Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah menguat melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Senin (7/9/2020). Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang menjernihkan situasi di dalam negeri terkait revisi undang-undang Bank Indonesia (BI) membuat rupiah menguat sejak awal perdagangan.
Rupiah pun tetap kokoh setelah data menunjukkan cadangan devisa (cadev) Indonesia mencetak rekor tertinggi lagi.
Melansir data Refinitiv, begitu perdagangan dibuka, rupiah menguat 0,27% ke Rp 14.700/US$. Sayangnya, level tersebut menjadi yang terkuat intraday, penguatan rupiah tergerus setelahnya.
Di penutupan perdagangan, rupiah berada di level Rp 14.730/US$, menguat tipis 0,03% di pasar spot.
Meski tipis, tetapi rupiah menjadi runner up terbaik Asia. Mata uang utama Asia bervariasi pada perdagangan awal pekan ini, rupiah hanya kalah dari yuan China yang menguat 0,12% hingga pukul 15:03 WIB. Sementara peso Filipina menjadi yang terburuk dengan pelemahan 0,21%.
Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Asia.
Dolar AS sebenarnya juga tidak dalam kondisi bagus, tetapi masih mampu menguat melawan sebagian mata uang utama Asia. Pada pekan lalu, data-data ekonomi AS menunjukkan tanda-tanda pemulihan ekonomi.
Hal tersebut disambut baik oleh ketua bank sentral AS, Jerome Powell, tetapi ia mengingatkan tantangan masih berat, dan kebijakan ultra longgar masih akan diterapkan dalam waktu yang cukup lama, dolar AS pun terluka.
Powell menambahkan, The Fed tidak akan menarik kebijakan ultra longgar. Tidak cuma suku bunga, juga berbagai fasilitas pemberian likuiditas ke pasar keuangan maupun sektor riil.
"Kami berpandangan bahwa situasi akan lebih sulit, terutama ada beberapa area di perekonomian yang masih sangat terdampak pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) seperti pariwisata dan hiburan."
"Ekonomi masih membutuhkan suku bunga rendah, yang mendukung perbaikan aktivitas ekonomi, sampai beberapa waktu. Mungkin dalam hitungan tahun. Selama apa pun itu, kami akan tetap ada," papar Powell dalam wawancara dengan National Public Radio, sebagaimana dikutip dari Reuters.
"Kami tidak akan menarik dukungan terhadap perekonomian secara prematur. Kami akan terus melakukan apa pun yang kami bisa," lanjutnya.
Isu dari dalam negeri mengenai rencana perubahan undang-undang Bank Indonesia serta kebijakan "burden sharing" membuat rupiah tertekan pada pekan lalu, tetapi Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati berupaya menjernihkan situasi.
Melalui konferensi pers akhir pekan lalu, Sri Mulyani menegaskan bahwa pemerintah belum membahas amandemen UU BI yang merupakan inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
"Beberapa hari terakhir banyak disampaikan revisi UU BI yang merupakan inisiatif DPR. Dapat dijelaskan bahwa sampai hari ini pemerintah belum membahas RUU inisiatif DPR tersebut. Penjelasan Bapak Presiden adalah sangat jelas, bahwa kebijakan moneter harus tetap kredibel, efektif dan independen," tegas Sri Mulyani.
Sedangkan dalam hal burden sharing, Sri Mulyani menjelaskan ada dua jenis pembagian beban. Pertama adalah untuk pembiayaan anggaran bersifat pemenuhan kebutuhan rakyat (public goods) yang hanya berlaku tahun ini. One off, sekali pukul.
Namun ada jenis burden sharing berikutnya yaitu BI menjadi pembeli siaga (standby buyer) obligasi pemerintah di pasar perdana apabila pasar tidak bisa menyerap. Sesuai dengan UU No 2/2020, ini dilakukan hingga 2022.
"BI sebagai pembeli siaga di dalam lelang SBN (Surat Berharga Negara) itu berlangsung sampai 2022, sesuai dengan UU No 2/2020 yang menyebutkan dalam waktu kurun tiga tahun untuk pemulihan ekonomi, pemerintah bisa memiliki defisit di atas 3% (dari Produk Domestik Bruto/PDB)."
"Sesudah 2022, maka pemerintah akan kembali melaksanakan kebijakan fiskal yang diatur dalam UU Keuangan Negara yaitu defisit maksimal 3% dan rasio utang tidak boleh melebihi 60%, dan BI tetap menjalankan fungsi moneternya secara independen," jelas Sri Mulyani.
Alhasil, rupiah langsung menguat begitu perdagangan hari ini dibuka.
Kabar baik lainnya datang dari Bank Indonesia yang melaporkan cadangan devisa pada akhir Agustus sebesar US$ 137 miliar. Posisi cadangan devisa tersebut merupakan rekor tertinggi sepanjang masa, naik dari posisi akhir Juli yang juga rekor tertinggi sebelumnya US$ 135,1 miliar.
"Posisi cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 9,4 bulan impor atau 9,0 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor," demikian laporan Bank Indonesia, Senin (7/9/2020).
Dengan cadev yang meningkat ke rekor tertinggi, BI memiliki lebih banyak amunisi untuk menstabilkan rupiah. Sehingga dapat memberikan kenyamanan bagi investor asing untuk berinvestasi di dalam negeri.
TIM RISET CNBC INDONESIA