Features

Sang Maha Dolar Ambruk, Saatnya Mata Uang China Rebut Takhta!

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
14 October 2020 06:50
dollar
Foto: REUTERS/Dado Ruvic/Illustration

Pemicu Depresiasi Dolar AS I: Bank Sentral Cetak Uang Gila-Gilaan!

Kebijakan cetak uang kembali ditempuh oleh AS kali ini. Akibat pandemi Covid-19 pasar keuangan sempat goyah pada periode Februari-Maret lalu.

Pasar diwarnai dengan aksi jual besar-besaran saham dan surat utang pemerintah AS yang membuat bursa saham kebakaran dan yield obligasi pemerintah melonjak.

Bahkan emas sebagai aset safe haven (aset aman investasi) yang biasanya dicari pun turut dilikuidasi untuk menutup margin serta berperan sebagai sumber kas.

Indeks dolar melonjak dengan tajamnya. Likuiditas di pasar kering kerontang.

Bank sentral AS, the Fed langsung mengambil inisiatif untuk mencegah keringnya likuiditas ini dengan melakukan swap line dengan bank sentral lain.

Tak sampai di situ bank sentral paling berpengaruh di dunia itu juga membabat habis suku bunga acuannya ke rentang nol persen. 

Quantitative easing (QE) yang pernah dilakukan pada krisis keuangan global 2008 kembali ditempuh the Fed di bawah kendali sang ketua Jerome Hayden Powell.

Aksi beli aset-aset keuangan yang super masif oleh bank sentral membuat pasar pun mulai kalem.

Kendati pasar mulai berfungsi lagi, tetapi kebijakan QE menimbulkan konsekuensi yang serius.

Pertama, tentu terhadap dolar AS. Kebijakan cetak uang yang masif sehingga membuat neraca bank sentral mengembang ini menyebabkan indeks dolar terus melorot bahkan menyentuh level terendahnya dalam 2 tahun pada Agustus lalu.

Konsekuensi kedua, adalah karena aset keuangan yang dibeli oleh the Fed adalah obligasi pemerintah serta efek beragun aset dan bahkan obligasi korporasi telah menyebabkan yield riil (setelah dikurangi inflasi) obligasi pemerintah tenor 10 tahun yang dianggap sebagai aset safe haven pun jatuh ke teritori negatif. 

Kebijakan QE memang dimaksudkan agar para investor atau pemilik modal ini melakukan rebalancing portofolio dan beralih dari aset-aset minim risiko ke aset lain yang lebih berisiko seperti saham dan harapannya bisa mengalir ke sektor riil guna mendongkrak perekonomian.

QE pada dasarnya juga menimbulkan kecenderungan juga bahwa 'uang murah' ini akan mencari rumah barunya untuk bertumbuh lebih tinggi lagi yang kemungkinan adalah negara-negara emerging market (negara berkembang) yang masih menawarkan imbal hasil riil yang positif. 

Namun kecemasan investor masih sangat terasa. Hal ini tercermin dari kenaikan harga emas yang luar biasa tinggi.

Sepanjang tahun ini saja harga emas telah terangkat lebih dari 25% akibat kekhawatiran bahwa inflasi yang tinggi akan terjadi di masa depan. 

Kebijakan the Fed masih akan akomodatif untuk jangka waktu yang lebih panjang.

Suku bunga acuan mendekati nol persen kemungkinan besar akan ditahan sampai tahun 2023 (lower for longer). QE juga masih akan dijalankan. Stance dovish sangat kental terasa dari setiap pernyataan central bankers Paman Sam.

Pemicu Depresiasi Dolar AS II : Stimulus Jumbo dari Pemerintah!

Dari sisi fiskal, era suku bunga murah juga membuat pemerintah menjadi lebih banyak memanfaatkannya untuk berutang untuk memberikan stimulus guna mendongkrak perekonomian yang hancur lebur akibat lockdown dan aksi social distancing secara mandiri. 

Stimulus fiskal yang jumbo semakin menekan dolar AS karena pasokan uang menjadi bertambah.

Tak sampai di situ, defisit anggaran AS pun ikut jebol.

Untuk tahun 2020 defisit anggaran AS diperkirakan bakal lebih dari US$ 3 triliun atau setara dengan 16% dari PDB-nya. Ini merupakan defisit fiskal terparah pasca-PD II. 

Apalagi sekarang momennya adalah menjelang pemilu AS yang bakal dihelat pada 3 November mendatang. Trump dari Republik sebagai petahana harus menghadapi penantangnya dari Demokrat, Joe Biden.

Berdasarkan polling yang dipublikasikan belakangan, Biden lebih diunggulkan ketimbang Trump.

Kemenangan Biden juga diantisipasi oleh pasar yang bakal semakin melemahkan dolar AS lantaran mantan wakil presiden era Barrack Obama itu dikenal dengan kebijakannya yang akan lebih banyak 'menghamburkan' uang. 

Seperti yang diketahui bersama bahwa soal paket stimulus Covid-19 lanjutan saat ini mandek karena ada perbedaan seputar jumlah yang ditawarkan Republik, Demokrat dan Trump. 

Dari Republik mengusulkan paket stimulus lanjutan ini tak melebihi US$ 1,5 triliun, sementara dari Trump menawarkan angka US$ 1,8 triliun. Namun Demokrat masih kekeuh di angka US$ 2,2 triliun.

Posisi dolar yang semakin tertekan ini menjadi sorotan dari publik global dan ada anggapan bahwa dolar AS bisa kehilangan statusnya sebagai the main global reserves currency.

(twg/twg)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular