
Saratoga Ogah Serap Saham Baru Mitra Investindo, Kenapa ya?

Jakarta, CNBC Indonesia - Emiten investasi milik dua pengusaha nasional, Sandiaga Uno dan Edwin Soeryadjaya, PT Saratoga Investama Sedaya Tbk (SRTG) melalui Interra Resources Ltd berpotensi mengalami penurunan porsi kepemilikan saham pada perusahaan migas PT Mitra Investindo Tbk (MITI) menjadi 8,05% dari saat ini 48,87%.
Pengurangan porsi saham ini adalah dampak dari delusi saham akibat langkah MITI yang akan melakukan aksi korporasi penambahan modal dengan hak memesan efek terlebih dahulu (HMETD) atau rights issue dan penggabungan nilai nominal saham (reverse stock).
Interra Resources yang memiliki sebanyak 689.870.383 saham MITI atau 48,87% akan mengalihkan HMETD-nya kepada PT Prime Asia Capital (PAC) sebagai pembeli siaga (standby buyer).
Dengan demikian, jika PAC mengambil HMETD milik Interra, maka akan terjadi perubahan pengendali atas perusahaan migas ini.
Hanya saja tidak dijelaskan siapa pemilik di balik PAC. Tapi berdasarkan penelusuran dunia maya, dokumen menyebutkan PAC pernah terlibat transaksi dengan Saratoga sebelumnya.
Pada November 2015, Saratoga saat itu menyelesaikan transaksi jual beli saham bersyarat senilai US$ 8,65 juta untuk melepas 23,3% saham di perusahaan berbasis di Singapura, Seroja Investment Limited kepada PAC.
Mengacu laporan keuangan MITI per Juni 2020, saham MITI Seri A dipegang PT Surya Raya Guna Perkasa 2,13% dan investor publik 19.13%, Sementara saham Seri B dipegang Interra 48,87%, publik 29,87%, dengan total jumlah saham sebanyak 1.411.550.800 saham.
Berdasarkan data prospektus rights issue MITI, ada dua perhitungan potensi delusi saham Interra di MITI.
Pertama, jika seluruh pemegang saham menggunakan haknya dan mengambilalih HMETD (kecuali milik Interra yang sudah dialihkan kepada PAC) dan dilakukan reverse stock, maka porsi saham PAC menjadi 49,57% dan publik 37,11%.
Sementara saham Interrra dengan skema ini akan tersisa tinggal 8,05%. Potensi delusi pemegang saham eksisting dalam skema ini sebanyak 83,54%.
Kedua, jika semua pemegang saham tak menyerap HMTED, dan semuanya diambilalih oleh PAC sebagai standby buyer, maka setelah rights issue dan reverse stock, saham MITI dipegang PAC 71,26%, publik 8,59%, dan Interra terdelusi menjadi 14,05%.
Untuk skema ini, potensi delusi pemegang saham sebesar 75,07%.
Hanya saja belum terungkap alasan Grup Saratoga tidak menyuntikkan dana lagi untuk menyerap saham baru MITI sehingga rela mengalihkan haknya (rights) kepada PAC.
Head of Corporate Communications Saratoga Investama Catharina Latjuba hingga kini juga belum memberikan penyataan resmi setelah CNBC Indonesia mengirimkan email pertanyaan pada 15 September lalu terkait dengan pengalihan HMETD kepada PAC ini.
Akan tetapi dari sisi kinerja, performa MITI memang masih ngos-ngosan. Semester I-2020, tak ada penjualan, tak ada laba bruto yang dicatatkan MITI.
Sementara itu, perseroan malah mencatatkan rugi usaha Rp 3,66 miliar, naik dari periode semester I-2019, yang juga rugi usaha Rp 4,26 miliar.
Rugi bersih entitas induk mencapai Rp 10,37 miliar, membengkak dari periode yang sama tahun lalu rugi bersih Rp 2,66 miliar. Aset tercatat hanya Rp 47,17 miliar dari Desember 2019 yakni Rp 57,16 miliar.
"Penurunan harga minyak dalam beberapa tahun terakhir telah mengakibatkan perseroan membukukan kerugian dan menyebabkan defisiensi modal sebesar Rp 28,66 miliar dan modal kerja bersih negatif Rp 11,16 miliar," tulis manajemen MITI.
Saat ini saham MITI juga masih terkena suspensi perdagangan sejak 11 Maret 2019, atau sudah 18 bulan. Menurut aturan Bursa Efek Indonesia (BEI), saham yang terkena suspensi hingga 24 bulan bisa terancam dikeluarkan dari bursa (delisting).
Suspensi dijatuhkan otoritas bursa sejak 11 Maret 2019. Perusahaan kini memiliki waktu 24 bulan sejak disuspensi atau artinya Maret 2021 untuk memperbaiki kinerja dan menjelaskan ke BEI untuk kemudian dapat mencabut suspensi.
Nah, aksi reverse stock dan rencana rights issue ini sebetulnya menjadi bagian dari upaya restrukturisasi perusahaan.
Adapun kinerja Interra juga belum sepenuhnya positif.
Mengacu laporan keuangan Interra, pendapatan perusahaan migas yang tercatat di papan utama SGX (Bursa Singapura) ini mencapai US$ 5,43 juta atau Rp 80 miliar (kurs Rp 14.800/US$) pada semester I-2020, turun 28% dari semester II-2019.
"Penurunan tersebut terutama disebabkan oleh penurunan harga minyak rata-rata tertimbang yang ditransaksikan sebesar US$ 40,83 per barel untuk semester I-2020, sementara di semester II-2019 sebesar US$ 62,08 per barel meskipun penjualan minyak yang dapat dibagikan lebih tinggi sebesar 168.364 barel untuk semester I-2020 dan semester II-2019 sebesar 154.673 barel," tulis siaran pers Interra.
Perusahaan juga mencatat rugi bersih semester I-2020 adalah US$ 0,82 juta atau Rp 12 miliar, dibandingkan dengan rugi bersih semester I-2019 sebesar US$ 1,54 juta atau Rp 23 miliar.
Pendapatan sebelum keuntungan divestasi, pendapatan bunga, selisih kurs, biaya keuangan, pajak, depresiasi, amortisasi, penyisihan dan penurunan nilai (EBITDA) pada semester I-2020 sebesar US$ 1,55 juta. Kas dan setara kas adalah US$ 5,08 juta per 30 Juni 2020.
Laporan Interra per 2 Juni 2020 mencatat, pemegang saham langsung (direct interest) yakni Saratoga Investama sebanyak 13,38%, Edwin Soeryadjaya (Chairman Non executive) sebanyak 0,09%, Sandiaga Uno 0,10%, North Petroleum International Company Ltd 13,41%, dan Shining Persada Investments Pte Ltd 8,94%
Sementara itu, pemegang saham secara deemed interest, yakni Edwin sebesar 13,38%, Sandiaga Uno 13,38%, dan Meity Subianto 8,94%.
Pemegang saham deemed interest, adalah kepemilikan saham berkaitan dengan "kepentingan yang dianggap" dalam saham yang dimiliki oleh anggota keluarga dari pemegang saham utama dan direktur.
Biasanya ini berkaitan dengan deemed dividend yang merupakan dividen yang ditetapkan diperoleh Wajib Pajak dalam negeri atas penyertaan modal pada BULN (Badan Usaha Luar Negeri) nonbursa terkendali langsung.
Edwin dan Sandiaga punya saham besar lantaran memilik penempatan saham di Saratoga masing-masing 31,847% dan 21,510%.
Adapun Meity Subianto punya 8,94% karena memiliki saham di Shinning Persada Investment, perusahaan terafiliasi dari Grup Persada Capital Investama yang didirikan oleh suaminya, mendiang Benny Subianto, salah satu orang terkaya Indonesia dan investor PT Adaro Energy Tbk (ADRO).
Benny masuk rangking 33, di daftar 50 orang terkaya di Indonesia versi Forbes 2016 dengan kekayaan bersih saat itu US$ 950 juta atau Rp 14 triliun. Benny lama bekerja di Grup Astra dan mantan Presdir PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI) dan PT United Tractors Tbk (UNTR), dua sayap bisnis PT Astra International Tbk (ASII).
Benny meninggal dunia pada Rabu 4 Januari 2017, dan Grup Persada Capital Investama kini diteruskan oleh putri Benny dan Meity yakni Arini Saraswaty Subianto (istri dari Andre Johannes Mamuaya, direktur Adaro yang meninggal pada 21 Agustus 2012).
Per Juni 2020, saham Arini Saraswaty Subianto di ADRO mencapai 0,25%.
