Jakarta, CNBC Indonesia - Di luar dugaan, pasar benar-benar menghukum pemerintah terkait wacana perubahan sistem moneter yang dinilai bakal menghilangkan independensi Bank Indonesia (BI). Hari ini, pasar masih galau di tengah minimnya sentimen positif terutama di tengah jatuhnya bursa saham Amerika Serikat (AS).
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada perdagangan Kamis (3/9/20) ditutup anjlok 0,6% di ke level 5.280,81 setelah sempat anjlok 1,3%. Investor asing melakukan aksi jual bersih Rp 787 miliar di pasar regular, dari nilai transaksi harian Rp 8,5 triliun.
Isu soal penghilangan independensi BI ini kian menjadi sorotan di dunia internasional. Sebagaimana dilansir CNBC International, Kepala Ekonom Nomura untuk Asia Tenggara Euben Paracuelles menilai revisi yang menetapkan dewan moneter yang diketuai oleh Menteri Keuangan adalah "tidak biasa."
Yang menjadi perkara, BI akan dibawahi Dewan Moneter dan ketentuan soal "pihak lain tidak bisa ikut campur dalam pelaksanaan tugas BI" dihapus. Perubahan itu dinilai tidak sejalan dengan praktik terbaik internasional tentang penetapan kebijakan moneter.
Investor di pasar uang juga menghukum pemerintah dengan aksi lepas rupiah. Akibatnya, nilai tukar rupiah melemah 3 hari beruntun melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada Kamis, apalagi di tengah penguatan dolar AS.
Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan melemah 0,07% di Rp 14.750/US$ dan sempat memburuk hingga 0,54% di Rp 14.820/US$. Namun di penutupan, posisi rupiah membaik dengan depresiasi hanya 0,14% ke level 14.760/US$.
Tidak berhenti di situ, harga obligasi pemerintah juga melemah pada penutupan Kamis. Sama seperti sehari sebelumnya, pelemahan harga terjadi untuk obligasi bertenor antara 5 hingga 30 tahun, dan hanya tenor 1 tahun yang mengalami penguatan.
Surat Berharga Negara (SBN) berjatuh tempo menengah hingga panjang dilepas investor hari ini, hanya SBN bertenor 1 tahun yang tercatat dikoleksi asing. Yield (imbal hasil) SBN tenor 1 tahun tercatat turun 13,7 basis poin ke 3,76%.
Sementara itu, yield SBN dengan tenor 10 tahun yang merupakan acuan yield obligasi negara mengalami kenaikan 3,7 basis poin ke level 6,95%. Yield berlawanan arah dari harga, sehingga kenaikan yield menunjukkan harga obligasi yang turun. Demikian juga sebaliknya.
Bursa saham Amerika Serikat (AS) terbanting pada penutupan perdagangan Kamis (3/9/2020), menyusul aksi ambil untung gila-gilaan mengacuhkan data tenaga kerja yang menunjukkan berkurangnya tingkat pengangguran baru.
Indeks Dow Jones Industrial Average ditutup terbanting 807,8 poin (-2,8%) ke 28.292,73, menjadi koreksi harian terbesar sejak 11 Juni. Nasdaq anjlok 5% ke 11.458,1 dan S&P 500 merosot 3,5% ke 3.455,06.
Koreksi terjadi menyusul aksi jual saham-saham unggulan di sektor teknologi. Saham Apple anjlok 8% diikuti saham Microsoft (-6,2%), Facebook (-3,8%), Amazon (-4%), Alphabet (-5,1%) dan Netflix (-4%).
"Ada yang memencet tombol 'jual saham tekno, beli saham sisanya' dan ini menciptakan -penawaran terhadap group saham yang tertekan, sedangkan [saham teknologi] terpukul," tutur Adam Crisafulli analis Vital Knowledge sebagaimana dikutip CNBC International.
Pelemahan tersebut terjadi setelah pada Rabu Dow Jones melompat 454 poin, atau 1,6% sehingga membawa indeks tersebut melampaui angka 29.000 yang merupakan pertama kali sejak Februari (sebelum pandemi). Indeks S&P 500 dan Nasdaq kemarin juga mencetak rekor.
