AS-China Pake Ribut-ribut Segala Sih! Rupiah Jadi Lemah Kan..

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
27 August 2020 10:38
rupiah, bi
Ilustrasi Rupiah (REUTERS/Willy Kurniawan)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah di kurs tengah Bank Indonesia (BI). Rupiah juga merah di perdagangan pasar spot.

Pada Kamis (27/8/2020), kurs tengah BI atau kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 14.714. Rupiah melemah 0,53% dibandingkan posisi hari sebelumnya.

Di 'arena'pasar spot, rupiah pun lemas. Pada pukul 10:00 WIB, US$ 1 setara dengan Rp 14.680 di mana rupiah melemah tipis 0,07%. Padahal rupiah menguat dengan cukup meyakinkan kala pembukaan pasar.

Sementara mata uang Asia lainnya juga cenderung melemah di hadapan dolar AS. Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning di perdagangan pasar spot pada pukul 10:05 WIB:

Sebenarnya Dolar AS masih dalam kondisi tertekan. Pada pukul 09:20 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) melemah 0,1%.

Dalam sebulan terakhir, Dollar Index terkoreksi 0,83%. Lebih parah lagi selama tiga bulan ke belakang, sudah ambles 5,55%.

Investor sedang dalam masa penantian. Malam nanti waktu Indonesia, Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) akan menggelar simposium tahunan. Biasanya acara ini dihelat di Kota Jackson Hole (Wyoming), tetapi karena pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) terpaksa dilangsungkan secara daring.

Pelaku pasar memperkirakan The Fed akan mengubah sistem target inflasi. Selama ini inflasi ditargetkan 2% dalam jangka menengah-panjang, tetapi dalam kondisi saat ini sepertinya target tersebut menjadi kurang relevan.

"Mungkin The Fed akan mengubah target menjadi rata-rata, bukan angka pasti seperti 2%. Artinya, kemungkinan suku bunga rendah akan bertahan dalam waktu yang cukup lama," kata Raffi Boyadjian, Senior Investment Analyst di XM, seperti dikutip dari Reuters.

Pada Juli 2020, inflasi AS tercatat 1% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/YoY). Selama lima tahun terakhir, hanya empat bulan inflasi (yang diukur dari Personal Consumption Expenditure/PCE inti) menyentuh 2%.

Dengan penyesuaian target inflasi, The Fed seakan mengakui bahwa sulit mencapai target 2%. Upaya penyesuaian membuktikan bahwa ke depan tekanan inflasi di Negeri Paman Sam masih sangat minim.

Oleh karena itu, kebutuhan untuk menaikkan suku bunga belum mendesak. Suku bunga rendah sepertinya masih akan ada untuk beberapa waktu ke depan.

Artinya, berinvestasi di aset-aset berbasis dolar AS (terutama di instrumen berpendapatan tetap) menjadi kurang menguntungkan. Permintaan dolar AS masih akan sedikit sehingga nilai tukarnya sulit menguat.

Namun mengapa rupiah dkk di Asia malah lesu? Sepertinya investor merespons negatif perkembangan hubungan AS-China. Setelah sempat adem, relasi kedua negara berpotensi panas lagi.

Pemerintah AS memasukkan 24 perusahaan China ke daftar hitam karena dituding terkait dengan aksi militer Negeri Tirai Bambu di Laut China Selatan. Kementerian Perdagangan AS melalui keterangan tertulis menyebutkan 24 perusahaa itu memainkan peran dalam membantu militer China untuk membangun pulau buatan di Laut China Selatan yang mencederai kedaulatan negara-negara lain.

Beberapa perusahaan yang masuk daftar hitam antara lain Guangzhou Haige Communications Group, China Communications Construction Co, Beijing Huanjia Telecommunication, Changzhou Guoguang Data Communications, China Electronics Technology Group, dan China Shipbuilding Group.

Tidak berhenti sampai di situ, Kementerian Luar Negeri AS juga akan menolak visa sejumlah warga negara China yang dianggap terlibat dalam friksi di Laut China Selatan. "Pembatasan visa akan berlaku bagi individu yang bertanggung jawab atau mengetahui aksi China yang menggunakan kekerasan terhadap negara-negara Asia Tenggara yang mempertahankan batas wilayahnya," tegas keterangan tertulis Kementerian Luar Negeri AS.

China tentu tidak terima. Juru Bicara Kedutaan Besar China untuk AS di menyatakan bahwa sanksi tersebut sama sekali tidak beralasan.

"(Laut China Selatan) adalah bagian dari wilayah China, dan kami punya dasar yang kuat untuk membangun fasilitas di sana serta menerjunkan kekuatan pertahanan yang diperlukan. Pemerintah China berkomitmen untuk menjaga kedaulatan dan batas wilayah," tegas sang juru bicara, seperti dikutip dari Reuters.

Situasi ini membuat investor kebat-kebit. Pelaku pasar yang awalnya agresif berubah menjadi defensif dan melepas aset-aset berisiko. Akibatnya rupiah dan mata uang Asia berbalik lesu di hadapan dolar AS yang sedang loyo.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular