Menguat 2 Hari Beruntun, Rupiah Akhirnya Juara Asia Lagi

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
07 July 2020 15:47
mata uang rupiah dolar dollar Bank Mandiri
Foto: Ilustrasi Rupiah dan Dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakrta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah kembali menguat melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Selasa (7/7/2020), melanjutkan penguatan tipis awal pekan ini. Kali ini, penguatan rupiah lumayan besar, sekaligus membawanya menjadi juara Asia. Sentimen dari dalam negeri menjadi penopang penguatan Mata Uang Garuda hari ini.

Begitu perdagangan hari ini dibuka, rupiah langsung menguat 0,28% ke Rp 14.400/US$. Setelahnya apresiasi terus berlanjut hingga mencapai 0,71% di Rp 14.338/US$. Tetapi sayangnya, penguatan tersebut terpangkas, rupiah mengakhiri perdagangan di level Rp 14.400/US$ pada hari ini.

Penguatan tersebut cukup membawa rupiah menjadi mata uang terbaik di Asia. Sudah cukup lama status tersebut lepas dari rupiah. Kemarin, rupiah hanya mampu menguat tipis 0,07%, penguatan tersebut sekaligus memutus rentetan pelemahan 7 hari beruntun.

Mayoritas mata uang utama Asia berada di zona merah pada hari ini, selain rupiah hanya ringgit Malaysia yang menguat.

Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Asia hingga pukul 15:08 WIB.

Rupiah mendapat tenaga untuk menguat setelah kecemasan akan kenaikan inflasi di Indonesia mereda.

Sepanjang pekan lalu, rupiah tertekan akibat adanya ekspektasi inflasi akan meningkat, yang menyebabkan real return berinvestasi di Indonesia menjadi menurun.

Hal ini terjadi setelah Bank Indonesia (BI) pada hari Senin pekan lalu setuju "burden sharing" dengan pemerintah dalam rangka memerangi pandemi penyakit virus corona (Covid-19).

Pemerintah sebelumnya mengajukan "burden sharing" dimana BI akan membeli obligasi pemerintah tanpa bunga alias zero coupon untuk keperluan public goods senilai 397,56 triliun. Kemudian ada lagi untuk non-public goods, BI akan menyerap obligasi pemerintah dengan yield sebesar suku bunga 7 Day Reserve Repo Rate dikurangi 1%.

Ada kecemasan di pasar jika, rencana "burden sharing" tersebut akhirnya terealisasi, inflasi di Indonesia akan mengalami kenaikan akibat semakin banyaknya jumlah uang yang beredar.

Ahli strategi mata uang di DailyFX, Margaret Yang, sebagaimana dikutip Reuters mengatakan saat bank sentral di negara berkembang membeli obligasi pemerintahnya dengan mata uang sendiri, maka akan menciptakan inflasi.

"Bank Sentral AS (The Fed) melakukan hal yang sama, tetapi situasinya berbeda karena dolar AS adalah mata uang dunia, jadi uang tidak hanya beredar di Amerika Serikat, tetapi juga keseluruh dunia," katanya.

Belum lagi BI diprediksi akan kembali memangkas suku bunga acuannya, sehingga yield yang dihasilkan dari berinvestasi di pasar obligasi misalnya akan lebih rendah lagi.

Saat mengumumkan pemangkasan suku bunga 25 basis poin (bps) menjadi 4,25% pertengahan Juni lalu, BI memang membuka peluang akan kembali memangkas 7 Day Reserve Repo Rate tersebut.

Akibatnya, real return yang dihasilkan dengan berinvestasi di Indonesia menjadi lebih semakin rendah, sehingga menjadi kurang menarik di tengah pandemi Covid-19 yang memberikan ketidakpastian ekonomi secara global.

Namun kemarin sore, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Gubernur BI Perry Warjiyo mengadakan konferensi per bersama. Dalam kesempatan itu, Sri Mulyani menjelaskan untuk skema public goods yang sebesar Rp 397,6 triliun ini nantinya pemerintah menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN) yang dijual langsung ke BI melalui skema private placement dengan bunga bunga 0% atau ditanggung 100% oleh BI.

"Beban bunga bagi pemerintah untuk SBN khusus yang diterbitkan dengan private placement, untuk pemerintah 0%, untuk BI sebesar reverse repo ratenya atau ditanggung 100%," kata dia.

Gubernur Perry mengatakan dampak inflasi yang ditimbulkan dari kebijakan tersebut tidak besar.

Perry Warjiyo juga menambahkan dengan kebijakan ini, pihaknya akan tetap menjaga dari kesehatan sisi moneter seperti inflasi dan nilai tukar rupiah. Selain itu, SBN yang dibeli dari pemerintah bisa dijual kembali untuk BI bisa menjalankan operasi moneternya.

Alhasil, kecemasan akan penurunan real return berinvestasi di Indonesia mulai mereda, dan rupiah kembali perkasa.

Rupiah semakin menguat setelah rilis data cadangan devisa Indonesia yang mendekati rekor tertinggi sepanjang sejarah US$ 132 miliar yang dibukukan Januari 2018 lalu.

BI melaporkan cadangan devisa di bulan Juni sebesar US$ 131,7 miliar, naik US$ 1.2 miliar pada akhir Mei. Berdasarkan rilis BI, penerbitan surat utang pemerintah dalam mata uang dolar Amerika Serikat (AS) membantu mendongkrak cadangan devisa.

Pada bulan Maret lalu, cadangan devisa Indonesia tergerus US$ 9,4 miliar hingga posisi akhir Maret berada di US$ 121 miliar, yang merupakan level terendah sejak Mei 2019.

Setelah mencapai level tersebut, cadangan devisa Indonesia mencatat kenaikan 3 bulan beruntun. Posisi cadangan devisa di bulan Juni juga menyamai torehan bulan Januari lalu, dan jika dilihat dari posisi akhir Maret US$ 121 miliar berarti mengalami kenaikan lebih dari US$ 10 miliar dalam 3 bulan terakhir.

"Posisi cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 8,4 bulan impor atau 8,1 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor. Bank Indonesia menilai cadangan devisa tersebut mampu mendukung ketahanan sektor eksternal serta menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan," sebut keterangan tertulis BI, Selasa (7/7/2020).

"Peningkatan cadangan devisa pada Juni 2020 terutama dipengaruhi oleh penerbitan sukuk global pemerintah. Ke depan, Bank Indonesia memandang cadangan devisa tetap memadai, didukung oleh stabilitas dan prospek ekonomi yang terjaga, seiring dengan berbagai respons kebijakan dalam mendorong pemulihan ekonomi," sebut keterangan tertulis BI.

Kenaikan cadangan devisa tersebut tentunya membuat amunisi BI untuk menstabilkan rupiah jika mengalami gejolak menjadi lebih besar. Sehingga investor lebih nyaman mengalirkan modalnya ke dalam negeri.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular