Dapat Tenaga Luar-Dalam, Rupiah Siap Ngegas ke Rp 14.450/US$

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
07 September 2020 17:21
Ilustrasi Rupiah dan dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Ilustrasi Rupiah dan dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah menguat tipis 0,07% melawan dolar Amerika Serikat (AS) ke Rp 14.730/US$ pada perdagangan Senin (7/9/2020). Meski tipis, penguatan tersebut menjadi start yang bagus di awal pekan, mengingat banyak mata uang utama Asia yang melemah melawan dolar AS.

Rupiah mendapat tenaga dari luar dan dalam negeri yang bisa menjadi modal untuk terus ngegas di pekan ini.

Dari luar negeri, kondisi dolar AS sedang kurang bagus. Data-data ekonomi AS menunjukkan tanda-tanda pemulihan ekonomi.

Data manufaktur AS yang melesat tinggi di bulan Agustus, Institute for Supply Management (ISM) kemarin melaporkan purchasing managers' index (PMI) manufaktur melesat menjadi 56 dari bulan Juli 54,2.

PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas, di bawah 50 berarti kontraksi, sementara di di atasnya berarti ekspansi.

PMI manufaktur bulan Agustus tersebut merupakan yang tertinggi sejak Januari 2019.

Selain data manufaktur, pasar tenaga kerja AS juga membaik. Departemen Tenaga Kerja AS Jumat lalu melaporkan sepanjang bulan Agustus perekonomian AS mampu menyerap 1,371 juta tenaga kerja, dengan tingkat pengangguran turun menjadi 8,4% dari sebelumnya 10,2%. Rata-rata upah per jam juga naik 0,4%.

Ekspansi sektor manufaktur yang meningkat dan membaiknya pasar tenaga kerja memunculkan harapan perekonomian AS bisa segera bangkit dari kemerosotan tajam.

Meski demikian, hasil survei Reuters tetap menunjukkan dolar AS akan melemah hingga tahun depan, sebabnya yakni kebijakan ultra longgar bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed).

Hal dikonfirmasi oleh ketua The Fed Jerome Powell, yang mengingatkan tantangan ke depan masih berat, dan kebijakan ultra longgar masih akan diterapkan dalam waktu yang cukup lama.

"Kami berpandangan bahwa situasi akan lebih sulit, terutama ada beberapa area di perekonomian yang masih sangat terdampak pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) seperti pariwisata dan hiburan. Ekonomi masih membutuhkan suku bunga rendah, yang mendukung perbaikan aktivitas ekonomi, sampai beberapa waktu. Mungkin dalam hitungan tahun. Selama apa pun itu, kami akan tetap ada," papar Powell dalam wawancara dengan National Public Radio, sebagaimana dikutip dari Reuters.

Powell menambahkan, The Fed tidak akan menarik kebijakan ultra longgar. Tidak cuma suku bunga, juga berbagai fasilitas pemberian likuiditas ke pasar keuangan maupun sektor riil.

"Kami tidak akan menarik dukungan terhadap perekonomian secara prematur. Kami akan terus melakukan apa pun yang kami bisa," lanjutnya.

Isu dari dalam negeri mengenai rencana perubahan undang-undang Bank Indonesia serta kebijakan "burden sharing" membuat rupiah tertekan pada pekan lalu, tetapi Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati berupaya menjernihkan situasi.

Melalui konferensi pers akhir pekan lalu, Sri Mulyani menegaskan bahwa pemerintah belum membahas amandemen UU BI yang merupakan inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

"Beberapa hari terakhir banyak disampaikan revisi UU BI yang merupakan inisiatif DPR. Dapat dijelaskan bahwa sampai hari ini pemerintah belum membahas RUU inisiatif DPR tersebut. Penjelasan Bapak Presiden adalah sangat jelas, bahwa kebijakan moneter harus tetap kredibel, efektif dan independen," tegas Sri Mulyani.

Sedangkan dalam hal burden sharing, Sri Mulyani menjelaskan ada dua jenis pembagian beban. Pertama adalah untuk pembiayaan anggaran bersifat pemenuhan kebutuhan rakyat (public goods) yang hanya berlaku tahun ini. One off, sekali pukul.

Namun ada jenis burden sharing berikutnya yaitu BI menjadi pembeli siaga (standby buyer) obligasi pemerintah di pasar perdana apabila pasar tidak bisa menyerap. Sesuai dengan UU No 2/2020, ini dilakukan hingga 2022.

"BI sebagai pembeli siaga di dalam lelang SBN (Surat Berharga Negara) itu berlangsung sampai 2022, sesuai dengan UU No 2/2020 yang menyebutkan dalam waktu kurun tiga tahun untuk pemulihan ekonomi, pemerintah bisa memiliki defisit di atas 3% (dari Produk Domestik Bruto/PDB). Sesudah 2022, maka pemerintah akan kembali melaksanakan kebijakan fiskal yang diatur dalam UU Keuangan Negara yaitu defisit maksimal 3% dan rasio utang tidak boleh melebihi 60%, dan BI tetap menjalankan fungsi moneternya secara independen," jelas Sri Mulyani.

Kabar baik lainnya datang dari Bank Indonesia yang melaporkan cadangan devisa pada akhir Agustus sebesar US$ 137 miliar. Posisi cadangan devisa tersebut merupakan rekor tertinggi sepanjang masa, naik dari posisi akhir Juli yang juga rekor tertinggi sebelumnya US$ 135,1 miliar.

"Posisi cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 9,4 bulan impor atau 9,0 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor," demikian laporan Bank Indonesia, Senin (7/9/2020).

Dengan cadev yang meningkat ke rekor tertinggi, BI memiliki lebih banyak amunisi untuk menstabilkan rupiah. Sehingga dapat memberikan kenyamanan bagi investor asing untuk berinvestasi di dalam negeri, sehingga capital inflow bisa deras mengucur ke Indonesia. Jika kondisi tersebut terjadi, rupiah bisa kembali perkasa.

Selain kabar bagus dari dalam dan luar negeri, kabar bagus juga datang dari survei 2 mingguan Reuters.

Survei terbaru yang dirilis Reuters menunjukkan bahwa investor kini mulai mengambil posisi beli (long) terhadap rupiah, setelah mengambil posisi jual (short) dalam 4 survei beruntun atau dalam 2 bulan terakhir.

Survei dari Reuters tersebut menggunakan rentang -3 sampai 3. Angka positif berarti pelaku pasar mengambil posisi beli (long) terhadap dolar AS dan jual (short) terhadap rupiah, begitu juga sebaliknya.

Hasil survei yang dirilis pada Kamis (3/8/2020), menunjukkan angka -0,19 turun tipis dibandingkan hasil survei sebelumnya 0,43. Angka yang masih negatif mengindikasikan investor masih mengambil posisi beli rupiah, dan jual terhadap dolar AS.

Survei yang dilakukan Reuters tersebut konsisten dengan pergerakan di tahun ini. Dalam 2 bulan terakhir, saat investor mengambil posisi jual, rupiah mengalami pelemahan 2,68%.

Pada bulan Maret lalu, ketika rupiah mengalami gejolak, investor mengambil posisi jual (short) rupiah, dengan angka survei yang dirilis Reuters sebesar 1,57. Semakin tinggi nilai positif, semakin besar posisi short rupiah yang diambil investor.

Memasuki bulan April, rupiah perlahan menguat dan hasil survei Reuters menunjukkan posisi short rupiah semakin berkurang, hingga akhirnya investor mengambil posisi long mulai pada 28 Mei lalu. Alhasil rupiah membukukan penguatan lebih dari 15% sejak awal April hingga awal Juni.

Kini dengan investor kembali mengambil posisi beli, rupiah punya peluang untuk kembali menguat. Hasil survei Reuters tersebut menunjukkan investor mengambil posisi beli terhadap semua mata uang utama Asia, artinya dolar AS memang sedang kurang menarik bagi investor saat ini.

Secara teknikal, rupiah yang disimbolkan USD/IDR mengakhiri perdagangan di US$ 14.730/US$ yang menjadi kunci pergerakan di pekan ini.
Level US$ 14.730/US$ merupakan Fibonnaci Retracement 61,8%. Fibonnaci Retracement tersebut ditarik dari level bawah 24 Januari (Rp 13.565/US$) lalu, hingga ke posisi tertinggi intraday 23 Maret (Rp 16.620/US$).

Sementara itu indikator stochastic kini bergerak naik tetapi masih cukup jauh dari wilayah jenuh beli (overbought).

idrGrafik: Rupiah (USD/IDR) Harian
Foto: Refinitiv

Stochastic merupakan leading indicator, atau indikator yang mengawali pergerakan harga. Ketika Stochastic mencapai wilayah overbought (di atas 80) atau oversold (di bawah 20), maka suatu harga suatu instrumen berpeluang berbalik arah.

Seperti disebutkan sebelumnya, level Rp 14.730/US$ menjadi kunci pergerakan di pekan ini. Jika mampu menembus dan bertahan di bawah Rp 14.730/US$, rupiah berpotensi menguat ke Rp 14.600/US$, dan target selanjutnya ke Rp 14.450/US$ di pekan ini.

Sementara jika tertahan di atasnya, rupiah berisiko melemah ke Rp 14.800/US$, hingga Rp 14.835/US$.

Bahkan ada risiko rupiah merosot menuju Rp 15.090 sampai 15.100/US$ yang merupakan Fib. Retracement 50%.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular