Poundsterling, Sang "Kuda Hitam" Perburuan Cuan Mata Uang

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
22 October 2020 17:25
mata uang pounds poundsterling
Foto: Ilustrasi Poundsterling (REUTERS/ Benoit Tessier)

Jakarta, CNBC Indonesia - Mata uang poundsterling Inggris menjadi salah satu mata uang dengan kinerja terburuk dibandingkan dengan mata uang Eropa lainnya saat berhadapan dengan dolar Amerika Serikat. Melansir data Refinitiv, pada pukul 16:39 WIB, poundsterling melemah 0,36% melawan dolar AS di US$ 1,3090. Di waktu yang sama, poundsterling melemah 0,21% melawan rupiah ke Rp 19.169/GBP.

Sepanjang tahun ini, atau secara year-to-date, poundsterling membukukan pelemahan 0,4% melawan dolar AS. Padahal mata uang Eropa lainnya justru menduduki puncak klasemen mata uang dunia.

Krona Swedia menjadi yang teratas dengan penguatan 7,5% melawan dolar AS, disusul krona Denmark, euro, hingga leu Romania menduduki 5 besar mata uang terbaik saat ini. Jika dilihat 10 besar, masih ada koruna Ceko dan zloty Polandia yang menduduki peringkat 6 dan 8 mata uang terbaik, keduanya membukukan penguatan 3,2% dan 2,6%.

Kinerja positif mata uang Eropa tersebut tidak lepas dari kesuksesan Benua Biru meredam penyebaran penyakit virus corona (Covid-19), sebelum terjadi gelombang kedua saat ini, serta pemulihan ekonomi yang diprediksi lebih cepat dari Amerika Serikat.

Inggris, yang merupakan salah satu kekuatan ekonomi Eropa mata uangnya justru melempem di tahun ini. Terlepas dari kasus Covid-19 di Inggris yang kembali mengalami peningkatan, poundserling memang sedang terdekat akibat Brexit, atau keluarnya Inggris dari Uni Eropa.

Saat ini, Inggris sedang dalam masa transisi hingga akhir tahun nanti. Inggris dan Uni Eropa harus mencapai kesepakatan dalam beberapa hal termasuk dari segi perdagangan agar Inggris masih bisa masuk ke pasar tunggal. Jika hingga 31 Desember nanti tidak ada kesepakatan apapun, maka akan terjadi Hard Brexit, atau Inggris keluar begitu saja dari Uni Eropa tanpa memiliki privilege apapun.

Jika itu terjadi, maka perekonomian Inggris akan mendapat pukulan telak. Hal ini lah yang menyebabkan buruknya kinerja poundsterling di tahun ini.

Reuters mengutip The Times yang mendapat bocoran dokumen Pemerintah Inggris, melaporkan produk domestik bruto (PDB) Inggris diprediksi akan mengalami kontraksi hingga 9,5% jika terjadi Hard Brexit.

Perekonomian Inggris akan kehilangan sebesar 66 miliar poundsterling, dan industri finansial diramal kehilangan pendapatan hingga 38 miliar poundsterling.

Isu Brexit benar-benar mempengaruhi pergerakan poundsterling. Saat kabar baik muncul, mata uang Negeri Ratu Elizabeth ini langsung melesat. Hal itu menjadikannya sebagai "kuda hitam" dibandingkan dengan mata uang Eropa lainnya.

Kemarin contohnya, poundsterling langsung melesat 1,55% melawan dolar AS, dan 1,31% melawan rupiah saat muncul sinyal akan adanya kesepakatan dagang antara Inggris dan Uni Eropa.

Kepala negosiator Uni Eropa Michael Barnier mengatakan kesepakatan datang dengan Inggris masih mungkin akan tercapai.

"Meski banyak masalah yang kita hadapi, kesepakatan dengan Inggris masih bisa kira capai jika kedua belah pihak bekerjasama dengan baik, jika kedua belah pihak bersedia berkompromi dan jika kita bisa membuat kemajuan dalam beberapa hari ke depan dalam naskah hukum, serta jika kita siap untuk menyelesaikan poin-poin penting, subyek-subyek yang paling sulit," kata Barnier sebagaimana dilansir CNBC International, Rabu (21/10/2020).

Kenneth Broux, kepala riset korporasi di Societe Generale mengatakan pernyataan Barnier tersebut memberikan trader alasan untuk melakukan aksi beli poundsterling.
"Pasar saat ini tidak berfikir 'kesepakatan tidak akan dicapai, poundstering seharunya berada di level US$ 1,25'. Pasar ingin reli, kabar-kabar positif terkait Brexit akan memicu aksi beli," kata Broux, sebagaimana dilansir Reuters, Rabu (21/10/2020).

Broux memperkirakan akan ada kesepakatan dagang antara Inggris dengan Uni Eropa pada akhir November nanti.

Hal senada juga diungkapkan Ned Rumpeltin, kepala strategi valuta asing Eropa di TD Securities, yang melihat kesepakatan kemungkinan akan dicapai dalam beberapa pekan ke depan. Jika itu terjadi, Rumpeltin memprediksi poundsterling akan menguat ke US$ 1,35 di akhir tahun nanti, atau sekitar 3% dari level saat ini.

"Prediksi kami adalah kesepakatan tercapai dalam beberapa pekan ke depan. Sehingga kami memperkirakan poundsterling akan menguat untuk jangka panjang, apalagi jika melihat dolar AS yang sedang lemah. Kami mempertahankan target di akhir tahun poundsterling akan berada di level US$ 1,35," kata Rumpeltin, sebagaimana dilansir Poundsterling Live.

Rumpeltin melihat, poundsterling saat ini undervalue, dan dalam jangka panjang level ekuilibirumnya berada di US$ 1,51.


Artinya akan ada penguatan sekitar 15% bagi poundsterling dalam jangka panjang. Kali terakhir poundsterling menyentuh level US$ 1,5 nyaris 5 tahun lalu, tepatnya pada Desember 2015.

Sementara itu, bank investasi ternama, Goldman Sachs melihat dalam 12 bulan ke depan, poundsterling akan menguat ke US$ 1,44 atau sekitar 10% dari level saat ini.

Ketika poundsterling menguat melawan dolar AS, maka melawan rupiah juga kemungkinan akan mengalami hal yang sama. Sepanjang tahun ini, poundsterling memang masih melemah 0,4% melawan dolar AS, tetapi melawan rupiah masih membukukan penguatan sekitar 4%.

Jika terjadi deal antara Inggris dengan Uni Eropa, maka seperti prediksi TD Securities poundsterling akan berbalik membukukan penguatan melawan dolar AS, begitu juga melawan rupiah penguatannya akan semakin tebal.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular