BUMN pertama yaitu, PT PLN (Persero). Perusahaan setrum milik pemerintah ini mencatat, piutang pemerintah sebesar Rp 48,46 triliun.
Rincian dari utang pemerintah kepada PLN terdiri dari, Rp 45,42 triliun kompensasi tarif yang belum dibayar ke PLN tahun 2018 dan 2019. Lalu masih ada tambahan sekitar Rp 3 triliun tambahan subsidi dari kebijakan diskon tarif tumah tangga.
"Besarnya piutang PLN dari pemerintah dari kompensasi tarif dengan total Rp 45, 42 triliun. Kompensasi 2018 Rp 23,17 triliun dan tahun 2019 Rp 22,25 triliun," ungkap Direktur Utama PLN, Zulkifli Zaini, dalam rapat dengar pendapat (RDP) di Komisi VI DPR RI, Kamis, (25/06/2020).
Lebih lanjut Zulkifli mengatakan, kompensasi tahun 2018 terdapat alokasi pembayaran Rp 7,17 triliun namun belum terbayar. Sementara untuk Pagu Dipa APBN tahun 2020 sebesar Rp 62,81 triliun yang mencakup subsidi rutin dan tambahan subsidi program stimulus rumah tangga kecil.
"Pencairan sampai dengan Juni Rp 15,66 triliun dan sisa pagu subsidi listrik Rp 39,1 triliun. Tagihan subsidi bulan Mei dan triwulan I-2020 sebesar Rp 4,8 triliun, realisasi diskon tarif sampai dengan Juni 2020 sebesar Rp 3,1 triliun masih dalam proses verifikasi dan pencairan," jelasnya.
Zulkifli menyebut, sejak tahun 2014 tarif adjusment dilakukan setiap bulannya dan disesuaikan dengan ICP, kurs, dan inflasi. Tahun 2017 tarif adjusment tidak dilakukna lagi atau tidak ada kenaikan tarif.
Saat ini, PLN mendapat penugasan diskon tarif listrik untuk meringankan beban masyarakat dampak dari pandemi corona (Covid-19). "Kebijakan ini diperpanjang sampai 6 bulan ke depan. Kemudian PT PLN melaporkan, diskon dan perrmohonan tambahan subsidi tersebut agar dibayar di tahun berjalan selanjutnya dilakukan proses revisi daftar isian DIPA dilanjutkan dengan proses penagian verifikasi dan pencairan subsidi listrik," jelasnya.
Dari total Rp 48,46 triliun, ia menyampaikan jika pemerintah sudah berencana bakal membayar utang kompensasi sebesar Rp 45,42 triliun pada bulan depan.
"Kalau kita bicara, oh ini uang Rp 45 triliun dibayar ke sini ke sini. Itu namanya berandai-andai. Jadi lebih baik kita sampaikan responsnya pada saat diterima kami akan cerita," ujarnya saat ditemui di ruang rapat Komisi VI DPR RI, Kamis (25/06/2020).
Zulkifli mengatakan, jika utang pemerintah sudah dibayarkan, akan sangat membantu operasional PLN saat ini sampai dengan akhir tahun. Karena ini adalah biaya yang sudah seharusnya dibayar di tahun-tahun lalu.
"Insya Allah bulan depan, insya Allah bulan Juli dan kita semua berharap bahwa nanti bulan Juli itu akan terima pembayaran dan pembayaran itu akan sangat membantu operasional PLN. 2018 itu cashflow 2018, 2019 itu juga demikian, ini sesuatu yang akan baik sekali untuk kondisi PLN di 2020 apabila bisa dibayar di bulan Juli," kata Zulkifli.
Selanjutnya, Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati menyebutkan negara masih memiliki utang kepada Pertamina senilai Rp 96,5 triliun. Ini merupakan kumpulan utang sejak 2017 lalu. Piutang Pertamina ke Negara ini merupakan subsidi yang ditanggung pemerintah terkait BBM.
"Surat dari Menteri Keuangan yang akan dibayarkan ke Pertamina tahun ini Rp 45 triliun. Sebetulnya utang pemerintah ke Pertamina itu adalah Rp 96,5 triliun," papar Nicke di Gedung DPR, Senin (29/6/2020).
Ia mengatakan utang tahun 2017 pemerintah ke Pertamina sebesar Rp 20,78 triliun. Kemudian di 2018 sebesar Rp 44,85 triliun. Adapun di 2019 sebesar Rp 30,86 triliun. "Sehingga totalnya Rp 96,50 triliun," paparnya.
Dengan adanya rencana pencairan piutang Pertamina Rp 45 triliun maka masih ada lagi Rp 51,50 triliun lagi. "Rencananya dibayarkan di tahun depan dan tahun depannya lagi," kata Nikce.
Adapun Nicke bercerita, piutang ini merupakan beban subsidi yang ditanggung pemerintah atas penjualan BBM seperti Solar. Solar, sambungnya memang ditanggung negara Rp 1.000 per liternya.
Tak hanya sektor energi, pemerintah juga menimbun utang di BUMN sektor lainnya. Total utang pemerintah ke PT Pupuk Indonesia mencapai Rp 17,1 triliun. Utang tersebut merupakan tanggung jawab subsidi yang seharusnya dibayarkan pemerintah.
"Posisi piutang subsidi pupuk bisa terlihat. Secara total adalah Rp 17,1 triliun. Jadi tagihan Pupuk Indonesia kepada pemerintah itu Rp 17,1 triliun," kata Direktur Utama PT Pupuk Indonesia Aas Asikin Idat dalam rapat kerja bersama Komisi VI DPR RI, Senin (29/6/20).
Ia merinci, tagihan tersebut berasal dari sejumlah perusahaan di bawah naungan Pupuk Indonesia. Rinciannya adalah PT Petrokimia Gresik (PKG) Rp 10,8 triliun, PT Pupuk Kalimantan Timur (PKT) Rp 1,8 triliun, PT Pupuk Sriwidjaja Palembang (PSP) Rp 2,1 triliun, PT Pupuk Kujang Cikampek (PKC) Rp 1,3 triliun, dan PT Pupuk Iskandar Muda Rp 1,05 triliun (PIM).
"Hanya yang 2020 ini sifatnya masih un-audited, karena masih tahun berjalan. Yang sudah diaudit BPK itu 2017-2019," bebernya.
Aas Asikin Idat mengaku, tunggakan yang belum terbayar ini berdampak pada pembengkakan pembiayaan yang harus ditanggung perusahaan pupuk. Pasalnya, pihaknya harus mencari pendanaan dari perbankan untuk menutup biaya operasional dan subsidi pupuk.
"Jadi karena uang ini tertahan di pemerintah untuk tagihan ini, agar perusahaan bisa berjalan kami pinjam dulu dalam bentuk modal kerja. Hanya saja ini berdampak, ini akan menyebabkan meningkatnya beban bunga perusahaan. Dari Rp 17 triliun, 10% saja Rp 1,7 triliun satu tahun itu. Yang pada akhirnya ini akan meningkatkan juga subsidi pupuk. Ini akan menjadi biaya lagi, menambah biaya," keluhnya.
Di sisi lain, pemerintah baru akan mencicil utang tersebut tak sampai separuhnya di tahun ini. Dia menyebut, pemerintah memutuskan membayar Rp 5,7 triliun di 2020.
"Jadi dari Rp 17,1 triliun ini baru akan dibayar Rp 5,7 triliun dan ini pun belum dibayar. Harapan kami Rp 17,1 triliun karena bunga kami sangat tinggi," paparnya.
Berikutnya, total utang pemerintah kepada Perum Bulog mencapai Rp 3,1 triliun. Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso (Buwas) menyebut, pada 2020 ini pemerintah baru membayar sebesar Rp 566 miliar atau sekitar 18%.
"Pencairan utang pemerintah, realisasi pembayaran utang pemerintah kurun waktu Januari sampai Juni 2020 sebesar Rp 566 miliar," kata Buwas dalam rapat kerja bersama Komisi VI DPR RI, Senin (29/6/20).
Dengan begitu, Buwas menjelaskan bahwa masih terdapat saldo utang pemerintah kepada Perum Bulog 2020 yang belum dibayarkan sampai Juni 2020 sebesar Rp 2,61 triliun.
Berikut rincian utang pemerintah kepada Perum Bulog:
- CSHP Gula Tahun 2018 sebesar Rp 566 miliar
- CHSP Gula tahun 2019 sebesar Rp 1,3 triliun
- Pengadaan Cadang Beras Pemerintah (CBP) untuk ketersediaan Pasokan dan Stabilisasi Harga (KPSH) kuartal IV-2019 Rp 369 miliar
- KPSH beras kuartal I-2020 Rp 837,84 miliar
- Bencana alam 2018 Rp 8,01 miliar
- Bencana alam 2019 Rp 39,01 miliar
Buwas menilai, pencairan utang ini amat penting bagi kinerja operasional Bulog. Karena itu, dia sebenarnya berharap total tagihan segera dicairkan.
"Mengingat pencairan utang pemerintah kepada Bulog sangat penting dan berdampak pada arus kas perusahaan kami sangat berharap agar pelunasan utang pemerintah kepada Perum Bulog dapat segara dilakukan," tandasnya.
Apalagi, tahun ini Bulog tak mendapatkan suntikan penyertaan modal negara (PMN). Selain itu, Bulog juga dipastikan tak mendapat kucuran dana talangan.
"Namun selanjutnya perum Bulog berencana mengajukan proposal PMN 2021. Ini pun melihat situasi keuangan negara," bebernya.
Dia menegaskan bahwa berdasarkan peraturan pemerintah nomor 70 tahun 2016, Perum Bulog seharusnya mendapat penambahan PMN Rp 2 triliun. Alokasi ditujukan sebagai pembangunan sarana produksi dan tempat penyimpanan.
"2020, telah dilakukan percepatan penyerapan dana PMN 2016 tersebut, dilakukan lelang kontraktor pelaksana Rp 1,6 triliun atau 80.16% dari total dana. Selain itu dilakukan penyertaan pendampingan kejaksaan dan BPK agar penyerapan dana PMN dapat memenuhi aspek dan tertib administrasi," urainya.
