2 Jempol Buat Rupiah! Poundsterling Turun ke Bawah Rp 18.000

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
07 July 2020 16:30
FILE PHOTO: Wads of British Pound Sterling banknotes are stacked in piles at the Money Service Austria company's headquarters in Vienna, Austria, November 16, 2017. REUTERS/Leonhard Foeger/File Photo
Foto: Pound Sterling (REUTERS/Leonhard Foeger)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah perkasa pada perdagangan Selasa (7/7/2020), kurs poundsterling dibuat kembali turun ke bawah Rp 18.000/GBP. Lebih menggembirakan lagi, kinerja rupiah hari ini ditopang sentimen dalam negeri, sehingga peluang berlanjutnya penguatan rupiah terbuka lebar.

Berdasarkan data Refinitiv, pada pukul 15:40 WIB poundsterling melemah 0,36% ke Rp 17.969,76/GBP di pasar spot, melansir data Refinitiv. Tanda-tanda rupiah akan menguat melawan poundsterling sebenarnya sudah terlihat sejak kemarin. Di saat yang sama, poundsterling nyaris stagnan melawan dolar AS di kisaran US$  1,2485. Pergerakan poundsterling melawan dolar AS tersebut menunjukkan rupiah sedang perkasa pada hari ini. 

Poundsterling sempat menguat hingga ke Rp 18.218,33/GBP kemarin, yang merupakan level tertinggi sejak 2 Juni. Tetapi di akhir perdagangan malah melemah tipis.

Berbeda dengan melawan dolar Amerika Serikat (AS), perdagangan rupiah melawan poundsterling di pasar spot tidak ditutup pada pukul 15:00 WIB. Sehingga kemarin, poundsterling sempat merespon konferensi pers bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo terkait "burden sharing" penanggulangan pandemi penyakit virus corona (Covid-19).

Pemerintah sebelumnya mengajukan "burden sharing" dimana BI akan membeli obligasi pemerintah tanpa bunga alias zero coupon untuk keperluan public goods senilai 397,6 triliun. Kemudian ada lagi untuk non-public goods, BI akan menyerap obligasi pemerintah dengan yield sebesar suku bunga 7 Day Reserve Repo Rate dikurangi 1%.

Ada kecemasan di pasar jika, rencana "burden sharing" tersebut akhirnya terealisasi, inflasi di Indonesia akan mengalami kenaikan akibat semakin banyaknya jumlah uang yang beredar.

Ahli strategi mata uang di DailyFX, Margaret Yang, sebagaimana dikutip Reuters mengatakan saat bank sentral di negara berkembang membeli obligasi pemerintahnya dengan mata uang sendiri, maka akan menciptakan inflasi.

"Bank Sentral AS (The Fed) melakukan hal yang sama, tetapi situasinya berbeda karena dolar AS adalah mata uang dunia, jadi uang tidak hanya beredar di Amerika Serikat, tetapi juga keseluruh dunia," katanya.

Belum lagi BI diprediksi akan kembali memangkas suku bunga acuannya, sehingga yield yang dihasilkan dari berinvestasi di pasar obligasi misalnya akan lebih rendah lagi.

Saat mengumumkan pemangkasan suku bunga 25 basis poin (bps) menjadi 4,25% pertengahan Juni lalu, BI memang membuka peluang akan kembali memangkas 7 Day Reserve Repo Rate tersebut.

Akibatnya, real return yang dihasilkan dengan berinvestasi di Indonesia menjadi lebih semakin rendah, sehingga menjadi kurang menarik di tengah pandemi Covid-19 yang memberikan ketidakpastian ekonomi secara global.

Namun kemarin sore, Gubernur Perry mengatakan dampak inflasi yang ditimbulkan dari kebijakan tersebut tidak besar.

Perry Warjiyo juga menambahkan dengan kebijakan ini, pihaknya akan tetap menjaga dari kesehatan sisi moneter seperti inflasi dan nilai tukar rupiah. Selain itu, SBN yang dibeli dari pemerintah bisa dijual kembali untuk BI bisa menjalankan operasi moneternya.

Alhasil, kecemasan akan penurunan real return berinvestasi di Indonesia mulai mereda, dan rupiah kembali perkasa.

Selain itu, cadangan devisa Indonesia kembali mendekati rekor tertinggi sepanjang sejarah US$ 132 miliar yang dibukukan Januari 2018 lalu. Rupiah jadi semakin garang.

BI pagi tadi melaporkan cadangan devisa di bulan Juni sebesar US$ 131,7 miliar, naik US$ 1.2 miliar pada akhir Mei.

Kenaikan cadangan devisa tersebut tentunya membuat amunisi BI untuk menstabilkan rupiah jika mengalami gejolak menjadi lebih besar. Sehingga investor lebih nyaman mengalirkan modalnya ke dalam negeri.

Di sisi lain, pounsterling sebenarnya masih dihantui isu keluarnya Inggris dari Uni Eropa atau yang dikenal dengan Brexit.

Inggris saat ini dalam masa transisi hingga 31 Desember nanti untuk keluar dari Uni Eropa. Kedua belah pihak sedang melakukan negosiasi untuk hubungan dagang setelah masa transisi berakhir. Jika sampai 31 Desember nanti tidak ada kesepakatan, maka Inggris akan keluar dari pasar tunggal, artinya akan ada tarif ekspor-impor yang akan dikenakan.

Bila hal ini sampai terjadi, maka perekonomian Inggris terancam merosot lebih dalam. Apalagi saat ini pandemi penyakit akibat virus corona sudah membuat perekonomian global menuju jurang resesi.

Isu Brexit menjadi sangat penting bagi masa depan Inggris, karena akan berpengaruh untuk jangka panjang. Oleh karena itu, efeknya terhadap poundsterling lebih besar ketimbang pandemi Covid-19.

Sejauh ini belum ada tanda-tanda kedua belah pihak akan mencapai kesepakatan dagang, sehingga ke depannya poundsterling masih berpeluang melemah lagi melawan rupiah.

TIM RISET CNBC INDONESIA 


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ikut Terseret Minyak, Poundsterling Ambles ke Bawah Rp 19.000

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular