Sedih Banget, Rupiah Jadi Tumbal Kegaduhan di Negeri Sendiri

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
02 September 2020 12:55
Penukaran uang
Ilustrasi Money Changer (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Masih di bidang ekonomi, pelaku pasar juga merasakan inkonsistensi kebijakan. Misalnya dalam hal koordinasi para pengambil kebijakan.

Untuk mengatasi pandemi virus corona, pemerintah menggelontorkan stimulus fiskal ratusan triliun rupiah. Ini mengakibatkan defisit anggaran melebar hingga 6,35% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Dalam situasi yang penuh ketidakpastian, pembiayaan defisit yang naik luar biasa itu butuh sumber lain. Bank Indonesia (BI) pun diajak berkolaborasi dalam pembiayaan defisit atas nama berbagai beban alias burden sharing.

Dulu, haram hukumnya bagi BI untuk membiayai defisit fiskal karena bisa menyebabkan tambahan uang beredar yang menyebabkan risiko pelemahan nilai tukar rupiah. Padahal menjaga kestabilan nilai tukar rupiah adalah mandat utama BI. BI tidak boleh masuk ke pasar perdana obligasi pemerintah, hanya boleh melakukan aktivitas di pasar sekunder untuk kebutuhan stabilisasi nilai tukar.

Namun dalam kondisi luar biasa, dibuatlah aturan agar BI bisa masuk ke pasar perdana Surat Berharga Negara (SBN) yaitu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No 1/2020 yang kemudian diubah menjadi UU No 2/2020. Sejak boleh masuk pasar perdana hingga 18 Agustus, BI sudah membeli SBN senilai Rp 42,96 triliun.

Awalnya pelaku pasar menilai kebijakan ini penuh risiko, karena selain bisa menyebabkan tekanan inflasi dan nilai tukar, juga bisa mencederai independensi BI. Namun karena pasar berhasil diyakinkan bahwa kebijakan ini hanya ad hoc, one off, sekali pukul, kekhawatiran tersebut reda.

"Kesepakatan ini semestinya bersifat one-off. Memang ada risiko bisa berlanjut sampai 2021, tetapi kami mmeperkirakan itu tidak terjadi. Sebab, penyerapan belanja negara masih redah dan pasar masih bisa membiayai," sebut Anthony Kevin, Ekonom Mirae Asset, dalam risetnya.

Namun kemarin tersiar kabar bahwa ada kemungkinan BI tetap diminta berkontribusi dalam pembiayaan defisit setidaknya sampai 2022. Kepada para jurnalis media asing di Istana Bogor, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan bahwa jika pertumbuhan ekonomi tahun depan bisa berada di kisaran 4,5-5,5%, maka burden sharing mungkin tidak lagi dibutuhkan pada 2022. Pernyataan Jokowi bisa dimaknai bahwa masih ada peluang pemerintah akan meminta bantuan kepada BI untuk membiayai defisit anggaran setidaknya hingga 2022, andai pertumbuhan ekonomi di bawah target.

Masih soal BI, baru-baru ini muncul wacana pemerintah dan DPR akan mengubah UU BI. Dua poin dalam perubahan itu adalah perluasan mandat BI dan menghidupkan kembali Dewan Moneter.

Sejumlah pihak menilai wacana ini adalah buah dari ketidanyamanan karena BI dinilai terlalu super power. Atas nama independensi, BI seakan menjadi negara dalam negara.

"Memang ini masih wacana dan mungkin tidak semua hal yang beredar betul-betul tertuang dalam UU yang baru. Namun, kami menilai memang ada nuansa bahwa selama ini bank sentral terlalu kuat dan berlindung di bawah UU BI yang sekarang. Masa pandemi seperti sekarang memantik kembali sentimen tersebut.

"Kami memperkirakan mungkin nantinya kadar independensi bank sentral akan sedikit diturunkan. Ini akan menimbulkan pertanyaan, apakah Indonesia akan mengorbankan catatan kebijakan yang pruden selama 1-2 dekade terakhir?" papar Helmi Arman, Ekonom Citi, dalam risetnya.

Pandemi virus corona sudah menjadi bencana bagi perekonomian nasional. Amat disayangkan kalau sampai inkonsistensi kebijakan dan berbagai kegaduhan menambah beban yang sudah berat ini.

TIM RISET CNBC INDONESIA

(aji/aji)
[Gambas:Video CNBC]


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular