Sentimen Pasar Pekan Depan

Hot Nih, Trump Vs Biden Bakal Makin Seru Minggu Depan!

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
27 September 2020 14:38
Ilustrasi Dollar AS dan Yuan China (REUTERS/Jason Lee/)
Ilustrasi Dolar AS dan Yuan China (REUTERS/Jason Lee)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pekan depan akan menjadi momentum yang menarik bagi pasar. Selain berbagai rilis data ekonomi terbaru, akan ada pula debat kandidat calon presiden Amerika Serikat (AS). Sesuatu yang sangat bisa menentukan masa depan dunia.

Pekan ini, pasar keuangan Indonesia mencatatkan koreksi. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok 2,24% secara point-to-point. Meski kejatuhan IHSG lumayan parah, tetapi ternyata tidak ada apa-apanya dibandingkan bursa saham sejumlah negara tetangga.

Sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar AS melemah 0,78%. Seperti halnya rupiah, mata uang utama Benua Kuning pun tidak berdaya di hadapan greenback. Lagi-lagi, depresiasi mata uang Tanah Air masih lebih landai ketimbang para tetangganya.

Oke, saatnya menatap masa depan. Kira-kira bagaimana prospek untuk pekan depan? Sentimen apa saja yang perlu dimonitor oleh pelaku pasar?

Pertama tentu dari sisi rilis data. Pekan depan adalah awal bulan baru, Oktober. Biasanya setiap awal bulan akan ada rilis data Purchasing Managers' Index (PMI).

Berdasarkan pembacaan awal, sepertinya PMI manufaktur September di sejumlah negara naik dibandingkan Agustus. Dari tujuh negara/kawasan, hanya satu yang diperkirakan mengalami penurunan yaitu Inggris.

Namun perlu dicatat, laju kenaikan PMI mulai melambat. Misalnya di AS, angka pembacaan awal PMI manufaktur periode September adalah 53,5. Naik tipis 0,4 poin dibandingkan bulan sebelumnya. Padahal pada Agustus, PMI manufaktur naik 2,2 poin dibandingkan Juli.

"Kita saat ini berada di sekitar 80% dari aktivitas pra-pandemi, memang belum bisa dinaikkan lagi ke level normal sebelum vaksin anti-virus corona tersedia. Sulit untuk mewujudkan pemulihan ekonomi lebih lanjut. Ekonomi memang sudah membaik, tetapi kemajuannya melambat dibandingkan tiga bulan awal reopening," kata Jason Pride, Chief Investment Officer Glenmede yang berbasis di Philadelphia, seperti dikutip dari Reuters.

Kemudian, setiap awal bulan juga akan ada rilis data inflasi. Bank Indonesia (BI) dalam Survei Pemantauan Harga (SPH) pekan IV memperkirakan inflasi domestik pada September sebesar 0,01% secara bulanan (month-to-month/MtM). Ini membuat inflasi tahun kalender (year-to-date/YtD) menjadi 0,95% dan inflasi tahunan (year-on-year/YoY) 1,48%.

"Penyumbang utama inflasi pada periode laporan antara lain berasal dari komoditas minyak goreng sebesar 0,02% (MtM), serta bawang putih dan cabai merah masing-masing sebesar 0,01%. Sementara itu, komoditas yang menyumbang deflasi pada periode laporan berasal dari komoditas telur ayam ras sebesar -0,04%, daging ayam ras sebesar -0,02%, bawang merah sebesar -0,02%, serta jeruk, cabai rawit, dan emas perhiasan masing-masing sebesar -0,01%," sebut keterangan tertulis BI.

Meski inflasi tipis saja, tetapi ada peningkatan ketimbang dua bulan sebelumnya yang berturut-turut mencatatkan deflasi. Apakah ini pertanda daya beli masyarakat mulai pulih sehingga terjadi tekanan harga?

Masih terlalu dini untuk menyimpulkan ke arah sana. Namun kalau ada sedikit saja harapan, maka bisa menjadi sentimen positif di pasar keuangan Tanah Air. Maklum, pasar butuh oasis di padang pasir yang penuh derita ini.

Kemudian, pekan depan akan ada peristiwa yang akan menyita perhatian dunia. Pada Rabu pagi waktu Indonesia, Donald Trump (Partai Republik) dan Joseph 'Joe' Biden (Partai Demokrat) akan melangsungkan debat capres perdana. Dunia tentu akan memantau apa saja visi-misi yang dikedepankan Trump sang petahana dan Biden sang penantang.

Selama masa pemerintahan Trump, AS boleh dikata tidak pernah 'adem', selalu berseteru dengan negara-negara lain. China, Uni Eropa, sampai tetangganya sendiri yaitu Kanada dan Meksiko merasakan bagaimana perang dagang membuat arus perdagangan menjadi seret.

Namun yang paling hot tentu friksi AS-China. Selain perang dagang, dua kekuatan ekonomi terbesar di dunia ini bergesekan dalam isu Hong Kong, Laut China Selatan, hak atas kekayaan intelektual, teknologi, sampai pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19).

Jika Trump masih menggunakan gaya kepemimpinan yang sama, dan kemudian terpilih dalam pilpres November mendatang, maka dipastikan situasi tenang tidak akan terjadi selama empat tahun ke depan. AS dan negara-negara lain, terutama China, masih akan bergesekan di berbagai isu.

Kebijakan politik-sosial-ekonomi AS ke depan akan menentukan arah dunia selama empat tahun ke depan. Maklum, suka tidak suka AS adalah kekuatan ekonomi terbesar dunia. Apapun yang dilakukan di sana akan mempengaruhi seluruh negara, tidak terkecuali Indonesia.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular