Jakarta, CNBC Indonesia - Harga emas dunia terkoreksi pada perdagangan Kamis (30/7/2020) setelah mencapai rekor tertinggi sepanjang masa Selasa lalu. Harga emas menurun pada hari ini di saat semakin banyak negara yang resmi mengalami resesi.
Rekor tertinggi harga emas dunia sebelumnya US$ 1.920,3/troy ons dicapai pada 6 September 2011 akhirnya berhasil di pecahkan di awal pekan ini, nyaris satu dekade lamanya. Di hari Senin (27/7/2020) Harga emas dunia melesat menyentuh US$ 1.945,16/troy ons, rekor tertinggi baru saat itu, tetapi umurnya kurang dari 24 jam.
Selasa (28/7/2020) pagi harga emas emas dunia terbang tinggi menyentuh US$ 1.980,56/troy ons yang kini menjadi rekor tertinggi sepanjang masa. Kemarin emas sempat mendekati level tersebut, tetapi gagal mencetak rekor tertinggi lagi.
Sementara hari ini emas justru melemah. Pada pukul 16:06 WIB diperdagangkan di kisaran US$ 1.951,05/troy ons, melemah nyaris 1% di pasar spot, melansir data Refinitiv.
Berkaca dari September 2011 ketika mencapai rekor tertinggi, harga emas malah merosot tajam dalam hitungan hari setelahnya. Sehingga muncul pertanyaan apakah emas masih mampu untuk terus melesat mengangkasa, atau malah justru "kehabisan" bensin dan berbalik turun?
Resesi merupakan salah satu "bahan bakar" bagi emas untuk menguat. Kala perekonomian global sedang merosot, maka permintaan emas sebagai aset aman (safe haven) akan meningkat, harganya pun akan naik.
Jepang menjadi negara maju yang pertama kali mengalami resesi di tahun ini, penyebabnya pandemi penyakit virus corona (Covid-19) yang membuat roda bisnis diseluruh dunia melambat, di beberapa negara bahkan nyaris mati suri. Jepang yang mengandalkan ekspor sebagai roda penggerak bisnis akhirnya terpukul.
Pada kuartal l-2020 produk domestik bruto (PDB) Jepang dilaporkan minus 1,7% year-on-year (YoY), setelah minus 0,7% YoY pada kuartal IV 2019. Jepang menjadi negara maju pertama yang mengalami resesi di tahun ini.
Singapura menyusul Negeri Matahari Terbit, Pemerintah Singapura pada hari Selasa (14/7/2020) melaporkan perekonomian mengalami kontraksi di kuartal II-2020. Tidak tanggung-tanggung produk domestik bruto (PDB) pada kuartal II-2020 berkontraksi alias minus 41,2% quarter-to-quarter (QtQ) setelah minus 3,3% di kuartal I-2020. Kontraksi pada periode April-Juni tersebut lebih buruk dari konsensus di Trading Economic sebesar -37,4%.
Sementara secara tahunan, PDB minus 12,6% YoY, menjadi yang terburuk sepanjang sejarah Negeri Merlion. Di kuartal I-2020, PDB mengalami kontraksi tipis -0,3% YoY. Sehingga, Singapura sah mengalami resesi. Terakhir kali Singapura mengalami resesi pada tahun 2008 saat krisis finansial global.
Berikutnya, Korea Selatan yang mengalami resesi teknikal.
Untuk diketahui, suatu negara dikatakan mengalami resesi ketika PDB minus 2 kuartal beruntun secara YoY. Tetapi Jika PDB minus 2 kuartal secara QtQ dikatakan sebagai resesi teknikal.
Pemerintah Korea Selatan pekan lalu melaporkan data produk domestik bruto (PDB) kuartal II-2020 minus 3,3% quarter-to-quarter (QtQ). Kontraksi ekonomi tersebut menjadi yang terdalam dalam 22 tahun terakhir, tepatnya sejak kuartal I-2020 1998.
Pada kuartal sebelumnya, PDB Korea Selatan juga minus 1,3%.
Sementara jika dilihat secara tahunan, PDB Korea Selatan minus 2,9% YoY, menjadi kontraksi terdalam sejak kuartal IV-1998. Namun di kuartal I-2020, PDB negara dengan nilai perekonomian terbesar ke-4 di Asia ini masih tumbuh 1,4% YoY.
Masih dari Asia, hari ini giliran Hong Kong yang mengalami pertumbuhan minus. Masuk wilayah administratif China, PDB Hong Kong di kuartal II-2020 -9% YoY, sementara di kuartal sebelumnya -9,1% YoY.
Dari Asia beralih ke Eropa, Jerman juga mengalami nasib yang sama. PDB di kuartal II-2020 dilaporkan -11,7% YoY, sementara di kuartal sebelumnya -2,3 YoY. Motor penggerak ekonomi Eropa ini pun sah mengalami resesi.
Dari Benua Biru, "hantu" resesi akan mengentayangi Amerika Serikat yang malam ini akan melaporkan data PDB yang akan menjadi "pengesahan" resesi.
Di kuartal I-2020, perekonomian AS mengalami kontraksi 5%, sementara di kuartal II-2020, hasil polling Forex Factory menunjukkan PDB diprediksi berkontraksi 34,5%, benar-benar nyungsep. Sehingga hanya keajaiban yang luar biasa yang bisa membuat AS lepas dari resesi di kuartal II-2020 ini.
Dengan semakin banyaknya negara yang masuk ke jurang resesi, harga emas justru melemah pada hari ini. Penyebab pelemahan emas pada hari ini kemungkinan besar adalah aksi profit taking, maklum saja sepanjang bulan Juli hingga Rabu kemarin emas sudah melesat lebih dari 10%, sementara sejak awal tahun nyaris 30% jadi wajar investor tergiur mencairkan cuan.
Selain itu, investor juga sudah price in atau menakar terjadinya resesi di berbagai negara jauh-jauh hari sebelumnya. Saat virus corona menyebar ke berbagai negara dan kebijakan lockdown diterapkan, saat itu juga resesi sudah masuk dalam hitungan.
Tetapi, emas punya "bahan bakar" lainnya untuk menguat yakni kebijakan moneter ultra longgar dari bank sentral di seluruh dunia.
Bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) dini hari tadi mengumumkan kebijakan moneternya. Sesuai prediksi banyak analis, Ketua The Fed, Jerome Powell mempertahankan suku bunga acuan 0 - 0,25%, dan kebijakan pembelian aset (quantitative easing/QE) selama diperlukan guna membangkitkan perekonomian AS.
Powell saat mengumumkan kebijakan moneter dini hari tadi juga menyatakan terus meningkatnya kasus Covid-19 di AS membuat pemulihan ekonomi berjalan lambat.
Artinya, kebijakan suku bunga rendah dan QE akan ditahan cukup lama, mengingat perekonomian AS masih jauh dari kata bangkit. The Fed melihat perekonomian sudah mulai pulih, tetapi masih sangat jauh dari level sebelum virus corona menyerang dunia.
Semakin lama The Fed mempertahankan kebijakan suku bunga rendah serta QE, maka emas masih akan tetap memiliki "bahan bakar" untuk menguat. Bank sentral lainnya juga melakukan hal yang sama, tetapi The Fed yang menjadi patokan, karena kebijakannya yang mempengaruhi nilai tukar dolar AS.
Jika melihat belakangan ini, emas yang melesat hingga mencapai rekor tertinggi sebenarnya disebabkan oleh ambrolnya indeks dolar AS.
Emas dunia dibanderol dengan mata uang Paman Sam, kala nilainya melemah maka harga emas akan menjadi lebih murah bagi pemegang mata uang lainnya, permintaannya pun akan meningkat dan harganya melesat.
Indeks dolar pada hari ini juga bangkit setelah nyungsep ke level terendah sejak Juni 2018 Rabu kemarin. Hingga sore ini, indeks dolar menguat 0,12% ke 93,568.
Ibarat di atas langit masih ada langit, harga emas diramal masih akan terus mencetak rekor tertinggi sepanjang masa.
