Jakarta, CNBC Indonesia - Senin (5/10/2020) menjadi momen bersejarah bagi Republik Indonesia (RI). Pasalnya di hari tersebut Sidang Paripurna DPR di kompleks Senayan mengesahkan RUU Cipta Kerja (Ciptaker) menjadi UU Cipta Kerja.
Salah satu implikasi dari pengesahan RUU menjadi UU Omnibus Law tersebut adalah amanat pembentukan lembaga pengelola investasi (LPI). Ya, nantinya Indonesia bakal punya dana investasi negara yang dikenal dengan istilah Sovereign Wealth Fund (SWF) alias dana abadi.
Namun jangan bayangkan SWF buatan RI ini akan mirip dengan yang dimiliki oleh negara-negara lain.
SWF biasanya dibentuk oleh negara yang mencatatkan surplus pada anggaran maupun perdagangannya. Artinya ada dana yang bisa diputar untuk investasi di berbagai kelas aset yang juga memiliki tujuan beragam.
Tak jarang SWF juga mengelola cadangan devisa suatu negara seperti yang dilakukan oleh Singapura dengan Government Investment Corporation (GIC)-nya.
Berbeda dengan model-model tersebut yang mengandalkan uangnya sendiri, SWF RI juga bakal menggunakan dana sendiri tetapi juga ada partisipasi investor asing nantinya.
Dalam UU Cipta Kerja dikatakan bahwa modal awal untuk membentuk SWF ini adalah sebesar Rp 15 triliun yang dibiayai oleh APBN.
Namun menurut Wakil Menteri BUMN Budi Gunadi Sadikin (BGS), modal awal SWF RI berpotensi sangat besar mencapai US$ 500 miliar - US$ 600 miliar.
Nilai tersebut setara dengan Rp 7.350 triliun-Rp 8.820 triliun dengan asumsi kurs Rp 14.700/US$. BGS mengungkapkan, nilai tersebut bisa diperoleh jika seluruh perusahaan BUMN melakukan penawaran umum saham perdana (initial public offering/IPO).
Estimasi nilai IPO yang bisa diperoleh mencapai US$ 480 miliar atau setara dengan Rp 7.056 triliun.
Jika nilai modal SWF milik RI mencapai US$ 600 miliar, maka bakal menjadi yang terbesar ketiga saat ini mengungguli SWF milik Uni Emirat Arab yang bernama Abu Dhabi Investment Authority (ADIA) yang dana kelolaannya mencapai US$ 579 miliar.
SWF RI hanya akan berada di bawah Dana Pensiun Norwegia yang dikelola oleh unit bank sentralnya yaitu Norges Bank Investment Management (NBIM) dengan total aset kelolaan mencapai US$ 1,17 triliun dan China Investment Corporation yang juga menembus angka US$ 1 triliun.
Namun ingat ya!
Ini jika seluruh perusahaan BUMN melakukan penawaran perdana sahamnya ke publik.
"Itu pasti sudah sekelasnya Abu Dhabi Investment SWF Abu Dhabi. SWF paling besar itu Norway US$ 1.100 billion-US$ 1.200 billion," kata BGS.
BGS memang menyebut SWF milik Norwegia dan UEA.
Keduanya adalah raksasa SWF global. Keduanya juga sama-sama mengandalkan penerimaan dari industri migasnya.
Aset kelolaan yang besar dari kedua negara tak terlepas dari tata kelola yang baik dan telah diinisiasi sejak lama.
ADIA dan Dana Pensiun Pemerintah Norwegia ini dibentuk pada tahun 1976 silam. Keduanya memiliki persamaan maupun perbedaan dalam pengelolaan dana investasinya.
Berikut ini adalah pengelolaan investasi SWF yang dilakukan oleh Norwegia dan UEA yang telah CNBC Indonesia rangkum :
Dana Pensiun Pemerintah Norwegia Raksasa SWF Dunia
SWF Norwegia dikelola oleh unit investasi di dalam bank sentralnya yang disebut sebagai Norges Bank Investment Management (NBIM).
Pengelolaan SWF oleh NBIM sering dijadikan acuan (benchmark) oleh banyak pihak karena tata kelolanya yang sangat transparan, profesional, berkinerja positif dan manajemen risiko yang baik.
Dana tersebut kemudian dialokasikan untuk membeli saham, surat utang dan aset-aset properti di berbagai negara. Berdasarkan data NBIM pada tahun 2019, sebanyak 70% dari total aset kelolaan yang mencapai US$ 1,17 triliun dialokasikan untuk aset-aset ekuitas di berbagai negara.
Proporsi surat utang negara dan instrumen pendapatan tetap lainnya mencapai 27,4% dari kebijakan maksimumnya yang mencapai 30%. Sementara sisanya diinvestasikan ke aset-aset seperti properti di negara-negara maju.
NBIM mengelola SWF-nya dengan cukup agresif dan mengincar return yang tinggi. Sejak tahun 1998 sampai tahun lalu rata-rata imbal hasil yang diperoleh mencapai 5,9% pertahunnya.
Aset SWF Norwegia terus bertumbuh sampai menjadi yang terbesar di dunia.
Saat ini SWF Norwegia ini memiliki saham di 9.202 perusahaan publik yang tersebar di seluruh negara. Jumlah tersebut berarti SWF Norwegia menguasai 1,5% dari total saham global.
Beberapa saham-saham yang dibeli oleh SWF Norwegia antara lain saham seperti Apple dan Samsung.
Menariknya lagi SWF Norwegia tersebut juga berinvestasi di aset keuangan dalam negeri lho yaitu berupa saham dan obligasi baik pemerintah maupun korporasi.
Di RI investasi SWF Norwegia tersebut dialokasikan untuk aset ekuitas senilai US$ 1,87 miliar di 74 saham domestik dan US$ 3,07 untuk obligasi pemerintah RI serta obligasi korporasi milik PT Pertamina (Persero).
Dana Pensiun Pemerintah Norwegia yang dikelola oleh NBIM pada tahun 2019 yang diinvestasikan ke saham RI mayoritasnya proporsinya dialokasikan ke saham-saham perusahaan berfundamental baik dan merupakan blue chip di Indonesia seperti BBRI (Bank BRI), BMRI (Mandiri), BBNI (BNI), TLKM (Telkom) dan BBCA (BCA).
Kebanyakan negara-negara di Timur Tengah memang memiliki SWF.
Awal mula SWF ada di dunia diprakarsai juga oleh Kuwait pada tahun 1950. UEA pun mengikuti jejak Kuwait 26 tahun kemudian dengan membentuk Abu Dhabi Investment Authority (ADIA).
Kini aset kelolaan ADIA menjadi yang terbesar ketiga bahkan mengalahkan Kuwait yang jadi pionir. Berbeda dengan SWF milik Norwegia, ADIA mengalokasikan uangnya ke aset yang lebih luas (broad range).
Tidak hanya ke saham dan pendapatan tetap saja, ADIA bekerja sama dengan pengelola dana eksternal untuk berinvestasi di aset-aset alternatif seperti hedge fund dan private equity (PE).
Semua dilakukan berdasarkan kebutuhan return terhadap investasi maupun risiko yang sudah dikalkulasikan dan mempertimbangkan pada kebutuhan likuiditas ADIA.
SWF UEA ini juga melakukan aktivitas trading untuk produk-produk keuangan turunan (derivatif) seperti kontrak komoditas hingga nilai tukar sampai mendanai proyek-proyek infrastruktur.
Apabila melihat laporan ADIA yang dipublikasikan pada 2018 silam, mayoritas dana dialokasikan untuk aset berupa saham baik individual sampai yang sifatnya indeks yang mencapai lebih dari 30% di negara maju.
Kemudian alokasi aset terbesar kedua adalah saham-saham di negara berkembang maupun yang sifatnya pendapatan tetap seperti obligasi pemerintah. Proporsinya mencapai 10% - 20%. Sementara alokasi terendah ditempatkan untuk infrastruktur dan saham-saham dengan nilai kapitalisasi pasar yang kecil.
Dalam 30 tahun terakhir sampai dengan tahun 2018, rata-rata imbal hasil dari ADIA mencapai 6,5%.
Itulah tadi gambaran sekilas terkait SWF Norwegia dan UEA yang sempat disinggung oleh Wamen RI dan alokasi investasi serta profil return-nya.
Lantas bagaimana SWF RI bakal dikelola? Mari kita nantikan saja.
TIM RISET CNBC INDONESIA