lainnya masih mencatat kontraksi secara YoY.

Sementara itu, impor non-migas tercatat tumbuh 0,9% quarter-to-quarter (QtQ), sementara jika dibandingkan dengan kuartal III-2019 mengalami kontraksi sebesar 23,9% YoY, lebih dalam ketimbang kuartal sebelumnya 16,8% YoY.

Neraca Pendapatan Primer

Pos ini kembali mencatat defisit di kuartal III-2020, sebesar US$ 7,6 miliar, lebih tinggi dibandingkan 3 bulan sebelumnya US$ 6,2 miliar. Namun, masih lebih baik dibandingkan kuartal III-2019 yang mencatat defisit US$ 8,4 miliar.

Berdasarkan publikasi BI, peningkatan defisit terjadi akibat meningkatnya pembayaran pendapatan hasil investasi kepada investor asing, sementara pendapatan investasi justru menurun.

Defisit investasi langsung tercatat sebesar US$ 3,6 miliar, naik dibandingkan kuartal sebelumnya US4 2,7 miliar.

Neraca Pendapatan Sekunder

Di kuartal III-2020, neraca pendapatan sekunder mencatat surplus US$ 4,1 miliar, nyaris sama dengan kuartal sebelumnya. Surplus tersebut dipengaruhi stabilnya transfer personal baik pembayaran remintansi Tenaga Kerja Asing (TKA) maupun dari sisi penerimaan remintansi Pekerja Migran Indonesia (PMI).

Penerimaan remitanasi PMI yang tertinggi dilaporkan dari kawasan Asia Pasific sebesar US$ 1,4 miliar, kemudian dari Timur Tengah dan Afrika US$ 0,8 miliar.

Jumlah PMI di kuartal III-2020 dilaporkan sebanyak 3,2 juta orang. Pencabutan Kepmennaker No. 151 Tahun 2020 mengenai penghentian sementara penempatan ke luar negeri dikatakan belum berdampak pada penambahan stok PMI.

Sementara itu, pembayaran remitansi TKA di kuartal III-2020 dilaporkan sebesar 0,7 miliar.

Surplus neraca perdagangan barang dan jasa serta neraca perdagangan sekunder tersebut akhirnya membuat Indonesia bebas dari "CAD" setelah 9 tahun lamanya.

CAD menjadi "hantu" bagi perekonomian Indonesia. Kala defisit membengkak, Bank Indonesia akan menaikkan suku bunga guna menarik hot money di pos transaksi modal dan finansial sehingga diharapkan dapat mengimbangi defisit transaksi berjalan. Hal tersebut menjadi penting guna menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. 

Namun, kala suku bunga dinaikkan, suku bunga perbankan tentunya ikut naik, sehingga beban yang ditanggung dunia usaha hingga rumah tangga akan menjadi lebih besar. Akibatnya, investasi hingga konsumsi rumah tangga akan melemah, dan roda perekonomian menjadi melambat.

Namun, ada yang mengganjal dari surplus transaksi berjalan. Sebab berhasil dicapai akibat pandemi Covid-19, yang merupakan tragedi bagi umat manusia.

Guna meredam penyebaran virus corona, pemerintah di berbagai negara menerapkan kebijakan pembatasan sosial (social distancing), hingga karantina (lockdown). Alhasil, roda bisnis menjadi melambat signifikan, perekonomian nyungsep, dan resesi terjadi dimana-mana, termasuk di Indonesia.

Aktivitas ekonomi di dalam negeri mendapat pukulan telak, sektor manufaktur mengalami kontraksi akibatnya permintaan impor barang modal maupun baku/penolong mengalami kontraksi tajam.

Hal tersebut yang menjadi pemicu utama surplus transaksi berjalan Indonesia di kuartal III-2020. Barang modal dan bahan baku/penolong berkontribusi sebesar 69,1% dan 18,5% dari total impor, sementara barang konsumsi sebesar 11%.

Masalahnya, impor barang modal mengalami kontraksi 25.3% YoY, lebih dalam ketimbang kuartal II-2020 20,7% YoY. Sementara impor bahan baku/penolong terkontraksi 23,9% YoY.

Penurunan impor tersebut menunjukkan industri pengolahan di Indonesia "mati suri", banyak pabrik yang mengurangi hingga menghentikan aktivitas produksi.

Data dari Markit menunjukkan purchasing managers' index (PMI) di bulan Oktober sebesar 47,8. PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas, di bawahnya berarti ekspansi, sementara di atasnya berarti ekspansi.

Sektor manufaktur Indonesia sudah mengalami kontraksi sejak bulan Maret lalu, meski sempat berekspansi di bulan Agustus. Dampaknya bisa ditebak, jumlah pengangguran mengalami peningkatan.

Badan Pusat Statistik mencatat jumlah orang yang bekerja pada Agustus 2020 ada 128,5 juta orang dari total 138,2 juta angkatan kerja. Jumlah orang yang bekerja turun sekitar 300 ribu orang dibandingkan dengan Agustus tahun sebelumnya.

Jumlah orang yang bekerja penuh (bekerja setidaknya 35 jam dalam seminggu) di dalam negeri berkurang hingga 9,5 juta orang jika dibandingkan Agustus 2019. Namun jumlah orang yang bekerja paruh waktu hingga setengah menganggur naik masing-masing 4,3 juta dan 4,8 juta orang.

Angka pengangguran di bulan Agustus mencapai 9,77 juta orang, naik tajam dari 6,88 juta orang pada bulan Februari lalu, saat virus corona belum menyerang Indonesia. Dengan kenaikan tersebut, tingkat pengangguran terbuka di Indonesia di bulan Agustus sebesar 7,07%, naik dari tahun lalu sebesar 5,23%.

Impor non-migas akan menjadi kunci apakah transaksi berjalan masih akan surplus atau kembali defisit di kuartal IV-2020. Sektor manufaktur Indonesia sebenarnya mulai menunjukkan kebangkitan di bulan Agustus lalu, kala angka PMI naik menjadi 50,8.

Tetapi sayangnya, DKI Jakarta kembali menerapkan Pembasatan Sosial Bersakala Besar (PSBB) yang lebih ketat pada petengahan September yang membuat sektor manufakfur kembali berkontraksi. PSBB akhirnya kembali dilonggarkan di bulan Oktober, dan PMI naik kembali meski belum mencapai ekspansi.

"Pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada pertengahan Oktober hanya sedikit mendorong aktivitas manufaktur. Volume produksi masih menurun, demikian pula pemesanan baru. Permintaan eksternal (ekspor) juga melemah, bahkan cukup dalam. Dampak pandemi virus corona masih membebani gerak ekonomi secara keseluruhan," sebut keterangan tertulis IHS Markit.

Mulai pulihnya sektor manufaktur artinya permintaan impor barang modal dan bahan baku penolong tentunya akan meningkat. Jika tidak diimbangi dengan peningkatan ekspor non-migas, tentunya surplus transaksi berjalan akan tergerus di kuartal IV-2020, atau bahkan ada kemungkinan berbalik defisit lagi.

Masalahnya, Amerika Serikat yang pangkas ekspornya mencapai 12,1% di bawah China 16,5% sedang mengalami serangan virus corona gelombang kedua. Beberapa negara bagian mulai mengetatkan lagi pembatasan sosial, yang tentunya membuat roda bisnis kembali menurun.

Alhasil, ekspor ke Negeri Paman Sam berisiko menurun. Seperti disebutkan sebelumnya, ekspor non-migas di kuartal III-2020 hanya mengalami kenaikan ke China dan Amerika Serikat, sementara sisanya masih mengalami kontraksi. Penurunan ekspor ke AS tentunya mengancam pendapatan ekspor non-migas, yang dapat menggerus surplus transaksi berjalan.


Tetapi kabar baiknya, jika impor kembali meningkat, artinya aktivitas perekonomian di Indonesia mulai berputar lagi, sehingga penurunan surplus transaksi berjalan tidak selalu berarti buruk.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular