"Ternak" Dolar AS Lagi Boncos, Ini Dia Mata Uang yang Cuan

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
21 October 2020 18:43
dollar
Foto: REUTERS/Dado Ruvic/Illustration

Jakarta, CNBC Indonesia - Kurs dolar Amerika Serikat (AS) sedang mengalami tekanan belakangan ini, tercermin dari indeksnya yang terus menurun. Tidak hanya itu, ke depannya dolar AS juga diprediksi akan merosot, oleh karena itu "ternak" dolar AS tentunya berisiko merugikan.

Pada perdagangan Rabu (21/10/2020), pukul 16:28 WIB indeks dolar AS melemah 0,28% ke Rp 92,809. Indeks yang mengukur kekuatan dolar AS ini sudah menurun sejak Jumat pekan lalu, hingga hari ini total penurunannya 1,12%.

Dolar AS tertekan akibat harapan cairnya stimulus fiskal di AS pekan ini. Stimulus fiskal (seandainya cair) memberikan pukulan ganda bagi dolar AS. Pertama, jumlah uang yang beredar di perekonomian akan meningkat, secara teori nilai tukar dolar menjadi melemah.

Yang kedua, stimulus tersebut membuat sentimen pelaku pasar membaik, perekonomian AS diharapkan bisa segera bangkit. Saat sentimen pelaku pasar membaik, dolar AS yang menyandang status safe haven menjadi tidak menarik.

Nancy Pelosi, Ketua DPR (House of Representatif) sudah memulai perundingan dengan Menteri Keuangan Steven Mnuchin sejak awal pekan lalu.

Pelosi yang berasal dari Partai Demokrat mengatakan setelah berbicara dengan Mnuchin dia berharap kesepakatan stimulus corona dapat dicapai pada akhir pekan ini.

Kepala staf Gedung Putih Mark Meadows, juga mengatakan Pelosi dan Mnuchin akan melanjutkan perundingan di hari Rabu, dan berharap melihat adanya beberapa kesepakatan sebelum akhir pekan.

Meski demikian, masih belum diketahui berada nilai stimulus fiskal tersebut. Partai Demokrat yang menguasai DPR AS mengusulkan US$ 2,2 triliun, yang dianggap terlalu besar oleh Pemerintah AS yang mengusulkan US$ 1,8 triliun.

Kabar baiknya, Presiden Donald Trump, memberikan sinyal akan menyetujui stimulus yang lebih besar ketimbang yang diajukan Partai Demokrat.

"Saya akan menyetujui stimulus yang lebih besar dari diajukan Partai Demokrat," kata Trump, sebagaimana dilansir Investing, Rabu (21/10/2020).

Namun, Trump tentunya mendapat tantangan dari partainya sendiri, Partai Republik, yang bahkan menyatakan proposal stimulus US$ 1,8 miliar Pemerintah AS terlalu besar.
Untuk diketahui, DPR AS dikuasai oleh Partai Demokrat, dan Senat AS dikuasai Partai Republik. Sehingga meski DPR-Pemerintah AS sepakat dengan nilai stimulus fiskal, tetap saja harus mendapat persetujuan Senat agar bisa cair.

Hal tersebut yang menyebabkan sulitnya stimulus fiskal gelombang kedua ini cair. Akan tetapi, cepat atau lambat stimulus tersebut tentunya akan cair karena diperlukan untuk membangkitkan perekonomian AS.

Jika pekan ini tidak cair, maka kemungkinan besar akan cari setelah pemilu presiden AS 3 November mendatang, setelah resmi siapa akan menjadi orang nomer 1 di AS, apakah petahana Donald Trump, atau penantangnya Joseph 'Joe' Biden.

Hasil survei Reuters menunjukkan the greenback diramal akan melemah hingga tahun depan.

Hasil survei Reuters terhadap 75 analis di bulan September lalu menunjukkan sebanyak 31% memprediksi harga dolar AS masih akan merosot hingga tahun depan.

Sementara itu, sebanyak 32% dari total yang merespon survei Reuters meramal tren penurunan dolar AS akan berhenti kurang dari 3 bulan.

Pandemi penyakit virus corona (Covid-19) membuat peta kekuatan mata uang di tahun ini berubah. Perekonomian global nyungsep, banyak negara di berbagai benua mengalami resesi, termasuk Amerik Serikat, sang negara Adi Kuasa.

Kini, negara-negara yang mampu meredam penyebaran virus corona, serta mampu membangkitkan perekonomiannya dengan cepat, mata uangnya akan unggul, dan mengalami penguatan. Ketimbang Amerika Serikat, pemulihan ekonomi Eropa diperkirakan akan lebih cepat, oleh sebab itu mata uang benua biru kini merajai puncak klasemen.

Secara year-to-date, krona Swedia menjadi mata uang dengan kinerja terbaik melawan dolar AS, dengan penguatan 7,5%. Franc Swiss berada di peringkat kedua dengan penguatan 6,6%, krona Denmark melengkapi 3 besar setelah menguat 6,1%.

Mata uang 19 negara, euro, berada di tempat ke-empat dengan penguatan 5,8%.

Dengan pemulihan ekonomi yang diprediksi lebih unggul dari Amerika Serikat, mata uang Eropa ke depannya berpeluang untuk terus menguat.

Krona Swedia sepertinya masih akan unggul, sebab menyandang status risk-on currency. Artinya ketika sentimen pelaku pasar membaik, krona Swedia akan menguat. Perekonomian yang bangkit di tahun depan tentunya akan membuat sentimen pelaku pasar membaik.

"Krona Swedia dilabeli sebagai mata uang yang tergantung dari sentimen terhadap risiko, dan kita pasti akan melihat apresiasi saat sentimen terhadap risiko pulih," kata Richard Falkenhall, ahli strategi valuta asing senior di Skandinaviska Enskilda Banken (SEB) Group, sebagaimana dilansir poundsterlinglive.

Falkenhall memprediksi, krona masih akan menguat sebab masih undervalue sekitar 7% sampai 10%. Melansir data Refintiv, krona Swedia (SEK) hari ini berada di level 8,7414/US$. Sementara melawan rupiah berada di Rp 1.670,17/SEK. Rekor termahal krona berada di Rp 2.090,68/SEK yang dicapai pada Juni 1998.

Kala sentimen pelaku pasar sedang bagus, franc Swiss tentunya menjadi kurang menarik akibat statusnya sebagai safe haven.

Euro juga bisa menjadi pilihan tetapi kemungkinan tidak akan besar sebab bank sentral Eropa (European Central Bank/ECB) kemungkinan akan meredam penguatannya.

Pada awal September lalu, euro menyentuh level tertinggi lebih dari 2 tahun melawan dolar AS di US$ 1,2. Setelah mencapai level tersebut, euro berbalik turun akibat "dicolek" oleh ekonom European Central Bank (ECB) Philip Lane.

Lane mengatakan nilai tukar euro-dolar AS "penting" dalam menentukan kebijakan moneter.

Pernyataan tersebut menjadi indikasi ECB kemungkinan akan bertindak untuk meredam penguatan euro. Pemulihan ekonomi yang mengalami resesi akibat pandemi penyakit virus corona (Covid-19) akan semakin sulit jika kurs euro terus menguat. Inflasi juga akan terus berada di level rendah, bahkan muncul risiko deflasi.

Di akhir September, anggota dewan ECB, Ignazio Visco mengatakan penguatan euro merupakan sesuatu yang mengkhawatirkan, dan ECB perlu bertindak jika inflasi menjadi rendah dan semakin menjauhkannya dari target bank sentral.

"Penguatan euro mengkhawatirkan bagi kami karena memberikan tekanan bagi harga saat inflasi sudah rendah," kata Visco yang juga gubernur bank sentral Italia, sebagaimana dilansir Reuters, Minggu (27/9/2020).

Sementara poundsterling bisa jadi "kuda hitam" dan melesat tajam seandainya ada kesepakatan Brexit, atau keluanya Inggris dari Uni Eropa sebelum masa transisi berakhir 31 Desember mendatang.

Sore ini poundsterling lompat nyaris 1% melawan dolar AS ke US$ 1,3064 di pasar spot. Sementara melawan rupiah, mata uang Negeri Ratu Elizabeth menguat 0,45% ke Rp 19.045/GBP.

Hal tersebut terjadi setelah kepala negosiator Uni Eropa Michael Barnier mengatakan kesepakatan datang dengan Inggris masih mungkin akan tercapai.

"Meski banyak masalah yang kita hadapi, kesepakatan dengan Inggris masih bisa kira capai jika kedua belah pihak bekerjasama dengan baik, jika kedua belah pihak bersedia berkompromi dan jika kita bisa membuat kemajuan dalam beberapa hari ke depan dalam naskah hukum, serta jika kita siap untuk menyelesaikan poin-poin penting, subyek-subyek yang paling sulit," kata Barnier sebagaimana dilansir CNBC International, Rabu (21/10/2020).

Pernyataan Barnier tersebut membuat pelaku pasar optimistis akan ada deal antara Inggris dan Uni Eropa sebelum masa transisi Brexit berakhir 31 Desember mendatang.

TIM RISET CNBC INDONESIA 


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article RI Kurangi Ketergantungan Dolar AS

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular