Tahun 1944 menjadi awal bagi hegemoni Amerika Serikat (AS) terhadap perekonomian dan kancah politik global.
Melalui konferensi Bretton Wood di New Hampshire yang bertujuan untuk membangun kembali perekonomian dan mewujudkan stabilitas keuangan pasca-perang dunia kedua (PD II) melahirkan dolar AS sebagai mata uang internasional.
Konsekuensi dari keputusan Bretton Wood tersebut adalah semua mata uang dunia harus dipatok dengan dolar AS, sementara mata uang negeri Paman Sam dipatok dengan emas.
Munculnya dolar sebagai mata uang internasional yang digunakan sebagai alat perdagangan sampai sekarang ini tak bisa dipisahkan dari konteks adanya perang (PD II).
Tidak hanya bahan-bahan pokok saja yang diimpor, teknologi dan alutsista juga banyak diimpor dari Negeri Paman Sam.
Di saat yang sama, AS mendapatkan emas dari Eropa dan berhasil mengakumulasi logam mulia itu sampai total cadangannya mencapai dua per tiga dari total emas dunia.
AS memang terlibat juga dalam perang dunia terutama PD II. Namun berbeda dengan Eropa yang sejak awal terjun dalam konfrontasi militer, AS baru ikut perang lebih belakangan. Inilah yang membuat ekonomi AS bisa pulih lebih cepat dan berhasil mengakumulasi emas sebanyak itu sehingga menjadi senjata moneter AS untuk menguasai dunia.
Di saat itulah juga Paman Sam membanjiri Eropa dengan utang dolar AS yang sangat besar sehingga berhasil membentuk semacam aliansi untuk menumpas ideologi-ideologi kiri yang juga berkembang saat itu seperti di Rusia misalnya.
Namun masalah mulai muncul 16 tahun setelah perjanjian Bretton Wood diteken atau tepatnya pada tahun 1960.
Di tahun itu, AS kehilangan lebih dari 50% cadangan emasnya. Defisit neraca pembayaran AS membengkak sampai melampaui persediaan emasnya.
Di saat yang sama pula AS sedang terlibat perang dengan Vietnam. Untuk mendanai perang AS pun berhutang ke Eropa. Pada 1961-1975 AS dilaporkan mengeluarkan US$ 141 miliar untuk kembali melakukan kolonialisasi terhadap Vietnam.
Defisit anggaran AS pun membengkak.
Tumpukan utang tersebut bahkan sampai tak bisa dibayar.
Kala itu kebijakan moneter bank sentral pun cenderung sangat longgar dan membuat harga emas menjadi lebih mahal.
Namun bukannya menyelesaikan masalah, kebijakan tersebut justru malah menimbulkan masalah baru dan defisit terus membengkak.
Akhirnya pada tahun 1971, Presiden Richard Nixon memutuskan untuk tidak lagi mematok dolar AS dengan emas.
Sejak saat itulah mata uang fiat dikenalkan. Secara definisi, fiat money adalah mata uang yang tak didukung oleh komoditas fisik, seperti emas atau perak, tapi tetap diterbitkan negara.
Nilainya berdasarkan antara penawaran dan permintaan dan stabilitas pemerintah yang menerbitkan, bukan nilai komoditas yang mendukungnya seperti halnya uang komoditas.
Maka secara sederhananya, dolar benar-benar tidak memiliki nilai. Nilai dolar AS hanya berbasis pada kepercayaan para pelaku ekonominya saja.
Implikasinya jelas sudah, dolar AS terus kehilangan nilainya dan harga emas pun meroket di saat yang sama. Pada periode ini indeks dolar drop 24% dan harga emas telah meroket 1.400% lebih.
Meskipun tak lagi dipatok dengan apapun, dolar AS tetap saja menjadi raja mata uang dunia dan digunakan untuk transaksi perdagangan dan berlaku sebagai reserves currency sampai sekarang.
Bagaimanapun juga krisis yang terjadi di AS pada periode tersebut telah menimbulkan konsekuensi yang serius bagi perekonomian AS.
Selama dua dekade AS mengalami laju pertumbuhan ekonomi yang lambat, tingkat inflasi dan pengangguran yang tinggi atau disebut sebagai stagflation pada periode 1965-1985.
Pemicu Depresiasi Dolar AS I: Bank Sentral Cetak Uang Gila-Gilaan!
Kebijakan cetak uang kembali ditempuh oleh AS kali ini. Akibat pandemi Covid-19 pasar keuangan sempat goyah pada periode Februari-Maret lalu.
Pasar diwarnai dengan aksi jual besar-besaran saham dan surat utang pemerintah AS yang membuat bursa saham kebakaran dan yield obligasi pemerintah melonjak.
Bahkan emas sebagai aset safe haven (aset aman investasi) yang biasanya dicari pun turut dilikuidasi untuk menutup margin serta berperan sebagai sumber kas.
Indeks dolar melonjak dengan tajamnya. Likuiditas di pasar kering kerontang.
Bank sentral AS, the Fed langsung mengambil inisiatif untuk mencegah keringnya likuiditas ini dengan melakukan swap line dengan bank sentral lain.
Tak sampai di situ bank sentral paling berpengaruh di dunia itu juga membabat habis suku bunga acuannya ke rentang nol persen.
Quantitative easing (QE) yang pernah dilakukan pada krisis keuangan global 2008 kembali ditempuh the Fed di bawah kendali sang ketua Jerome Hayden Powell.
Aksi beli aset-aset keuangan yang super masif oleh bank sentral membuat pasar pun mulai kalem.
Kendati pasar mulai berfungsi lagi, tetapi kebijakan QE menimbulkan konsekuensi yang serius.
Pertama, tentu terhadap dolar AS. Kebijakan cetak uang yang masif sehingga membuat neraca bank sentral mengembang ini menyebabkan indeks dolar terus melorot bahkan menyentuh level terendahnya dalam 2 tahun pada Agustus lalu.
Konsekuensi kedua, adalah karena aset keuangan yang dibeli oleh the Fed adalah obligasi pemerintah serta efek beragun aset dan bahkan obligasi korporasi telah menyebabkan yield riil (setelah dikurangi inflasi) obligasi pemerintah tenor 10 tahun yang dianggap sebagai aset safe haven pun jatuh ke teritori negatif.
Kebijakan QE memang dimaksudkan agar para investor atau pemilik modal ini melakukan rebalancing portofolio dan beralih dari aset-aset minim risiko ke aset lain yang lebih berisiko seperti saham dan harapannya bisa mengalir ke sektor riil guna mendongkrak perekonomian.
QE pada dasarnya juga menimbulkan kecenderungan juga bahwa 'uang murah' ini akan mencari rumah barunya untuk bertumbuh lebih tinggi lagi yang kemungkinan adalah negara-negara emerging market (negara berkembang) yang masih menawarkan imbal hasil riil yang positif.
Namun kecemasan investor masih sangat terasa. Hal ini tercermin dari kenaikan harga emas yang luar biasa tinggi.
Sepanjang tahun ini saja harga emas telah terangkat lebih dari 25% akibat kekhawatiran bahwa inflasi yang tinggi akan terjadi di masa depan.
Kebijakan the Fed masih akan akomodatif untuk jangka waktu yang lebih panjang.
Suku bunga acuan mendekati nol persen kemungkinan besar akan ditahan sampai tahun 2023 (lower for longer). QE juga masih akan dijalankan. Stance dovish sangat kental terasa dari setiap pernyataan central bankers Paman Sam.
Pemicu Depresiasi Dolar AS II : Stimulus Jumbo dari Pemerintah!
Dari sisi fiskal, era suku bunga murah juga membuat pemerintah menjadi lebih banyak memanfaatkannya untuk berutang untuk memberikan stimulus guna mendongkrak perekonomian yang hancur lebur akibat lockdown dan aksi social distancing secara mandiri.
Stimulus fiskal yang jumbo semakin menekan dolar AS karena pasokan uang menjadi bertambah.
Tak sampai di situ, defisit anggaran AS pun ikut jebol.
Untuk tahun 2020 defisit anggaran AS diperkirakan bakal lebih dari US$ 3 triliun atau setara dengan 16% dari PDB-nya. Ini merupakan defisit fiskal terparah pasca-PD II.
Apalagi sekarang momennya adalah menjelang pemilu AS yang bakal dihelat pada 3 November mendatang. Trump dari Republik sebagai petahana harus menghadapi penantangnya dari Demokrat, Joe Biden.
Berdasarkan polling yang dipublikasikan belakangan, Biden lebih diunggulkan ketimbang Trump.
Kemenangan Biden juga diantisipasi oleh pasar yang bakal semakin melemahkan dolar AS lantaran mantan wakil presiden era Barrack Obama itu dikenal dengan kebijakannya yang akan lebih banyak 'menghamburkan' uang.
Seperti yang diketahui bersama bahwa soal paket stimulus Covid-19 lanjutan saat ini mandek karena ada perbedaan seputar jumlah yang ditawarkan Republik, Demokrat dan Trump.
Dari Republik mengusulkan paket stimulus lanjutan ini tak melebihi US$ 1,5 triliun, sementara dari Trump menawarkan angka US$ 1,8 triliun. Namun Demokrat masih kekeuh di angka US$ 2,2 triliun.
Posisi dolar yang semakin tertekan ini menjadi sorotan dari publik global dan ada anggapan bahwa dolar AS bisa kehilangan statusnya sebagai the main global reserves currency.
Toh Dolar AS Selama Ini Juga Kemahalan kan?
Saat ini dolar AS memang sedang tertekan dari segala sisi. Nilai fundamental dolar AS juga bisa dibilang sedang tergerus. Hal ini tercermin dari banyak faktor.
Pertama, dari rendahnya suku bunga acuan yang memicu adanya ekspektasi inflasi yang tinggi di masa depan.
Kemudian ekonomi AS yang sekarat. The Conference Board memperkirakan bahwa ekonomi AS pada 2020 akan mengalami kontraksi sebesar 3,8% dari periode tahun sebelumnya. Kemudian membengkaknya defisit transaksi berjalan (CAD) AS.
Bureau Economic Analysis AS melaporkan CAD AS membengkak US$ 59 miliar ke US$ 170,5 miliar atau setara dengan 3,5% dari output perekonomian Negeri Paman Sam.
Dolar AS butuh disokong dengan perbaikan fundamental yang kokoh untuk dapat menguat. Perekonomian AS yang tengah sekarat harus bisa bangkit lagi. Namun ini bukan perkara yang mudah.
Bahkan ketua bank sentral AS the Fed, Jerome Powell mengatakan bahwa periode pemulihan akan cenderung berlangsung gradual dan prospek perekonomian ke depan masih penuh dengan ketidakpastian.
Satu lagi metode untuk mengukur valuasi wajar suatu mata uang adalah dengan menggunakan metode purchasing power parity (PPP).
Metode ini mengukur tenaga beli suatu mata uang terhadap suatu barang dan membandingkannya dengan negara lainnya.
Baik menggunakan pendekatan Big Mac Index yang kontroversial ala The Economist dan perhitungan World Bank dengan memperhatikan harga-harga barang pada kelompok tertentu, dolar AS sudah cenderung overvalued alias kemahalan selama ini terhadap mata uang lain terutama mata uang China.
Menggunakan metode Big Mac Index yang berasumsi bahwa harga burger andalan McDonalds di semua negara akan sama, maka nilai wajar mata uang yuan di hadapan dolar AS yang asli adalah 3,8. Padahal harga di pasar tahun lalu, 1 US$ dipatok di 6,9 yuan. Artinya yuan kemurahan 44% dibandingkan dolar.
China Jadi Penantang Baru dari Timur, AS Ingin Pertahankan Hegemoni!
Sekarang kita bisa menggunakan 3,8 yuan per 1 US$ sebagai harga wajar untuk mengukur ekonomi China.
Hasil pembagian dari total output (barang dan jasa) senilai 99 triliun yuan dengan rate wajar berdasarkan harga satu porsi Big Mac maka PDB China sudah mencapai US$ 26 triliun. Lebih besar dari output AS!
Harga Big Mac yang lebih murah di China sebenarnya menunjukkan bahwa ukuran ekonomi China saat ini bisa dibilang lebih kecil dari realitanya.
Bahkan dengan perhitungan versi World Bank pun size ekonomi China masih lebih besar daripada AS. Ini membuat China dijuluki sebagai kekuatan dunia baru dari Timur.
Munculnya hegemoni baru dari dunia Timur ini membuat AS geram. Apalagi defisit neraca dagang AS dengan China terus membengkak.
Pada awal 2008 dan Donald Trump yang sudah menjabat sebagai presiden AS ke-45 mulai menabuh genderang perang dagang dengan China.
AS memulai perang dagang dengan menerapkan bea masuk terhadap berbagai produk impor asal China senilai ratusan miliar dolar AS.
Langkah serupa pun akhirnya dibalas oleh China.
Perang dagang berlangsung sampai akhir tahun 2019. Pada 15 Januari 2020, keduanya mulai melunak dan kesepakatan dagang fase I diteken oleh Presiden Trump dari AS dan Liu He, Wakil Perdana Menteri China.
Namun hubungan baik yang disambut baik publik global itu tak berlangsung lama.
Wabah Covid-19 yang awalnya merebak di China kemudian meluas sampai ke AS dan menjadikan Paman Sam sebagai negara paling terdampak baik secara krisis kesehatan maupun perekonomiannya membuat Trump makin geram.
Apalagi melihat ekonomi China berhasil lolos dari pandemi Covid-19 dan bisa tumbuh di jalur positif untuk tahun ini meski mengalami perlambatan yang signifikan.
Trump jadi semakin beringas dan menekan China dari segala sisi. Sampai sekarang konflik ini masih belum menemukan resolusi.
AS Terus Beri Gempuran, China Sibuk Bikin Vaksin untuk Jadi Juru Selamat
Di saat AS sibuk berupaya menekan dan mengurangi peran China terhadap perekonomian global dengan isu liar seputar pandemi Covid-19, China juga sibuk terus untuk memperkuat posisinya.
Pandemi Covid-19 seperti sekarang membuat dunia butuh vaksin penangkal untuk kembali hidup normal seperti sediakala.
Di situlah China hadir!
Banyak kandidat vaksin Covid-19 yang dikembangkan oleh China. Tiga di antaranya bahkan sudah masuk ke uji klinis fase akhir yakni tahap III.
Kandidat vaksin China termasuk yang memiliki kemajuan signifikan apabila dibandingkan dengan kandidat yang lain.
Sampai saat ini setidaknya ada tiga pengembang vaksin asal China yang produknya sudah masuk tahap evaluasi klinis tahap akhir dan digadang-gadang bakal jadi juru selamat umat manusia di dunia.
Ketiga perusahaan tersebut antara lain Sinovac yang dulunya pernah gagal mengembangkan vaksin SARS pada 2003 dan dua lainnya adalah Sinopharm serta CanSino Biologics.
Uji klinis tahap awal terhadap ketiga vaksin tersebut pun menunjukkan hasil yang juga positif.
Selain Bikin Vaksin, China Juga Rilis Mata Uang Digital Resmi Negara Lho
Di masa pandemi Covid-19 ini juga, bank sentral China (People's Bank of China, PBoC) melakukan manuver yang menggemparkan publik global.
Pada April 2020, mata uang digital China atau yang lebih dikenal dengan Digital Currency/Electronic Payment (DCEP) diluncurkan untuk pilot project.
China mengungguli negara-negara lain dalam pengembangan mata uang digital.
Sampai medio 2020, ada 10 negara yang sudah mulai melakukan pilot project penggunaan mata uang digital buatan bank sentralnya termasuk China dan dua negara dari OECD (Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi) yakni Swedia dan Korea Selatan.
AS dan belasan anggota OECD lain masih berada di tahap riset terhadap pengembangan mata uang digital ini.
Sebagai informasi China memang beberapa langkah lebih awal dalam pengembangan mata uang digital.
CSIS melaporkan bank sentral China (PBoC) mulai membentuk tim untuk melakukan studi pengembangan mata yang digital pada 2014.
Kemudian di tahun 2017, anggota dewan memberi izin PBoC untu mendesain mata uang digital itu melalui kerja sama dengan bank komersial.
PBoC juga membentuk institusi riset yang dinamai Digital Currency Research Institute di tahun yang sama setelah mendapat lampu hijau dari anggota dewannya.
Mei tahun lalu, Gubernur PBoC Yi Gang mengatakan bahwa proses top level design mata digital China tersebut sudah selesai dan siap diinisiasi di Chengdu, Shenzhen, Suzhou, dan Xiong'an.
China tak ingin ketinggalan memanfaatkan momentum Covid-19 yang meningkatkan urgensi transformasi digital di setiap level pelaku ekonomi mulai dari korporasi hingga pemerintah dan negara dalam konteks yang lebih luas.
Tingginya penetrasi pembayaran berbasis digital di China yang mencapai lebih dari 86% populasi serta besarnya pasar e-commerce China yang nilainya mencapai US$ 15 triliun pada kuartal kedua tahun ini menjadi basis dukungan adanya mata uang digital versi bank sentral.
Maraknya penggunaan mata uang digital buatan swasta seperti AliPay dan cryptocurrency non-pemerintah seperti Bitcoin untuk spekulasi bisa menjadi ancaman bagi stabilitas sistem keuangan China.
Oleh karena itu Negeri Tirai Bambu gencar mengembangkan mata uang digital.
Selain digunakan di dalam negeri, mata uang digital China ini juga diharapkan dapat digunakan sebagai alat pembayaran internasional layaknya mata uang seperti dolar AS dan euro.
Untuk hal ini China memang sangat agresif.
Sebelum mata uang digital diperkenalkan, China sejatinya sudah mempromosikan yuan/renminbi-nya sebagai alat tukar internasional. China sudah mulai menekan Pakistan dan Turki untuk berdagang dengan mata uang miliknya dan bukan dolar AS seperti pada umumnya.
Namun di kancah internasional, penggunaan yuan/renminbi untuk pembayaran internasional pangsanya masih kecil, yakni hanya 1,9% saja di tahun ini. Masih kalah jauh dengan dolar AS yang mencapai 38,8% dari total.
China terus mendorong penggunaan yuan/renminbi untuk memasuki arena pembayaran internasional.
Pada 2015 China meluncurkan teknologi sistem pembayaran antar bank (Cross-border Interbank Payment System/CIPS) sebagai alternatif dari Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT)
Jika arsitektur pembayaran digital berhasil dikembangkan oleh China, maka Negeri Panda semakin punya akses untuk mewujudkan kepentingan nasionalnya.
China bisa mempromosikan penggunaan yuan/renminbi digital untuk berbagai aktivitas yang bersinggungan kepentingan ekonomi dan politik China seperti pembiayaan serta perdagangan terkait proyek One Belt One Road (OBOR) yang diinisiasinya.
Jelas hal ini akan meningkatkan kekuatan China di kancah internasional yang dicemaskan AS.
Namun untuk mewujudkan impian tersebut walau China terlihat sangat agresif nyatanya juga tidak semudah yang dibayangkan.
Beberapa faktor seperti fleksibilitas perdagangan valas dan pasar keuangan hingga inovasi sains dan teknologi juga masih condong ke AS.
Sampai saat ini, pasar keuangan China masih dalam kontrol ketat negaranya, pergerakan yuan/renminbi terhadap dolar AS juga terus dipantau oleh bank sentralnya.
Hal ini tentu membuat yuan/renminbi kurang menarik sebagai mata uang dunia.
Toh pelemahan dolar AS saat ini juga ada baiknya bagi perekonomian AS. Depresiasi mata uang Paman Sam seharusnya meningkatkan daya saing ekspor AS. Jangan lupa juga bahwa China saat ini juga tertekan.
Akibat pandemi Covid-19 banyak pabrik yang melakukan relokasi dari China ke negara lain untuk membangun rantai pasok yang lebih terdiversifikasi sehingga tahan dari gejolak (shock).
Ini jadi ancaman serius bagi China yang kini menyandang status sebagai global manufacturing hub.
Pada akhirnya dalam waktu dekat dolar AS masih jadi primadona. Namun kita masih tidak tahu untuk ke depannya.
Jika berkaca pada sejarah, untuk menyandang status sebagai mata uang dunia juga tidak melulu terpatok pada aspek ekonomi saja tetapi juga politik hingga perkembangan sains dan teknologi.
Mata uang utama yang diperdagangkan di dunia ini juga memiliki periode keemasan historisnya masing-masing seperti pada kasus Spanyol di abad ke-16, Belanda di abad ke-17, Perancis di abad ke-18, Inggris di abad ke-19.
Jadi hegemoni mata uang memang punya abadnya masing-masing.
Lantas kapan Chinese Century akan datang?
Mari kita lihat saja perkembangannya!
Toh usia hegemoni dolar AS juga belum genap 100 tahun jika dihitung sejak 1944.
TIM RISET CNBC INDONESIA