
Corona & Resesi, "Duet Maut" yang Mengancam Pasar Keuangan RI

Serangan virus corona gelombang kedua diperburuk oleh proyeksi pertumbuhan ekonomi terbaru dari Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF).
IMF dalam rilis terbarunya yang berjudul A Crisis Like No Other, An Uncertain Recovery kembali memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global.
"Pandemi Covid-19 memiliki dampak yang negatif pada paruh pertama 2020 daripada yang diperkirakan," tulis lembaga itu, dikutip CNBC Indonesia, Kamis (25/6/2020).
Di negara dengan tingkat penularan Covid-19 dengan tren menurun, pemulihan ekonomi masih akan lambat karena aturan social distancing yang diberlakukan, dan akan berpengaruh hingga semester II-2020.
Sementara di negara yang masih berjuang menghadapi pandemi, lockdown akan terjadi lebih lama, sehingga pemulihan ekonomi pun akan memerlukan waktu yang lebih lama.
Dalam rilis tersebut, IMF memprediksi perekonomian global di tahun ini akan berkontraksi atau minus 4,9% lebih dalam ketimbang proyeksi yang diberikan pada bulan April lalu minus 3%. Itu artinya, resesi perekonomian global di tahun ini bisa semakin dalam.
Nyaris semua negara, dari negara maju hingga negara berkembang diramal akan mengalami kontraksi ekonomi. Secara umum, perekonomian negara maju akan minus 8%.
Amerika Serikat (AS), negara dengan nilai ekonomi terbesar di dunia diprediksi mengalami kontraksi 8%, kemudian ekonomi zona euro -10,2%. Jepang, negara dengan nilai ekonomi terbesar ketiga di dunia diprediksi -5,8%.
Sementara itu, dari negara berkembang secara umum diramal minus 3%, tetapi perekonomian China diprediksi masih bisa tumbuh 1%.
Meski demikian, harapan datang dari China yang akan melaporkan aktivitas manufaktur bulan Juni. Jika data purchasing managers' index (PMI) manufaktur tersebut masih menunjukkan ekspansi (di atas 50) tentunya akan berdampak positif ke pasar finansial. Setelah China mengalami serangan virus corona gelombang kedua, PMI manufaktur yang masih berekspansi akan menjadi kabar yang sangat bagus.
PMI manufaktur China akan dirilis pada hari Selasa (30/6/2020).
Selain itu, AS akan merilis data tenaga kerja untuk bulan Juni pada Kamis (2/7/2020), juga bisa mengangkat sentimen pelaku jika menunjukkan perbaikan saat Negeri Paman Sam mengalami serangan virus corona gelombang kedua.
Data tenaga kerja terakhir yang dirilis dari AS menunjukkan kejutan yang cukup mencengangkan. Sepanjang bulan Mei, perekonomian AS mampu menyerap lebih dari 2,5 juta tenaga kerja, padahal prediksi pasar jumlah tenaga kerja yang dirumahkan dan/atau mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) sebanyak 7,75 juta.
Selain itu, tingkat pengangguran juga turun menjadi 13,3% dari bulan April 14,7%, sementara pasar memprediksi tingkat pengangguran akan mendekati 20%.
Kejutan data tenaga kerja AS tersebut menjadi salah satu pemicu penguatan bursa saham global.
Kali ini, polling Reuters menunjukkan perekonomian AS diprediksi menyerap 3.074 juta tenaga kerja, dengan tingkat pengangguran turun menjadi 12,3%.
Jika kejutan yang sama juga terjadi pada Kamis nanti, dalam arti data tenaga kerja AS lebih bagus dari prediksi, tentunya akan memberikan sentimen positif ke pasar global. Pasar keuangan dalam negeri juga berpeluang menguat pada perdagangan Jumat (3/7/2020).
TIM RISET CNBC INDONESIA
[Gambas:Video CNBC]