"Kita tak ingin melihat kejatuhan pasar terjadi sekarang, dan tak perlu mencetak rekor tertinggi baru untuk tumbuh tiap hari demi menjaga tren penguatan tetap hidup," tutur Frank Cappelleri, Direktur Eksekutif Instinet, dalam laporan riset yang dikutip CNBC International.
Departemen Tenaga Kerja merilis update jumlah warga AS yang mengajukan tunjangan pengangguran untuk pertama kali, alias terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), sebanyak 881.000 pada pekan terakhir Agustus.
Ini lebih baik dari ekspektasi pasar. Ekonom dalam polling Dow Jones mengekspektasikan angka klaim baru bakal mencapai 950.000 pekan lalu, atau berkurang dibandingkan dengan posisi sepekan sebelumnya yang melebihi angka 1 juta orang.
Hari ini tidak ada data dan agenda ekonomi yang signifikan di Indonesia, selain bayang sentimen buruk dari wacana pemangkasan independensi Bank Indonesia (BI) lewat Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu) Reformasi Keuangan.
Jika ada klarifikasi yang lebih tegas dari pemerintah dan DPR mengenai pembatalan rencana itu, maka pasar modal berpeluang menguat. Namun jika wacana itu masih disimpan di laci Istana, pasar kemungkinan masih akan menghukum dengan aksi jual, terutama di tengah situasi Wall Street yang pagi tadi ditutup berdarah-darah.
Pendiri Short Hills Capital Partners Stephen Weiss, menilai investor seharusnya mengukur seburuk apa koreksi memukul pasar. "Keserakahan punya caranya untuk menggigit anda di satu titik dan kemudian anda harus memutuskan 'OK, ini luka di permukaan kulit saja ataukah benar-benar mengucurkan darah?'," tuturnya sebagaimana dikutip CNBC International.
Menurut dia, yang terjadi sekarang adalah luka di permukaan kulit saja karena para trader yang mentalnya kurang kuat--dan membeli saham teknologi di posisi atas--kini melakukan aksi jual besar-besaran karena panik melihat koreksi.
Namun, harapan penguatan IHSG masih terbuka seandainya pemodal di bursa nasional menggunakan kabar pengembangan vaksin sebagai alasan untuk masuk ke pasar. Mengutip perusahaan riset obat global Airfinity Ltd, AstraZeneca Plc bakal bisa melepas vaksinnya publik secepatnya pada pertengahan September.
Perusahaan asal Inggris itu bahkan telah memberikan komitmen untuk memasok 30 juta dosis vaksin untuk pemerintah Inggris pada akhir bulan ini. Selain itu, Moderna Inc dan koalisi Pfizer-BionTech keduanya diperkirakan mengantongi izin edar vaksinnya di AS pada 22 Oktober.
Bahkan, penasihat kesehatan Gedung Putih Anthony Fauci menyatakan optimismenya bahwa persetujuan vaksin anti-Covid-19 tidak akan diwarnai kepentingan politik sehingga semestinya bisa berjalan cepat.
Pemerintah Indonesia pun gencar mengembangkan vaksin lewat PT Bio Farma. Menteri BUMN Erick Thohir menyebutkan Sinovac dari China dan G42 dari Uni Emirat Arab (UEA) siap berkolaborasi untuk menghasilkan vaksin Covid-19. Kolaborasi dengan Sinovac dilakukan melalui Bio Farma, sedangkan G42 melalui PT Kimia Farma Tbk.
Oleh karenanya, saham-saham sektor farmasi, dan juga kesehatan, berpeluang ditimpa aksi beli meski cenderung bersifat jangka pendek.
Berikut sejumlah rilis data dan agenda yang terjadwal untuk hari ini:
- Penjualan ritel Australia per Juli (13:30 WIB)
- Rilis PMI sektor konstruksi Uni Eropa per Agustus (14:30 WIB)
- Tingkat pengangguran AS per Agustus (19:30 WIB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (kuartal II-2020 YoY) | -5,32% |
Inflasi (Agustus 2020 YoY) | 1,32% |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Juli 2020) | 4% |
Defisit anggaran (APBN 2020) | -6,34% PDB |
Transaksi berjalan (kuartal I-2020) | -1,42% PDB |
Neraca pembayaran (kuartal I-2020) | -US$ 8,54 miliar |
Cadangan devisa (Juli 2020) | US$ 135,1 miliar |
TIM RISET CNBC INDONESIA