Untung Market RI Cuma Buka 2 Hari, Kalau Tidak...

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
26 October 2020 13:35
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia  Anjlok
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pekan ini adalah periode yang pendek di pasar keuangan Indonesia. 'Lapak' hanya dibuka hari ini dan besok, sisanya libur panjang peringatan Maulid Rasulullah SAW.

Di satu sisi, pelaku pasar hanya punya ruang sempit untuk mencari cuan di pasar saham, valas, maupun obligasi pemerintah Tanah Air. Ini membuat pelaku pasar memilih woles dulu, untuk apa bermain agresif kalau cuma bisa berdagang dua hari.

Namun di sisi lain, Indonesia patut bersyukur. Sebab pekan ini sepertinya bakal menjadi periode yang penuh onak dan duri. Jalan bakal berliku, terjal, dan berbatu.

Ya, pasar keuangan global rasanya bakal mengalami tekanan pada pekan ini. Setidaknya ada dua penyebabnya.

Pertama adalah pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) yang semakin ganas. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan, jumlah pasien positif corona di seluruh negara per 25 Oktober 2020 mencapai 42.512.186 orang. Bertambah 438.633 orang (1,04%) dibandingkan posisi hari sebelumnya.

Dalam 14 hari terakhir (12-25 Oktober), rata-rata penambahan pasien baru adalah 381.860 orang per hari. Melonjak dibandingkan 14 hari sebelumnya yaitu 313.089 orang.

Sementara rata-rata laju pertumbuhan pasien dalam dua pekan terakhir adalah 0,96% per hari. Lebih tinggi ketimbang dua minggu sebelumnya yaitu 0,9%.

Benua Eropa masih jadi perhatian. Per 25 Oktober, jumlah pasien positif corona di Benua Biru tercatat 9.255.953 orang. Bertambah 186.836 orang (2,06%). Dibandingkan hari sebelumnya.

Dalam 14 hari terakhir, rata-rata pasien baru bertambah 163.135 orang per hari. Melonjak dibandingkan 14 hari sebelumnya yakni 89.920 orang.

Sedangkan laju pertumbuhan kasus rata-rata selama dua pekan terakhir ada di 2,05%. Padahal dua minggu sebelumnya 'hanya' 1,43%.

Untuk mempersempit ruang gerak penyebaran virus yang bermula dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China itu, sejumlah negara kembali memperketat pembatasan sosial (social distancing). Warga kembali diminta sebisa mungkin #dirumahaja, jangan beraktivitas di luar rumah kalau tidak penting-penting amat.

Beberapa waktu lalu Prancis sudah memberlakukan keadaan darurat nasional. Kini giliran Spanyol yang mengambil langkah serupa.

"Kita hidup dalam kondisi ekstrem. Ini adalah krisis kesehatan paling serius abad ini," tegas Pedro Sanchez, Perdana Menteri Spanyol, sebagaimana dikutip dari Reuters.

Atas nama darurat nasional, pemerintah Spanyol memberlakukan jam malam dan larangan bepergian ke luar kota di seluruh wilayah. Warga dilarang keluar rumah di atas pukul 22:00 waktu setempat.

Well, bagaimana pun krisis kali ini adalah krisis kesehatan. Ketika aspek kesehatan bermasalah, maka aspek-aspek lainnya harus mengalah termasuk ekonomi.

Pengetatan social distancing tentu akan membuat ekonomi jadi 'mati suri'. Kalau semakin banyak negara yang menempuh langkah seperti Prancis dan Spanyol, maka ekonomi dunia bakal semakin mengkerut. Pertumbuhan negatif alias kontraksi akan menjadi pemandangan yang biasa, resesi menjadi semakin panjang dan lama.

Faktor kedua adalah perkembangan politik di Amerika Serikat (AS). Pekan depan, Negeri Adidaya akan menggelar pemilihan presiden (pilpres). Rakyat AS akan memilih pemimpin untuk empat tahun ke depan, apakah sang petahana Donald Trump (Partai Republik) atau sang penantang Joseph 'Joe' Biden (Partai Demokrat).

Sejauh ini jajak pendapat yang digelar Reuters/Ipsos masih mengunggulkan Biden sebagai pemenang pilpres. Polling terakhir 20 Oktober menujukkan Biden diunggulkan dengan 45,9% suara berbanding 37,2% untuk Trump.

Namun perlu dicatat, sistem pilpres di Negeri Paman Sam tidak menganut satu orang satu suara (popular vote) melainkan electoral college. Bobot suara akan berbeda tergantung negara bagian.

Sistem ini yang membuat Trump berhasil memenangkan pilpres pada 2016 mengalahkan Hillary Rodham Clinton. Padahal suara yang didapat Clinton (65.844.854) lebih banyak dibandingkan Trump (62.979.879). Namun karena pilpres AS bukan one person one vote, Trump-lah yang kemudian menghuni Gedung Putih sampai hari ini.

Oleh karena itu, suara dalam jajak pendapat belum bisa menjadi pegangan. Biden memang unggul di berbagai polling, tetapi hasil resmi bisa berbeda.

Ini membuat ketidakpastian masih tinggi sebelum pilpres AS dihelat pada 3 November mendatang. Salah satu dampaknya adalah nasib stimulus fiskal yang tidak jelas.

Sempat beredar kabar bahwa stimulus fiskal senilai US$ 2 triliun akan gol pada akhir pekan lalu. Kenyataannya? Los...

Para politisi di Washington masih mengumbar retorika bahwa stimulus akan disahkan secepat mungkin. "Kami ingin secepatnya, lebih cepat lebih baik," ujar Nancy Pelosi, Ketua House of Representatives (satu dari dua kamar legislatif yang membentuk Kongres), seperti dikutip dari Reuters.

Namun pelaku pasar sudah malas dengan janji dan retorika. Kini, semua yakin bahwa stimulus tidak akan tembus sebelum gelaran pilpres.

"Kombinasi dari pupusnya harapan stimulus bisa disahkan sebelum pilpres dan lonjakan kasus corona yang menyebabkan pembatasan yang lebih ketat sangat mempengaruhi pasar," keluh Ray Atrill, Head of FX Strategy National Australia Bank, sebagaimana diwartakan Reuters.

Tanpa stimulus, prospek ekonomi AS menjadi samar-samar. Saat dunia usaha dan rumah tangga masih 'tiarap', belanja pemerintah jadi satu-satunya harapan untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi.

Dalam situasi seperti ini, investor akan memilih bermain aman. Aset-aset berisiko cenderung dihindari, termasuk di pasar keuangan Indonesia. Nasib Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), nilai tukar rupiah, sampai harga obligasi pemerintah akan terancam.

Namun untungnya IHSG dkk libur mulai Rabu ini. Andai diperdagangkan, bukan tidak mungkin IHSG, rupiah, hingga harga obligasi akan melemah.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular