
Rupiah Ngamuk! Kurs Dolar Australia Balik ke Bawah Rp 10.000

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah akhirnya menguat melawan dolar Australia pada perdagangan Selasa (7/7/2020) pagi, setelah melemah dalam 6 hari beruntun. Matam Uang Negeri Kanguru bahkan kembali ke bawah Rp 10.000/AU$ lagi.
Pada pukul 9:54 WIB, AU$ 1 setara Rp 9,983,30, dolar Australia melemah 0,85% di pasar spot, melansir data Refinitiv. Dalam 6 hari perdagangan sebelumnya, dolar Australia tercatat menguat 3,73%.
Rupiah akhirnya kembali mendapat tenaga untuk menguat setelah kecemasan akan kenaikan inflasi di Indonesia mereda. Sepanjang pekan lalu, rupiah mengalami tekanan akibat risiko kenaikan inflasi.
Hal ini terjadi setelah Bank Indonesia (BI) pada hari Senin pekan lalu setuju "burden sharing" dengan pemerintah dalam rangka memerangi pandemi penyakit virus corona (Covid-19).
Pemerintah sebelumnya mengajukan "burden sharing" dimana BI akan membeli obligasi pemerintah tanpa bunga alias zero coupon untuk keperluan public goods senilai 397,6 triliun. Kemudian ada lagi untuk non-public goods, BI akan menyerap obligasi pemerintah dengan yield sebesar suku bunga 7 Day Reserve Repo Rate dikurangi 1%.
Ada kecemasan di pasar jika, rencana "burden sharing" tersebut akhirnya terealisasi, inflasi di Indonesia akan mengalami kenaikan akibat semakin banyaknya jumlah uang yang beredar.
Ahli strategi mata uang di DailyFX, Margaret Yang, sebagaimana dikutip Reuters mengatakan saat bank sentral di negara berkembang membeli obligasi pemerintahnya dengan mata uang sendiri, maka akan menciptakan inflasi.
"Bank Sentral AS (The Fed) melakukan hal yang sama, tetapi situasinya berbeda karena dolar AS adalah mata uang dunia, jadi uang tidak hanya beredar di Amerika Serikat, tetapi juga ke seluruh dunia," katanya.
Ketika inflasi meningkat, maka daya tarik investasi di Indonesia menjadi menurun, sebab real return yang dihasilkan menjadi lebih rendah.
Belum lagi BI diprediksi akan kembali memangkas suku bunga acuannya, sehingga yield yang dihasilkan dari berinvestasi di pasar obligasi misalnya akan lebih rendah lagi.
Saat mengumumkan pemangkasan suku bunga 25 basis poin (bps) menjadi 4,25% pertengahan Juni lalu, BI memang membuka peluang akan kembali memangkas 7 Day Reserve Repo Rate tersebut.
Akibatnya, real return yang dihasilkan dengan berinvestasi di Indonesia menjadi lebih semakin rendah, sehingga menjadi kurang menarik di tengah pandemi Covid-19 yang memberikan ketidakpastian ekonomi secara global.
Kemarin sore, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Gubernur BI Perry Warjiyo mengadakanm konferensi per bersama. Dalam kesempatan itu, Sri Mulyani menjelaskan untuk skema public goods yang sebesar Rp 397,6 triliun ini nantinya pemerintah menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN) yang dijual langsung ke BI melalui skema private placement dengan bunga bunga 0% atau ditanggung 100% oleh BI.
"Beban bunga bagi pemerintah untuk SBN khusus yang diterbitkan dengan private placement, untuk pemerintah 0%, untuk BI sebesar reverse repo ratenya atau ditanggung 100%," kata dia.
Gubernur Perry mengatakan dampak inflasi yang ditimbulkan dari kebijakan tersebut tidak besar.
Perry Warjiyo juga menambahkan dengan kebijakan ini, pihaknya akan tetap menjaga dari kesehatan sisi moneter seperti inflasi dan nilai tukar rupiah. Selain itu, SBN yang dibeli dari pemerintah bisa dijual kembali untuk BI bisa menjalankan operasi moneternya.
Alhasil, kecemasan akan penurunan real return berinvestasi di Indonesia mulai mereda, dan rupiah kembali perkasa.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Sentuh Rp 16.500/US$, Rupiah Terus Terpuruk
