Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah merosot tajam melawan dolar Amerika Serikat (AS) sepanjang pekan ini. Namun kinerja rupiah sebenarnya tidak terlalu buruk melawan mata uang lainnya di pekan ini. Bahkan rupiah menguat cukup tajam melawan beberapa mata uang.
Melansir data Refinitiv, rupiah sepanjang pekan ini merosot 1,28% ke Rp 14.240/US$. Dengan pelemahan tersebut, rupiah mencatat kinerja mingguan terburuk dalam 7 bulan terakhir. Rupiah kini juga berada di level terlemah tahun ini, bahkan jika melihat lebih ke belakang sejak awal November lalu.
Tidak hanya melawan dolar AS, rupiah juga melemah melawan mayoritas mata uang utama dunia. Dari Asia, kinerja rupiah paling buruk melawan yuan China, dengan pelemahan lebih dari 1%.
Namun, rupiah juga menguat melawan beberapa mata uang Asia lainnya. Rupee India dibuat melemah 0,61%, kemudian bath 0,41% dan won Korea Selatan 0,32%.
Melawan mata uang Eropa, rupiah K.O. di hadapan euro dan poundsterling masing-masing 0,92% dan 0,69%, tetapi mampu menguat melawan franc Swiss dan Krona Swedia masing-masing 0,06% dan 0,59%.
Dolar Australia di pekan ini sempat meroket mendekati Rp 11.300/AU$, dan menyentuh level tertinggi sejak Juli 2014. Namun, dalam 2 hari perdagangan terakhir berbalik merosot tajam hingga berakhir melemah 0,83% sepanjang pekan ini melawan rupiah.
Berikut pergerakan mata uang dunia melawan rupiah di pekan ini.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Yield Treasury Meroket, Pukulan Telak Bagi Rupiah
Pemicu utama pelemahan rupiah di pekan ini adalah kenaikan yield obligasi (Treasury) AS. Sepanjang pekan ini, yield Treasury AS tenor 10 tahun sempat naik 17 basis poin ke 1,515% yang merupakan level tertinggi sejak awal Februari 2020 atau sebelum virus corona dinyatakan sebagai pandemi, dan sebelum bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) membabat habis suku bunganya menjadi 0,25%.
Kenaikan tersebut berisiko memicu capital outflow dari pasar obligasi Indonesia, sebab selisih yield dengan Surat Berharga Negara (SBN) menjadi menyempit. Ketika terjadi capital outflow, maka nilai tukar rupiah akan tertekan.
Kenaikan pesat yield Treasury dalam waktu singkat ini diakibatkan karena pelaku pasar mulai mengantisipasi prospek pemulihan ekonomi dan potensi tingginya inflasi sehingga mereka meminta kompensasi dengan kenaikan imbal hasil.
Selain itu, kenaikan yield Treasury membuat bursa saham global rontok. Artinya pelaku pasar sedang menghindari aset-aset berisiko. Alhasil, rupiah mendapat pukulan telak, sebab merupakan mata uang emerging market yang dianggap berisiko.
"Yield sangat menentukan. Di kisaran 1,5%, yield obligasi bisa kompetitif dibandingkan dividend yield di pasar saham. Ingat, tidak ada risiko di obligasi, uang Anda kembali 100%," kata Peter Tuz, Presiden Chase Investment Counsel yang berbasis di Virginia (AS), seperti dikutip dari Reuters.
Alhasil, rupiah melemah melawan mayoritas mata uang utama dunia, meski masih mampu menguat melawan beberapa mata uang.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Ada Kabar Baik Buat Rupiah
Meski sedang jeblok melawan dolar AS, tetapi terselip kabar gembira bagi rupiah. Minat pelaku pasar terhadap rupiah semakin membaik, hal tersbut tercermin dari survei 2 mingguan yang dilakukan Reuters.
Survei tersebut menggunakan skala -3 sampai 3, angka negatif berarti pelaku pasar mengambil posisi beli (long) mata uang Asia dan jual (short) dolar AS. Semakin mendekati -3 artinya posisi long yang diambil semakin besar.
Sementara angka positif berarti short mata uang Asia dan long dolar AS, dan semakin mendekati angka 3, semakin besar posisi short mata uang Asia.
Hasil survei terbaru yang dirilis hari ini, Kamis (27/2/2021), menunjukkan posisi long pelaku pasar terhadap rupiah meningkat dibandingkan survei sebelumnya.
Nilai posisi long untuk rupiah saat ini -0,51%, naik dari hasil survei sebelumnya -0,36%, dan menjadi kenaikan pertama setelah menurun dalam 5 survei beruntun.
Berkaca dari survei sepanjang tahun lalu, yang konsisten dengan pergerakan rupiah, maka peluang rupiah untuk kembali menguat terbuka cukup lebar.
TIM RISET CNBC INDONESIA