
Rupiah 'Dihajar' Mata Uang Dunia, tapi Ada Kabar Baik Nih..

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah babak belur melawan mata uang dunia sepanjang pekan ini, mayoritas mata uang utama Asia hingga Eropa menguat. Namun, di buruknya kinerja rupiah tersebut, terselip kabar baik yang bisa membuat rupiah kembali berjaya.
Ringgit Malaysia menjadi mata uang yang menguat paling besar melawan rupiah pada pekan ini, disusul yuan China. Sementara itu sang "raja" mata uang dunia, dolar AS, menguat 0,86%.
Rupiah cuma mampu menguat melawan franc Swiss, dolar Australia, dan baht Thailand. Berikut pergerakan mata uang dunia melawan rupiah melawan mata uang dunia di pekan ini.
Rupiah juga dalam tekanan di pekan ini akibat rencana Revisi Undang-Undang nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia (BI). Dalam revisi ini akan ada banyak beberapa pasal yang dihapus dan juga ditambahkan.
Salah satu yang disoroti dalam revisi tersebut adalah adanya dewan moneter yang diketuai Menteri Keuangan, yang nantinya akan ikut dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG), bahkan juga memiliki hak suara dalam menentukan kebijakan BI. Hal tersebut dikhawatirkan akan menghilangkan independensi BI.
Melansir CNBC International, Kepala Ekonom Asean di Nomura, Euben Paracuelles, mengatakan revisi untuk menetapkan dewan moneter yang diketuai oleh menteri keuangan adalah "tidak biasa" dan tidak sejalan dengan praktek terbaik tentang bagaimana kebijakan moneter seharusnya ditetapkan.
"Investor mungkin melihat tersebut sebagai masalah besar, yang dapat memicu capital outflow, yang pada akhirnya menekan nilai tukar rupiah," katanya dalam program "Squawk Box Asia" di CNBC International Rabu (2/9/2020) lalu.
Selain itu kemungkinan program "burden sharing" pemerintah dan Bank Indonesia (BI) berlanjut hingga tahun 2022 juga memukul rupiah.
"Burden sharing" merupakan program dimana BI akan membeli obligasi pemerintah tanpa bunga alias zero coupon. Program tersebut sudah dilakukan mulai awal Juli lalu.
Ada kecemasan di pasar "burden sharing" akan memicu kenaikan inflasi di Indonesia akibat semakin banyaknya jumlah uang yang beredar.
Ketika inflasi meningkat, maka daya tarik investasi di Indonesia menjadi menurun, sebab real return yang dihasilkan menjadi lebih rendah. Hal ini dapat memukul nilai tukar rupiah.
Data dari dalam negeri juga kurang menguntungkan bagi rupiah. Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan data inflasi Agustus 2020.
Pada Selasa (1/9/2020), BPS menyebut inflasi bulan lalu adalah -0,05% secara bulanan (month-to-month/MtM) alias deflasi.
Secara statistik, deflasi sudah dua kali berturut-turut terjadi. BPS juga mencatat terjadi deflasi pada Juli 2020 sebesar 0,10%. Deflasi merupakan kondisi harga-harga turun.
Sementara dibandingkan periode yang sama pada 2019 (year-on-year/YoY), terjadi inflasi 1,32%. Inflasi tahun kalender tercatat 0,93%.
"Perkembangan harga berbagai komoditas pada Agustus ini secara umum menunjukkan adanya penurunan," kata Suhariyanto, Kepala BPS, dalam jumpa pers hari ini.
Deflasi tersebut terjadi akibat rendahnya daya beli masyarakat yang dihantam pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19). Belanja konsumen merupakan tulang punggung perekonomian Indonesia, dengan kontribusi 58% hingga 60%, ketika daya beli rendah maka risiko kontraksi ekonomi tentunya semakin besar, dan terancam mengalami resesi di kuartal III-2020.
Ekonom CORE Piter Abdullah menjelaskan, deflasi atau inflasi yang terlalu rendah tidak menguntungkan secara ekonomi, karena tidak memberikan insentif kepada dunia usaha untuk berproduksi.
"Antara inflasi yang sangat rendah dan deflasi sama saja tidak menguntungkan secara ekonomi. Yang dibutuhkan adalah inflasi yang rendah dan stabil, di tengah permintaan atau konsumsi yang bertumbuh," jelas Piter.
