Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks dolar Amerika Serikat (AS) ambrol di bulan Juli, menyentuh level terendah dalam 2 tahun terakhir. Indeks ini menjadi tolak ukur kekuatan dolar AS secara umum, sehingga jika menurun berarti the greenback melemah terhadap mayoritas lawan-lawannya.
Sekali lagi digarisbawahi mayoritas, artinya dolar juga ada menguat terhadap beberapa mata uang, termasuk rupiah. Tetapi penurunan indeks dolar AS sudah jelas menunjukkan kinerja buruknya.
Berdasarkan data Refinitiv, indeks dolar AS ambrol 4,15% sepanjang bulan Juli. Penyebab ambrolnya indeks tersebut adalah AS yang masuk resesi, serta pemulihannya yang diramal berlangsung lambat akibat kasus pandemi penyakit virus corona (Covid-19) yang terus menanjak di AS.
Kamis pekan lalu, PDB AS kuartal II-2020 dilaporkan mengalami kontraksi 32,9%. Kontraksi tersebut menjadi yang paling parah sepanjang sejarah AS.
Di kuartal I-2020, perekonomiannya mengalami kontraksi 5%, sehingga sah mengalami resesi.
Bukan kali ini saja AS mengalami resesi, melansir Investopedia, AS sudah mengalami 33 kali resesi sejak tahun 1854. Sementara jika dilihat sejak tahun 1980, Negeri Paman Sam mengalami empat kali resesi, termasuk yang terjadi saat krisis finansial global 2008.
Artinya, resesi kali ini akan menjadi yang ke-34 bagi AS.
AS bahkan pernah mengalami yang lebih parah dari resesi, yakni Depresi Besar (Great Depression) atau resesi yang berlangsung selama 1 dekade, pada tahun 1930an. Tetapi kontraksi ekonominya tidak sedalam di kuartal II-2020. Akibatnya, dolar AS pun tak bertenaga.
Melawan mata uang Asia, dolar AS bergerak bervariasi, dolar AS menguat melawan rupiah sebesar 2,47% menjadikan rupiah mata uang dengan kinerja terburuk di Asia di bulan Juli. Dolar juga menguat melawan yen Jepang dan bath Thailand, menghadapi mata uang utama Asia lainnya the greenback KO.
Tetapi pukulan paling telak bagi dolar AS datang dari mata uang Eropa. Euro, poundsterling dan franc Swiss menguat cukup signifikan. Dan mata uang dengan kinerja terbaik di bulan Juli jatuh pada poundsterling, dengan penguatan 5,56% mengalahkan euro sebesar 4,83%.
Penguatan poundsterling terbilang cukup mengejutkan mengingat kondisi Inggris yang masih dipenuhi ketidakpastian, tidak hanya pemulihan ekonomi yang nyungsep akibat pandemi Covid-19, tetapi juga masalah keluarnya Inggris dari Uni Eropa atau yang dikenal dengan Brexit.
Brexit menjadi penting karena menentukan nasib Inggris untuk jangka panjang. Inggris saat ini masih dalam masa transisi hingga akhir tahun setelah resmi bercerai dengan Uni Eropa
Selama masa transisi, belum ada perubahan status Inggris di pasar tunggal Eropa, artinya produk dari Inggris masih bebas keluar masuk di Benua Biru. Jika sampai 31 Desember nanti tidak ada kesepakatan, maka Inggris akan keluar dari pasar tunggal, artinya akan ada tarif ekspor-impor yang akan dikenakan.
Bila hal ini sampai terjadi, maka perekonomian Inggris terancam merosot lebih dalam. Apalagi saat ini pandemi penyakit akibat virus corona sudah membuat perekonomian global menuju jurang resesi.
Oleh karena itu penguatan poundsterling menjadi cukup mengejutkan. Tetapi di sisa tahun ini diramal akan kembali melemah oleh ahli strategi mata uang dari Bank of America Merril Lynch.
"Nasib poundsterling akan ditentukan oleh kebijakan moneter, kebangkitan perekonomian setelah dihantam pandemi, serta negosiasi Brexit, yang masih a lot" kata ahli strategi tersebut, sebagaimana dilansir Reuters.
Euro yang menjadi runner up justru menjadi mata uang favorit, sebab pemulihan ekonomi di Eropa diprediksi lebih cepat ketimbang Amerika Serikat.
Ekspektasi akan kebangkitan ekonomi Eropa semakin membuncah setelah pemerintah Eropa 2 pekan lalu yang menyepakati stimulus fiskal senilai 750 miliar guna membangkitkan perekonomian yang merosot ke jurang resesi akibat pandemi penyakit virus corona. Kebijakan tersebut menimbulkan harapan akan kebangkitan ekonomi Benua Biru.
Dengan demikian, dana yang digelontorkan guna memulihkan perekonomian yang merosot ke jurang resesi akibat Covid-19 semakin besar.
Pada bulan lalu, bank sentral Eropa (European Central Bank. ECB) yang dipimpin Christine Lagarde ini menambah nilai stimulus yang disebut Pandemic Emergency Purchase Program (PEPP) senilai 600 miliar euro, sehingga totalnya menjadi 1,35 miliar euro. Stimulus dengan pembelian surat berharga tersebut akan digelontorkan hingga Juni 2021.
Lagarde mengatakan, hingga akhir Juni lalu jumlah obligasi pemerintah yang dibeli melalui PEPP senilai 360 miliar euro.
Selain itu, suku bunga acuan main refinancing rate juga dipertahankan sebesar 0%, deposit facility sebesar -0,5%, dan lending facility sebesar 0,25%. ECB mengatakan, suku bunga rendah tersebut masih akan dipertahankan hingga inflasi mendekati 2%
Kebangkitan ekonomi Eropa kian nyata melihat data aktivitas bisnis (manufaktur dan jasa) bulan Juli yang kembali berekspansi. Markit melaporkan purchasing managers' index (PMI) manufaktur dan jasa di zona euro, semuanya di atas 50.
PMI dari Markit menggunakan angka 50 sebagai ambang batas, di atasnya berarti ekspansi, di bawah berarti kontraksi.
Dengan rilis semua di atas 50, artinya roda bisnis manufaktur dan jasa di zona euro sudah kembali berputar, sehingga perekonomian bisa segera bangkit kembali.
Selain diprediksi tertinggal dalam pemulihan ekonomi, Amerika Serikat juga akan menyelenggarakan Pemilihan Umum (Pemilu) Presiden pada bulan November nanti, sehingga masih banyak ketidakpastian yang menyelimuti negeri Paman Sam. Mike Dolar, editor market dan keuangan Reuters News menurut pandangan pribadinya memprediksi euro akan menguat secara "brutal" melawan dolar AS.
TIM RISET CNBC INDONESIA