Barry Dawes, dari Martin Place Securities, memprediksi dalam 2 tahun ke depan harga emas disebut akan mencapai US$ 3.500/troy ons.
"Terlihat sangat signifikan seberapa cepat emas melewati US$ 1.923 yang merupakan rekor sebelumnya. Fakta lainnya, emas sangat mudah melewati level US$ 1.800" kata Dawes sebagaimana dilansir CNBC International.
"Yang ingin saya katakan, ini adalah pasar yang sangat, sangat kuat. Saya melihat emas akan mencapai US$ 3.500/troy ons dalam waktu 2 tahun ke depan" tambahnya.
Sementara itu, Garth Bregman dari BNP Paribas Wealth Management memprediksi harga emas akan berkonsolidasi terlebih dahulu di sekitar US$ 2.000/troy ons, sebelum kembali melesat.
"Kami tidak melihat katalis yang akan menghentikan penguatan harga emas dalam jangka pendek. Faktanya, faktor-faktor yang membuat emas melesat ke rekor tertinggi masih tetap ada," kata Bregman, sebagaimana dilansir CNBC International.
Analis lainnya, Jurge Kiener dari Swiss Asia Capital bahkan lebih bullish lagi, secara teknikal ia melihat ada peluang emas mencapai US$ 8.000/troy ons.
"Jika anda melihat secara teknikal, anda akan dapat mengambil gap dari level bottom ke top, sehingga target penguatan ke US$ 2.834/troy ons, dan itu merupakan target awal yang akan dicapai cukup cepat," kata Kiener.
Secara historis, Kiener melihat harga emas akan naik sebanyak 7 sampai 8 kali lipat dari level bottom.
"Jika anda melihat struktur bottom di US$ 1.050/troy ons, di kali tujuh, maka target harga emas selanjutnya US$ 8.000/troy ons," katanya.
Untuk diketahui, level bottom emas yang dimaksud tersebut terjadi pada Desember 2015.
Menurut Kiener yang membuat emas menjadi menarik adalah return yang dihasilkan emas lebih tinggi dalam 12 bulan ke depan ketimbang obligasi (Treasury) AS.
Yield Treasury AS saat ini berada di kisaran 0,5%, tentunya sangat rendah ketimbang kenaikan harga emas di tahun ini, dan potensi ke depannya, seandainya melesat lebih tinggi lagi ke US$ 3.500/troy ons misalnya.
Sejauh ini, ramalan terekstrem emas masih dipegang oleh Dan Olivier, pendiri Myrmikan Capital, yang memprediksi emas akan mencapai US$ 10.000/troy ons.
Ia melihat kebijakan QE The Fed menjadi pemicu harga emas terbang sangat tinggi.
"The Fed, seperti yang ada ketahui, melakukan aksi pembelian aset yang masif akibat situasi yang disebabkan virus corona, oleh karena itu harga ekuilibrium emas juga naik dengan sepadan, harga emas yang seimbang dengan balance sheet The Fed kini sangat tinggi," kata Olivier, sebagaimana dilansir Kitco, beberapa waktu lalu.
Nilai aset yang dibeli The Fed bisa dilihat dari Balance Sheet. Semakin banyak jumlah aset yang dibeli, maka Balance Sheet The Fed akan semakin besar.
Pada periode 2008-2014 saat The Fed melakukan QE untuk guna memacu perekonomian akibat krisis finansial, nilai Balance Sheet The Fed mencapai US$ 4,5 triliun.
Kini, kebijakan yang sama diterapkan oleh The Fed, sang ketua Jerome Powell bahkan mengatakan akan melakukan QE berapa pun nilainya selama diperlukan oleh perekonomian. Saat ini, Balance Sheet The Fed sudah mencapai US$ 7,14 triliun, dan kemungkinan masih akan terus meningkat.
"Perkiraan saya sudah berubah, saya sekarang melihat harga emas bisa ke US$ 10.000/troy ons," tambahnya.
Sayangnya, Olivier tidak menyebutkan dalam rentang waktu berada lama emas akan mencapai level US$ 10.000/troy ons.
TIM RISET CNBC INDONESIA