Mengenal Resesi, Apakah Akan Terjadi di Indonesia?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
28 June 2020 13:57
Pasar CSuasana Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Ibu Kota berdampak pada aktivitas di pasar Jaya salah satunya, di kawasan Pasar Cijantung, Jakarta Timur. 16/6/20, CNBC Indonesia/Tri Susilo

Pantauan CNBC Indonesia dilapangan pada Selasa (16/6/20) mencoba menelusuri seluruh isi pasar, tampak sepi  pembeli.  Salah satu pasar di kawasan Jakarta Timur itu sangat berbeda dibanding hari-hari biasanya yang padat dan ramai. Kali ini tampak sepi. Bahkan kendaraan yang terparkir sangat minim.  

Salah satu pedagang pakaian anak mengatakan, kondisi pasar mulai sepi saat terjadi virus corona. “Ini sangat berimbas pada pendapatan kami. Repot kalau begini terus,”ujarnya.

Menurutnya,  setelah lewat pukul 11.00 WIB, siang hari, sudah sangat kurang orang yang berbelanja di pasar. Dagangan pun tentu aja banyak yang tak laku. Karena itu ia berharap wabah COVID-19  ini bisa cepat selesai.

Yanto, pedagang daging ayam juga merasakan demikian. “ Jam 10 masih numpuk dagangan ini. kami sangat khawatir pak kalau begini terus.,”ujarnya sambal geleng geleng kepala.

Pedagang sayur pun demikian. Munawar seorang  tukang sayur mengatakan, untuk mendapatkan sayur juga sulit. “Kita dapat juga sulit. Jualnya juga sudah sepi pembeli. Aturan jaga jarak dan tidak berpergian ke pasar sangat berdampak. “Jadi kalau enggak laku ya udah jadi risiko,” ungkapnya.  

Penjagaan juga diperketat oleh anggota TNI dan securty pasar untuk, setiap pengunjung yang ingin masuk ke pasar akan dicek suhu dan cuci tangan. 

Untuk kepasar basah (pasar ikan) dipastikan pengunjung memakai masker, peraturan tersebut sudah pasang sebelum masuk pasar basar.

Sebelumnya Seorang pedagang di Pasar Obor Cijantung dinyatakan positif Covid-19 usai jalani rapid test dan swab test Covid-19 pada Jumat (29/5/2020) lalu.

Informasi itu berdasarkan data dari Perumda Pasar Jaya pada Kamis (11/6/2020).

Adapun rapid test dan swab test di Pasar Obor Cijantung pada 29 Mei 2020 lalu diikuti 75 peserta yang terdiri dari pengunjung dan pedagang pasar.

Hasilnya, empat orang reaktif Covid-19 berdasarkan hasil rapid test. Kemudian, dari empat orang itu, seorang pedagang dinyatakan positif Covid-19.

 (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)ijantung (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)
Foto: Pasar Cijantung (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Semenjak virus corona menyerang dunia ini, kata resesi sering kali disebut, dan membuat cemas semua orang. Resesi merupakan penurunan aktivitas ekonomi secara signifikan dan berlangsung setidaknya dalam dua kuartal beruntun.

Suatu negara dikatakan mengalami resesi jika produk domestic bruto (PDB) mengalami kontraksi atau minus dalam 2 kuartal beruntun secara tahunan atau year-on-year (YoY). Sementara jika PDB minus 2 kuartal beruntun secara kuartalan atau quarter-on-quarter (QoQ) disebut sebagai resesi teknikal.

Melansir The Balance, ada 5 indikator ekonomi yang dijadikan acuan suatu negara mengalami resesi, yakni PDB riil, pendapatan, tingkat pengangguran, manufaktur, dan penjualan ritel.

Resesi sebenarnya adalah hal yang biasa dan kerap terjadi dalam sebuah siklus perekonomian, tetapi dampak yang diberikan ketika terjadi resesi cukup buruk.

Negara sekelas Amerika Serikat (AS) saja sudah mengalami puluhan kali resesi. Melansir Investopedia, AS (negara dengan nilai ekonomi terbesar dimuka bumi ini) sudah mengalami 33 kali resesi sejak tahun 1854. Sementara jika dilihat sejak tahun 1980, Negeri Paman Sam mengalami 4 kali resesim termasuk yang terjadi saat krisis finansial global 2008.

Bagaimana dengan Indonesia?

