
"Ternak" Dolar AS Lagi Boncos, Ini Dia Mata Uang yang Cuan

Pandemi penyakit virus corona (Covid-19) membuat peta kekuatan mata uang di tahun ini berubah. Perekonomian global nyungsep, banyak negara di berbagai benua mengalami resesi, termasuk Amerik Serikat, sang negara Adi Kuasa.
Kini, negara-negara yang mampu meredam penyebaran virus corona, serta mampu membangkitkan perekonomiannya dengan cepat, mata uangnya akan unggul, dan mengalami penguatan. Ketimbang Amerika Serikat, pemulihan ekonomi Eropa diperkirakan akan lebih cepat, oleh sebab itu mata uang benua biru kini merajai puncak klasemen.
Secara year-to-date, krona Swedia menjadi mata uang dengan kinerja terbaik melawan dolar AS, dengan penguatan 7,5%. Franc Swiss berada di peringkat kedua dengan penguatan 6,6%, krona Denmark melengkapi 3 besar setelah menguat 6,1%.
Mata uang 19 negara, euro, berada di tempat ke-empat dengan penguatan 5,8%.
Dengan pemulihan ekonomi yang diprediksi lebih unggul dari Amerika Serikat, mata uang Eropa ke depannya berpeluang untuk terus menguat.
Krona Swedia sepertinya masih akan unggul, sebab menyandang status risk-on currency. Artinya ketika sentimen pelaku pasar membaik, krona Swedia akan menguat. Perekonomian yang bangkit di tahun depan tentunya akan membuat sentimen pelaku pasar membaik.
"Krona Swedia dilabeli sebagai mata uang yang tergantung dari sentimen terhadap risiko, dan kita pasti akan melihat apresiasi saat sentimen terhadap risiko pulih," kata Richard Falkenhall, ahli strategi valuta asing senior di Skandinaviska Enskilda Banken (SEB) Group, sebagaimana dilansir poundsterlinglive.
Falkenhall memprediksi, krona masih akan menguat sebab masih undervalue sekitar 7% sampai 10%. Melansir data Refintiv, krona Swedia (SEK) hari ini berada di level 8,7414/US$. Sementara melawan rupiah berada di Rp 1.670,17/SEK. Rekor termahal krona berada di Rp 2.090,68/SEK yang dicapai pada Juni 1998.
Kala sentimen pelaku pasar sedang bagus, franc Swiss tentunya menjadi kurang menarik akibat statusnya sebagai safe haven.
Euro juga bisa menjadi pilihan tetapi kemungkinan tidak akan besar sebab bank sentral Eropa (European Central Bank/ECB) kemungkinan akan meredam penguatannya.
Pada awal September lalu, euro menyentuh level tertinggi lebih dari 2 tahun melawan dolar AS di US$ 1,2. Setelah mencapai level tersebut, euro berbalik turun akibat "dicolek" oleh ekonom European Central Bank (ECB) Philip Lane.
Lane mengatakan nilai tukar euro-dolar AS "penting" dalam menentukan kebijakan moneter.
Pernyataan tersebut menjadi indikasi ECB kemungkinan akan bertindak untuk meredam penguatan euro. Pemulihan ekonomi yang mengalami resesi akibat pandemi penyakit virus corona (Covid-19) akan semakin sulit jika kurs euro terus menguat. Inflasi juga akan terus berada di level rendah, bahkan muncul risiko deflasi.
Di akhir September, anggota dewan ECB, Ignazio Visco mengatakan penguatan euro merupakan sesuatu yang mengkhawatirkan, dan ECB perlu bertindak jika inflasi menjadi rendah dan semakin menjauhkannya dari target bank sentral.
"Penguatan euro mengkhawatirkan bagi kami karena memberikan tekanan bagi harga saat inflasi sudah rendah," kata Visco yang juga gubernur bank sentral Italia, sebagaimana dilansir Reuters, Minggu (27/9/2020).
Sementara poundsterling bisa jadi "kuda hitam" dan melesat tajam seandainya ada kesepakatan Brexit, atau keluanya Inggris dari Uni Eropa sebelum masa transisi berakhir 31 Desember mendatang.
Sore ini poundsterling lompat nyaris 1% melawan dolar AS ke US$ 1,3064 di pasar spot. Sementara melawan rupiah, mata uang Negeri Ratu Elizabeth menguat 0,45% ke Rp 19.045/GBP.
Hal tersebut terjadi setelah kepala negosiator Uni Eropa Michael Barnier mengatakan kesepakatan datang dengan Inggris masih mungkin akan tercapai.
"Meski banyak masalah yang kita hadapi, kesepakatan dengan Inggris masih bisa kira capai jika kedua belah pihak bekerjasama dengan baik, jika kedua belah pihak bersedia berkompromi dan jika kita bisa membuat kemajuan dalam beberapa hari ke depan dalam naskah hukum, serta jika kita siap untuk menyelesaikan poin-poin penting, subyek-subyek yang paling sulit," kata Barnier sebagaimana dilansir CNBC International, Rabu (21/10/2020).
Pernyataan Barnier tersebut membuat pelaku pasar optimistis akan ada deal antara Inggris dan Uni Eropa sebelum masa transisi Brexit berakhir 31 Desember mendatang.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)[Gambas:Video CNBC]
