
PSBB Ketat Anies, Moody's Keluarkan Ramalan Jelek Properti!

Jakarta, CNBC Indonesia - Lembaga pemeringkat global, Moody's Investor Service, memperkirakan jika Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) akan diperpanjang melebihi jangka waktu 2 minggu sejak 14 September, maka menjadi sinyal bahwa pemulihan sektor properti yang diprediksi terjadi pada paruh kedua tidak akan terjadi.
"Jika penguncian [PSBB] diperpanjang melebihi jangka waktu 2 minggu, itu akan menggagalkan ekspektasi kami saat ini akan pemulihan pendapatan bertahap untuk perusahaan properti mulai dari paruh kedua tahun 2020," kata Jacintha Poh, Vice President - Senior Credit Officer Moody's, dalam pernyataan resminya, Selasa (15/9/2020).
Pemprov DKI memang sudah memberlakukan PSBB Total sejak 14 September awal pekan ini hingga 2 minggu ke depan. Bahkan dalam Keputusan Gubernur (Kepgub) 959/2020 tentang Pemberlakuan PSBB dalam penangananan Covid-19 di DKI Jakarta, disebutkan PSBB otomatis diperpanjang hingga 11 Oktober mendatang jika terjadi lonjakan kasus harian Covid-19 di Ibu Kota.
Pada 14 September kemarin, di hari pertama PSBB, kasus aktif virus corona (Covid-19) mencatatkan penurunan di DKI Jakarta.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, jumlah kasus di DKI Jakarta kemarin bertambah 879 kasus menjadi 55.099. Angka ini turun dibanding pertambahan kasus hari sebelumnya pada Minggu (13/9/2020) sebanyak 1.380 kasus.
Adapun untuk kasus sembuh juga melampaui kasus baru. Pasien sembuh bertambah 1.494 orang sehingga totalnya menjadi 42.245. Selanjutnya kasus meninggal bertambah 27 menjadi 1.418 kasus.
Hal ini menyebabkan kasus aktif Covid-19 di Jakarta turun menjadi 11.436, dibandingkan dengan Minggu yang tercatat 12.078 kasus.
Moody's menilai, PSBB kedua di Jakarta ini akan merugikan perusahaan properti, terutama yang memiliki aset bisnis ritel dan perhotelan yang besar.
"Penutupan tempat hiburan, seperti bioskop dan pusat kebugaran, kemungkinan akan menyebabkan penyewa mencari keringanan sewa dan rabat [potongan harga], sehingga menghambat pendapatan ritel perusahaan properti. Demikian pula, penutupan operasi terkait pariwisata akan berdampak pada pendapatan aset perhotelan," katanya.
Pada pertengahan tahun, Moody's juga merilis laporan berkaitan dengan prospek bisnis properti di Indonesia di tengah depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
Depresiasi rupiah, menurut laporan Moody's, diprediksi membawa dampak negatif bagi emiten sektor properti Tanah Air. Pelemahan rupiah di saat wabah corona (Covid-19) membuat pendapatan emiten properti tergerus dan beban utang membengkak.
Moody's melakukan penilaian terhadap enam emiten sektor properti yang diperingkat yakni PT Modernland Realty Tbk (MDLN), PT Alam Sutera Realty Tbk (ASRI), PT Lippo Karawaci Tbk (LPKR), PT Pakuwon Jati Tbk (PWON), PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE) dan PT Agung Podomoro Land Tbk (APLN).
Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar bukan kabar baik untuk enam emiten properti Tanah Air yang dua per tiga utangnya dalam dolar AS. Beberapa emiten seperti MDLN, ASRI dan LPKR bahkan proporsi utang dalam dolar AS mencapai lebih dari 90%, jika mengacu pada laporan keuangan 9 bulan di 2019.
Sementara itu untuk emiten PWON proporsi utang dalam dolarnya mencapai 76% dan BSDE serta APLN masing-masing kurang lebih 60%.
Dalam laporan tersebut Moody's menyebut lima dari enam emiten kecuali BSDE memiliki fasilitas lindung nilai (hedging) ketika nilai tukar rupiah terdepresiasi.
"Kami menduga agregat EBITDA [laba sebelum bunga, pajak, depresiasi dan amortisasi] pengembang kemungkinan akan turun 15% -20% pada tahun 2020 dari tahun sebelumnya. Pertumbuhan PDB Indonesia tahun 2020 akan melambat menjadi 3,7% dari yang diperkirakan 5% pada tahun 2019 karena terhambatnya kegiatan ekonomi yang parah akibat wabah corona yang telah menyebar ke seluruh dunia."
(tas/tas)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Juragan Lahan Jabodetabek, Agung Podomoro atau Summarecon?