Adapun pemerintah juga punya utang ke PT KAI, di tengah pandemi Covid-19 yang membuat pendapatan PT KAI anjlok signifikan. Direktur Utama KAI Didiek Hartantyo memaparkan kondisi ini di sela rapat kerja bersama Komisi VI DPR RI.
"Jadi dalam kondisi normal kami tiap hari angkutan penumpang bisa mendapatkan sekitar Rp 23 miliar dalam satu hari. Sekarang ini hanya sekitar Rp 300-an juta atau Rp 400 juta," kata Didiek, Selasa (30/6/20).
Dia menjelaskan bahwa anjloknya pendapatan ini terjadi sejak pertengahan Maret 2020 seiring dengan diterapkannya pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di sejumlah daerah. Dalam kondisi demikian, dia mengaku KAI hanya bisa mengoperasikan kereta komuter dan lokal.
"Kami hanya mengoperasikan sangat minim daripada angkutan kereta api bahkan sekarang ini kalau kita lihat persentase kita itu hanya sekitar 7%," bebernya.
Di masa pelonggaran PSBB, sejumlah rute jarak jauh mulai dibuka. Namun, pembukaan rute jarak jauh ini tampaknya tak begitu disambut antusias para penumpang.
"Kita mencoba melakukan operasi kereta jarak jauh namun dengan syarat sesuai protokol Covid-19, penumpang itu harus rapid test, swab test, SIKM itu belum menimbulkan minat untuk bepergian," tandasnya.
Didiek pun berharap piutang di pemerintah bisa segera dibayar. Dalam kesempatan itu dia menyampaikan bahwa utang pemerintah yang belum dibayar mencapai Rp 257,87 miliar.
Utang tersebut merupakan kekurangan pembayaran pemerintah terhadap kewajiban pelayanan publik (PSO) atau subsidi tiket tahun 2015, 2016 dan 2019.
Dari Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK 2015, pemerintah kurang bayar sebesar Rp108,27 miliar. Adapun sesuai LHP BPK 2016, pemerintah kurang bayar sebesar Rp 2,22 miliar.
"Sementara untuk tahun 2019 yang dilakukan audit tahun 2020 berdasarkan LHP tanggal 30 April 2020 maka pemerintah dinyatakan kurang bayar sebesar Rp 147,38 miliar," urainya.
Selanjutnya, BUMN karya tak luput ikut menagih utang pemerintah. Padahal pemerintah dalam beberapa tahun terakhir begitu gencar membangun tol melalui PT Jasa Marga (Persero) Tbk (JSMR), salah satu perusahaan BUMN yang diberi mandat melaksanakan tugas tersebut. Jasa Marga rupanya masih punya tagihan kepada pemerintah untuk pembebasan lahan pembangunan jalan tol.
Direktur Utama Jasa Marga Subakti Syukur menjelaskan bahwa sejak 2016, Jasa Marga menalangi lebih dahulu uang ganti pembebasan lahan. Namun saat ini belum semua dibayarkan pemerintah.
"Jadi untuk pembebasan lahan di tahun 2016 sampai tahun 2020 itu pengeluaran dana dalam rupiah yang sudah dikeluarkan oleh Jasa Marga melalui dana talangannya sebesar Rp 27 triliun lebih, itu di tahun 2016 sampai tahun 2020. Kemudian yang sudah dibayarkan totalnya adalah Rp 22,2 triliun," kata Subakti Syukur dalam rapat kerja bersama Komisi VI DPR RI, Selasa (30/6/20).
Dengan begitu, masih ada angka Rp 5 triliun utang pemerintah yang belum dibayar, tepatnya Rp 5,03 triliun. Dia merinci, utang pemerintah yang belum dibayar dari tahun 2016 sebesar Rp 112,90 miliar.
Selanjutnya, untuk pembelian lahan 2017 mencapai Rp 489,37 miliar. Lalu sebesar Rp 595,867 miliar pada 2018, Rp 3,52 triliun untuk 2019, dan Rp 307,36 miliar untuk 2020.
Dalam kesempatan itu, Subakti juga mengemukakan sejumlah persoalan. Dia bilang bahwa alokasi anggaran penggantian dana talangan tanah seringkali cepat habis jika terjadi percepatan pembangunan.
"Jadi kadang-kadang kita diminta cepat membangun menyelesaikan jalan tol dan butuh waktu lama untuk persetujuan tambahan anggaran dari Kementerian Keuangan. Usulan kami adalah alokasi anggaran bandling seluruh proyek apabila ada kekurangan dapat segera ditambah tanpa menunggu persetujuan Menteri Keuangan," tandasnya.
Dia juga mengusulkan, pengalokasian anggaran yang memerlukan izin Menteri Keuangan hanya untuk plafond total pembebasan tanah seluruh jalan tol. Artinya persetujuan bukan diteken berdasarkan kebutuhan per proyek sehingga ada fleksibilitas penggunaan anggaran proyek.
"Sehingga apabila ada perubahan anggaran proyek mekanisme perizinannya cukup melalui satu pejabat level di bawah menteri terkait," urainya.