
Diboikot di AS, Siapa FGV yang Punya Kebun Sawit di RI?

Jakarta, CNBC Indonesia - Amerika Serikat (AS) dikabarkan memblokir impor minyak kelapa sawit (CPO) dan produk turunan dari FGV Holdings Berhad Malaysia. Perusahaan ini merupakan salah satu produsen sawit terbesar di dunia.
Sebagaimana dilansir Bloomberg, pengiriman dari perusahaan dan anak perusahaan FGV ditahan di semua pelabuhan masuk AS. Kebijakan ini diutarakan Departemen Perlindungan Bea dan Perbatasan AS, Rabu (30/9/2020) waktu setempat.
Pemboikotan ini dilakukan ini dilakukan AS lantaran ada informasi kerja paksa yang dilakukan di perusahaan perkebunan asal Malaysia tersebut.
"Perintah tersebut merupakan hasil dari penyelidikan selama setahun yang mengungkapkan adanya penipuan, pembatasan pergerakan, isolasi, intimidasi, kekerasan fisik dan seksual terhadap tenaga kerja," kutip media AS itu dari pernyataan Bea Cukai AS.
Siapakah FGV Holdings?
Situs resmi perusahaan mencatat FGV adalah salah satu produsen minyak sawit mentah (CPO) terbesar di dunia, menyumbang sekitar 15% dari total produksi CPO tahunan Malaysia.
FGV beroperasi di 9 negara di Asia, Timur Tengah, Amerika Utara dan Eropa.
FGV adalah perusahaan agribisnis berbasis di Malaysia yang terdaftar di Bursa Malaysia pada 28 Juni 2012.
Penawaran umum perdana (initial public offering/IPO) FGV tercatat menjadi salah satu yang terbesar di dunia dengan meraih dana IPO mencapai RM10,4 miliar atau setara dengan Rp 37 triliun (Rp 3.580/RM).
Perusahaan ini awalnya didirikan sebagai kepanjangan tangan bisnis komersial dari BUMN Malaysia, Federal Land Development Authority (Felda) pada tahun 2007 guna mengawasi investasi di bisnis minyak sawit hulu dan hilir serta agribisnis lainnya.
BUMN Malaysia Felda dibentuk pada 1 Juli 1956 di bawah Land Development Ordinance (Land Development Ordinance) tahun 1956, seperti terungkap dalam sejarah perusahaan di situs Felda.
"FGV didukung oleh tenaga kerja yang kuat lebih dari 45.000 orang. Fokus utama kami adalah pada tiga sektor bisnis inti: Perkebunan, Gula, dan Logistik," tulis manajemen FGV dalam situs resminya.
Bisnis hulu minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO), perusahaan mengelola total cadangan lahan seluas 439.725 hektare di Malaysia dan Indonesia, dan menghasilkan sekitar 3 juta metrik ton (MT) CPO setiap tahun.
Di Malaysia, perseroan memiliki 197 perkebunan yang berlokasi di Selangor, Perak, Pahang, Negeri Sembilan, Johor, Sabah dan Sarawak.
Sedangkan di Indonesia, kegiatan perkebunan difokuskan di 5 perkebunan yang terletak di Kalimantan Tengah dan Barat.
Saat ini, FGV memiliki 68 pabrik di seluruh Malaysia, memproses lebih dari 14 juta MT Tandan Buah Segar (TBS) setiap tahun, di mana dua pertiga TBS bersumber dari petani FELDA dan petani swadaya.
Beberapa anak usaha di bisnis hulu dari FGV yakni FGV Plantations (Malaysia) Sdn. Bhd, FGV Palm Industries Sdn. Bhd, Pontian United Plantations Berhad, FGV Agri Services Sdn. Bhd, dan PT Citra Niaga Perkasa.
Lainnya adalah PT Temila Agro Abadi, Asian Plantations Limited, dan FGV Kalimantan Sdn. Bhd.
Di Indonesia, salah satu perusahaan terafiliasi FGV karena sama-sama dipegang sahamnya oleh Felda yakni PT Eagle High Plantations Tbk (BWPT), lewat FIC Properties Sdn Bhd. Felda masuk ke BWPT bermitra dengan Grup Rajawali milik Peter Sondakh.
Felda, melalui anak usahanya FIC Properties Sdn Bhd mengakuisisi 37% saham Rajawali di Eagle High Plantations pada April 2017. Proses akuisisi tercatat memakan waktu sekitar 4 bulan setelah sale purchase agreement(SPA) yang ditandatangani kedua belah pihak pada 23 Desember 2016. Nilai akuisisi diperkirakan mencapai US$ 500 juta, atau sekitar Rp 580/saham.
FIC, yang sepenuhnya dimiliki oleh Felda, didirikan sebagai cabang investasi Felda, guna menjalankan kegiatan usaha yang tidak terkait dengan perkebunan.
Saat ini FIC fokus pada pengembangan properti, perhotelan, dan investasi strategis lainnya sebagaimana ditulis dalam situs resminya.
Terkait dengan pemblokiran AS, dalam pernyataan sebelumnya, FGV mengatakan komitmen penuh untuk menghormati hak asasi manusia (HAM) dan menjunjung tinggi standar ketenagakerjaan.
Pemblokiran Bea Cukai AS ini muncul pula setelah media AS, Associated Press (AP) melaporkan investigasi yang mengklaim jutaan pekerja dari beberapa wilayah termiskin di Asia, yang bekerja untuk memproduksi minyak sawit, mengalami berbagai bentuk eksploitasi.
Media ini menuding ada pekerja anak di bawah umur, perbudakan, dan tuduhan pemerkosaan.
AP News mengatakan telah mewawancarai lebih dari 130 karyawan serta mantan karyawan dari 24 perkebunan kelapa sawit di Malaysia dan Indonesia. Pekerja yang diwawancarai kebanyakan berasal dari Indonesia, Malaysia, Bangladesh, India, Nepal, Filipina, Kamboja, dan Myanmar, serta Muslim Rohingya tanpa kewarganegaraan.
Laporan tersebut menyebut perusahaan seperti Unilever, L'Oreal, Nestle, Procter & Gamble (P&G), Colgate-Palmolive, dan Ikea, serta beberapa nama bank raksasa, seperti Deutsche Bank, BNY Mellon, Citigroup, HSBC, dan Vanguard Group, dan Maybank, terlibat dalam masalah pelanggaran ini.
Malaysia dan Indonesia sendiri memproduksi sekitar 85% dari perkiraan pasokan minyak sawit senilai US$ 65 miliar di dunia.
(tas/tas)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Emiten Sawit Felda Diboikot di AS, Saham BWPT Malah Terbang!
