
Duh, Banyak Obligasi Gagal Bayar, Investor Harus Ngapain?

Jakarta, CNBC Indonesia - Pandemi Covid-19 menyebabkan banyak perusahaan kesulitan mengelola arus kas (cashflow) karena pendapatan yang berkurang drastis. Tekanan likuiditas ini juga menyebabkan meningkatnya risiko gagal bayar bagi emiten yang memiliki surat utang jatuh tempo.
Baru-baru ini, ada beberapa perusahaan yang menunda pembayaran obligasi jatuh tempo. Misalnya, emiten peritel ponsel dan voucher PT Tiphone Mobile Indonesia bk (TELE) bersama dengan empat anak usahanya resmi berada dalam keadaan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Sementara (PKPUS) setelah perusahaan mengalami gagal bayar atas utang baik utang obligasi maupun utang bank sindikasi.
Nilai total utang gagal bayar itu mencapai Rp 3,23 triliun untuk nilai pokok. Sementara itu nilai bunga untuk rupiah dari utang obligasi dan sindikasi mencapai Rp 72,16 miliar, ditambah dengan nilai bunga untuk mata uang dolar AS (US$ 1,68 juta) setara dengan Rp 23,56 miliar, maka nilai total bunga yakni Rp 95,72 miliar.
Berikutnya, ada emiten properti PT Modernland Realty Tbk (MDLN) juga menyampaikan penundaan pembayaran obligasi dengan nilai pokok Rp 150 miliar yang seharusnya jatuh tempo pada Selasa, 7 Juli 2020.
Analis Pasar Obligasi, Wahyu Trenggono berpendapat, dalam kondisi pandemi seperti sekarang ini, investor tidak hanya fokus pada rating (peringkat) dari perusahaan, melainkan melakukan analisis secara mandiri terkait kondisi perusahaan tersebut agar terhindar dari risiko-risiko yang mungkin muncul dari investasi obligasi.
"Analisis mandiri dapat dilakukan adalah memantau berita-berita seputar perusahaan, sektor industri, dan kaitkan dengan kondisi keuangan perusahaan dari laporan keuangannya," tutur Wahyu kepada CNBC Indonesia, Senin (13/7/2020).
"Bila semua masih mendukung perusahaan untuk dapat terus membayar bunga dan pokok bond, tetap dipegang saja bond-nya," ungkap mantan Direktur Indonesia Bond Pricing Agency ini.
Akan tetapi, jika ada sedikit sentimen mengarahkan memburuknya kondisi laporan keuangan, maka obligasi tersebut sebaiknya dilepas dan mengganti dengan penerbit obligasi lainnya yang lebih aman.
Secara terpisah, PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) menyatakan, potensi risiko gagal bayar di industri keuangan Tanah Air mengalami peningkatan akibat pandemi Covid-19.
Direktur Utama Pefindo, Salyadi Saputra menuturkan, risiko gagal bayar meningkat di hampir semua sektor. Hal ini sudah tergambar dari beberapa perusahaan BUMN yang rating-nya sudah dipangkas oleh Pefindo hingga semester pertama 2020.
"Risiko meningkat, hampir di semua sektor. Masalahnya mungkin yang sangat mengkhawatirkan, jangan sampai terjadi default besar-besaran," tutur Salyadi, dalam pemaparan secara virtual, Jumat (10/7/2020).
Direktur Pemeringkatan Pefindo, Hendro Utomo menyatakan, di masa pandemi seperti sekarang ini, penyaluran pembiayaan baru oleh perbankan maupun leasing mengalami penurunan yang cukup tajam.Tekanan likuiditas ini juga disebabkan penerimaan yang berkurang karena restrukturisasi kredit.
Namun, Pefindo memberikan catatan, risiko gagal bayar cenderung lebih rendah bagi perusahaan di sektor jasa keuangan yang tergabung dalam konglomerasi besar karena memiliki bantalan likuiditas yang cukup memadai.
"Walaupun mereka juga terdampak oleh kondisi pandemi ini, namun tidak sampai mengurangi kemampuan dalam membayar kewajiban jatuh tempo," ujarnya.
(tas/tas)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Rating Sejumlah Emiten Dipangkas, Sinyal Apakah Ini?