
Ancaman Banjir karena La Nina, Harga CPO Bakal Melesat Lagi

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak sawit mentah (CPO) untuk kontrak yang aktif diperdagangkan mengalami reli terus-menerus dalam 7 hari perdagangan terakhir.
Namun harga CPO sedikit tergelincir pada perdagangan siang hari ini, Rabu (14/10/2020).
Pada 11.30 WIB, harga CPO untuk kontrak pengiriman Desember di Bursa Malaysia Derivatif Exchange turun 0,3% ke RM 2.994/ton. Pada perdagangan kemarin (13/10/2020) harga minyak nabati unggulan RI dan Negeri Jiran ini ditutup di RM 3.003/ton.
Penurunan harga CPO ini merespons terpangkasnya harga minyak nabati global. Reuters melaporkan harga kontrak minyak kedelai dan sawit di Bursa Komoditas Dalian, China masing-masing mengalami koreksi sebesar 0,06% dan 0,26%.
Adanya ancaman La Nina yang berpotensi menurunkan output di tengah potensi kenaikan permintaan impor dari berbagai negara terutama China yang semakin dekat dengan tahun baru serta India yang bakal merayakan Diwali November nanti turut mengerek harga.
La Nina merupakan fenomena iklim yang melanda kawasan tropis Pasifik dan menyebabkan intensitas hujan yang lebih tinggi dan deras. Berkaca pada pengalaman yang sudah terjadi, fenomena La Nina umumnya dibarengi dengan maraknya banjir di Indonesia dan Malaysia.
Banjir selain mengakibatkan gangguan pada aktivitas panen untuk komoditas pertanian juga bisa merusak stok sehingga tidak hanya harga CPO dan turunannya saja yang akan terkerek naik tetapi juga komoditas pertanian lainnya.
Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memperkirakan curah hujan yang tinggi akibat La Nina ini bakal berlangsung sampai akhir tahun bahkan bisa sampai April tahun depan.
Terkait seberapa tinggi harga CPO akan terkerek juga tergantung dari permintaan baik domestik dan ekspor yang akan berpengaruh pada stok akhir minyak sawit. CPO banyak digunakan sebagai bahan baku minyak goreng di Indonesia.
Selain untuk kebutuhan konsumsi masyarakat, CPO juga digunakan untuk pembuatan biodiesel. Dalam mandat program B30, target konsumsi bahan bakar nabati tersebut untuk tahun ini dipatok 9,6 juta kilo liter. Namun sampai dengan September konsumsinya baru 6,17 juta ton atau 64% dari target.
Selagi mobilitas dan aktivitas ekonomi masih lambat, maka kebutuhan energi belum akan pulih ke level normal. Artinya konsumsi bahan bakar baik di dalam maupun luar negeri belum bisa banyak diharapkan.
Pada akhirnya adalah konsumsi masyarakat yang masih berpotensi mendongkrak peningkatan kebutuhan akan komoditas ini dan kenaikan harganya.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/twg)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article CPO Meroket ke Level Tertinggi 8 Bulan, Menuju RM 3.000/ton