Kali terakhir Tanah Air tercinta pernah mengalami resesi pada tahun 1998, bahkan sangat dalam, dan ada risiko akan terjadi lagi di tahun ini. Sebabnya, tentu saja pandemi penyakit virus corona (Covid-19) yang roda perekonomian melambat bahkan nyaris terhenti.

Tidak hanya resesi, bahkan saat itu Indonesia dikatakan mengalami depresi akibat PDB yang minus dalam 5 kuartal beruntun. Sepanjang 1998, PDB Indonesia mengalami kontraksi 13,02%.

Sementara di tahun ini, Indonesia berisiko mengalami resesi, tetapi kemungkinan tidak akan se-horor 1998. Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) dalam rilis terbarunya yang berjudul A Crisis Like No Other, An Uncertain Recovery memprediksi PDB Indonesia akan minus 0,3% di tahun ini.

Di kuartal I-2020, perekonomian Indonesia hanya tumbuh 2,97% YoY, turun jauh dari kuartal IV-2019 sebesar 4,97%. Di kuartal ini, perekonomian berisiko semakin nyungsep, sebabnya, penerapan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang mulai berlaku efektif di beberapa daerah. Sementara pada kuartal I lalu, kebijakan PSBB belum diterapkan.

Akibatnya, roda perekonomian di kuartal II mengalami pelambataan signifikan, sehingga pertumbuhan ekonomi terancam merosot.

Data pengangguran, aktivitas manufaktur, serta penjualan ritel Indonesia sudah mengirim sinyal potensi terjadinya resesi.

Pandemi Covid-19 membuat Pemutusan Hubungan Kerja terjadi dimana-mana. Per 12 Mei, total pekerja yang dirumahkan dan di-PHK sebanyak 1.727.913 orang.

Sektor manufaktur Indonesia juga merosot tajam, meski sedikit membaik di bulan Mei. Pada Selasa (2/6/2020), IHS Markit melaporkan Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur Indonesia periode Mei adalah 28,6. Naik dibandingkan April yang sebesar 27,5.

PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas, di bawah 50 berarti ekspansi sementara di atas 50 berarti ekspansi.

PMI Indonesia di bulan April merupakan yang terendah sepanjang pencatatan sejak April 2011.

Sementara itu penjualan ritel atau eceran juga nyungsep. Dalam rilis terbaru Survei Penjualan Eceran (SPE) Bank Indonesia, penjualan ritel bulan April 2020 tercatat minus 16,9% YoY. Ini merupakan kontraksi paling dalam sejak Desember 2008.

Hampir seluruh pos penjualan ritel mengalami kontraksi. Pos yang paling dalam kontraksinya adalah penjualan bahan bakar -39% YoY, barang budaya dan rekreasi sebesar -48,5% YoY dan barang lainnya seperti sandang sebesar -68,5% YoY.

Maklum saja, saat PSBB diterapkan masyarakat diminta untuk tetap di rumah, sehingga konsumsi pun menurun drastis.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut sepertinya ekonomi Indonesia akan -3,1%, dan ada kemungkinan hal yang sama terjadi di kuartal III-2020, sehingga Indonesia mengalami resesi. Sri Mulyani menyebutkan sebenarnya ekonomi Indonesia masih bisa tumbuh 1,4% pada kuartal III dan IV, dengan syarat belanja negara terserap dengan baik dan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) terus direlaksasi.

"Kalau tidak, maka (pertumbuhan ekonomi kuartal III-2020) bisa -1,6%. Itu technically resesi. Kalau kuartal III negatif, secara teknis Indonesia bisa masuk ke zona resesi," ungkap Sri Mulyani.

PSBB memang sudah dilonggarkan secara bertahap di bulan Juni di DKI Jakarta, Jawa Barat dan Surabaya Raya bahkan sudah menghentikan PSBB.

Dengan demikian, aktivitas bisnis kembali bergulir meski dengan protokol kesehatan yang ketat atau yang disebut new normal, roda perekomomian kembali berputar. Tetapi belum diketahui secepat apa perekomomian akan berputar dalam kondisi new normal.

Ada harapan perekonomian bisa bangkit kembali, meski ancaman resesi semakin nyata. Tetapi sekali lagi, meski terjadi resesi kemungkinan tidak akan separah 1998.


TIM RISET CNBC INDONESIA


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Sri Mulyani: Ekonomi Indonesia 2023 Akan Melambat

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular