Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar modal nasional kompak bergerak di jalur hijau sepanjang pekan lalu, menyusul kabar gembira temuan vaksin dan perkembangan positif hasil pemilihan presiden (pilpres) AS. Untuk hari ini, pemodal akan mengecek kondisi perdagangan nasional sebelum memutuskan lanjut reli atau ambil untung terlebih dahulu.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada perdagangan pekan lalu melesat 2,35% ke level 5.461,05 menyusul sentimen positif dari bursa global. Transaksi terhitung marak dengan total nilai transaksi Rp 61,59 triliun atau rata-rata Rp 12.31 triliun per hari.
Sentimen yang membanjiri pasar adalah kian pastinya kemenangan Calon Presiden Partai Demokrat Joe Biden dalam pemilihan presiden (pilpres) Amerika Serikat (AS) dan efektivitas vaksin corona Pfizer yang disebut lebih dari 90%.
Sementara itu, rupiah menguat tipis terhadap dolar AS di pasar spot. Setelah sempat menguat tajam di awal pekan, rupiah melemah tiga hari beruntun, sehingga penguatan terpangkas.
Melansir data Refinitiv, rupiah terapresiasi 0,28% terhadap dollar AS selama sepekan lalu ke Rp 14.150/US$. Dengan begitu, Mata Uang Garuda gagal menguat ke area di bawah Rp 14.000/ US$, zona yang belum dirambah rupiah sejak Juni silam.
Di pasar surat utang, harga obligasi Indonesia menguat melanjutkan kinerja positif minggu sebelumnya. Seluruh seri Surat Berharga Negara (SBN) menguat, kecuali untuk tenor 20 tahun yang mengalami kenaikan yield sebesar 2,9 basis poin (bps) menjadi 7,239%.
Untuk diketahui, pergerakan yield berbanding terbaik dengan harga obligasi, ketika harga naik yield akan turun, begitu juga sebaliknya. Vaksin dapat membuat hidup kembali normal, roda bisnis berputar, dan perekonomian dunia bangkit, sentimen pelaku pasar pun membaik dan investasi dialirkan ke negara emerging market.
Besarnya daya tarik pasar obligasi dalam negeri terlihat dari lelang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau Sukuk Negara pada Selasa (10/11/2020) yang mengalami kelebihan permintaan (oversubscribed) 2 kali lipat.
Total penawaran yang masuk mencapai Rp 22,6 triliun, atau lebih tinggi dari penawaran yang masuk dalam lelang 2 pekan sebelumnya Rp 20,9 triliun. Padahal target indikatif yang ditetapkan adalah sebesar Rp 10 triliun.
Sepanjang pekan lalu, saham-saham yang diuntungkan dari pemulihan ekonomi di bursa Amerika Serikat (AS) menguat setelah Pfizer dan BioNTech mengumumkan bahwa kandidat vaksin yang mereka kembangkan menunjukkan tingkat efektivitas sebesar 90%.
Sepanjang pekan, indeks Dow Jones menguat 4,1% dan indeks S&P 500 tumbuh 2,16%, sedangkan indeks Nasdaq melemah 0,6% menjadi koreksi pekan ketiga yang terburuk dalam 4 pekan terakhir.
Pada Jumat saja, indeks S&P 500 menguat 1,4% menjadi 3.585,15 dan mencetak rekor kenaikan tertinggi. Indeks Dow Jones Industrial Average melompat 399,64 poin, atau 1,4%, menjadi 29.479,81. Sementara itu, Nasdaq menguat 1% menjadi 11.829,29.
"Vaksin yang positif pekan ini dalam pandangan kami merupakan pengubah peta permainan, karena memungkinkan pasar meneropong lonjakan kasus Covid-19 baru-baru ini terhadap akhir pandemi dalam waktu dan pembukaan kembali perekonomian secara lebih luas," tulis Marko Kolanovic, Kepala Perencana Kuantitatif Makro dan Derivatif JPMorgan sebagaimana dikutip CNBC International.
Kabar positif kedua datang dari pengembang vaksin lainnya yakni Moderna yang pada Rabu mengumumkan uji coba tahap ketiga menunjukkan bahwa kandidat vaksinnya cukup aman dan berujung pada hasil yang menggembirakan.
Namun sebagai gantinya, saham teknologi yang selama ini menikmati berkah pembatasan sosial pun berguguran. Koreksi justru agak terhenti pada Jumat ketika kasus Covid-19 terus meningkat dan menjadi pemberat pasar. Menurut analisis CNBC International, kasus baru Corona naik 5% dalam sepekan terakhir di 47 wilayah AS.
Angka pasien bertambah di 46 negara bagian. Akibatnya, Walikota Chicago Lori Lightfoot meminta warganya membatalkan perayaan Thanksgiving dan tinggal di rumah. Di New York, Gubernur Andrew Cuomo membatasi bar, restoran dan sasana mulai Jumat.
Phillip Colmar, analis MRB Partners, dalam laporan risetnya menilai bahwa pemulihan ekonomi global "akan bertahan, tetapi bentuk V sudah usai, dan kita sudah bertransisi menuju laju pemulihan yang lebih rendah yakni dua langkah maju dan satu langkah mundur."
Pada hari ini, Badan Pusat Statistik (BPS) dijadwalkan merilis data perdagangan internasional, di mana konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekspor terkontraksi 4,5% pada Oktober 2020 dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/YoY).
Sementara itu, impor diperkirakan ambles lebih dalam dengan kontraksi 18,6% YoY, sehingga berujung pada surplus neraca perdagangan sebesar US$ 2,22 miliar. Kali terakhir Indonesia membukukan defisit neraca perdagangan adalah pada April 2020. Selepas itu, surplus neraca perdagangan selalu dalam hitungan miliar dolar AS.
Surplus yang semestinya manis karena membantu mengurang defisit transaksi berjalan tersebut justru masih menjadi duri dalam perekonomian Indonesia karena mengindikasikan aktivitas ekonomi yang masih tersendat.
Pasalnya, komponen bahan baku dan barang modal mendominasi nilai impor kita dengan porsi mencapai 95%. Keduanya merupakan bahan adonan penting untuk manufaktur dan industri nasional. Ketika kedua komponen tersebut masih melemah, maka pesan yang tersurat adalah aktivitas manufaktur nasional masih tertekan.
Ini tentu menjadi kabar buruk bagi pelaku pasar. Jika tak ada sentimen pendukung yang bernada positif, IHSG pun berpeluang terkoreksi terutama setelah pada Jumat lalu ditutup menguat 2 poin (0,04%).
Kekhawatiran serupa menggema dari Wall Street setelah sepekan lalu menguat signifikan karena optimisme dari perkembangan vaksin Pfizer. Sepekan lalu, aliran dana investor yang masuk ke bursa saham AS mencapai US$ 45 miliar, menjadi yang tertinggi sepanjang sejarah menurut Bank of America.
Terakhir, optimisme sebesar itu terjadi pada Januari 2018, menyambut pengumuman pemangkasan pajak oleh Presiden AS Donald Trump yang dilakukan pada Jumat pekan sebelum itu. Namun setelah itu, koreksi beruntun terjadi karena pasar mengevaluasi menilai kenaikan Senin tersebut adalah optimisme berlebihan karena ketiadaan sentimen positif lainnya.
Untuk kali ini, ada harapan sentimen positif masih bakal menyuntik pasar saham AS dan juga pasar saham global (termasuk Indonesia), setelah Trump secara resmi mengakui kekalahannya meski masih ngotot dirinya dicurangi.
Dalam cuitannya, Trump mengatakan bahwa " Dia (Biden) menang karena pilpres dicurangi". Meski demikian, di cuitan selanjutnya Trump kembali berujar bahwa "Kita akan Menang." Cuitan tersebut ditafsirkan sebagai pengakuan kemenangan Biden yang membuka peluang bahwa konflik politik bakal tak setinggi yang diperkirakan sebelumnya.
Sebanyak 97% suara telah dihitung, dan NBC News memperkirakan Biden akan mengantongi 306 suara elektoral, sementara Trump hanya mendapatkan 232 suara. Biden juga unggul dari perolehan suara rakyat, dengan selisih hingga 5 juta.
Sentimen positif juga bakal mengemuka dari Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) antara China, Jepang, Korea Selatan (Korsel), Australia dan Selandia Baru serta 10 negara ASEAN termasuk RI yang diteken pada Minggu (15/11/2020).
Perjanjian bebas ini mencakup hampir sepertiga dari populasi dunia (30% PDB) dan diprediksi akan menambah US$ 186 miliar ke ekonomi dunia.
Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
- Pertumbuhan Ekonomi Jepang Q3 (06:00 WIB)
- Penjualan ritel China Oktober (09:00 WIB)
- Neraca perdagangan Indonesia (09:00 WIB)
- Indeks keyakinan bisnis Indonesia (09:00 WIB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (kuartal III-2020 YoY) | -3,49% |
Inflasi (Oktober 2020 YoY) | 1,44% |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Oktober 2020) | 4% |
Defisit Anggaran (APBN 2020) | -6,34% PDB |
Transaksi berjalan (kuartal II-2020) | -1,18% PDB |
Neraca pembayaran (kuartal II-2020) | US$ 9,24 miliar |
Cadangan devisa (Oktober 2020) | US$ 133,7 miliar |
TIM RISET CNBC INDONESIA