
Corona & Resesi, "Duet Maut" yang Mengancam Pasar Keuangan RI

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia masuk ke zona merah di pekan ini. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan rupiah masing-masing melemah 0,77% dan 0,71%. Sementara di pasar obligasi, yield Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun naik 0,9 basis poin ke 7,194%.
Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun.
Serangan virus corona gelombang kedua dan risiko terjadinya resesi yang semakin dalam membuat aset-aset dalam negeri melemah. "Duet Maut" tersebut masih akan menjadi ancaman bagi pasar keuangan Indonesia pada pekan depan.
Tekanan bisa langsung muncul di awal pekan. Penyebabnya adalah bursa saham AS (Wall Street) anjlok tajam pada perdagangan Jumat (26/6/2020). Indeks Dow Jones ambrol 2,8%, S&P 500 -2,4%, dan Nasdaq -2,6%, penyebabnya tentu saja lonjakan kasus pandemi penyakit Covid-19 di AS.
Sebagai kiblat bursa saham dunia, anjloknya Wall Street akan mengirim hawa negatif ke pasar Asia pada perdagangan Senin (29/6/2020). Apalagi, sepanjang akhir pekan ini tidak ada kabar bagus yang mampu mengangkat sentimen pelaku pasar.
Serangan virus corona gelombang kedua muncul diberbagai belahan dunia, mulai dari Asia, Eropa, hingga ke Amerika Serikat.
Ibu kota China, Beijing, menjadi perhatian dalam beberapa pekan terakhir akibat peningkatan kasus Covid-19. Korea Selatan juga mengalami hal yang sama, tetapi sebelum semakin meluas berhasil diredam kembali.
Australia juga mengalami hal serupa, khususnya di negara bagian Victoria. Dampaknya Pemerintah Negara Bagian Victoria memperpanjang masa tanggap darurat sampai 19 Juli. Satu rumah tangga maksimal hanya boleh menampung lima orang dan pertemuan di luar ruangan dibatasi paling banyak 10 orang. Padahal sebelumnya pemerintah telah memberi kelonggaran dengan memperbolehkan 20 orang berkumpul di luar ruangan.
Beralih ke Eropa, Jerman kembali menerapkan kebijakan karantina (lockdown) di wilayah Guetersloh dan Warendorf di Jerman barat. Lockdown akan dilakukan setidaknya hingga 30 Juni.
Yang paling menjadi sorotan adalah Amerika Serikat. Negeri Paman Sam sepanjang pekan ini beberapa kali melaporkan rekor penambahan kasus harian tertinggi.
Berdasarkan data Worldometer, per Jumat (26/6/2020) lalu, kasus baru Covid-19 bertambah sebanyak 40.685 kasus, sehingga total kasus di Negeri Paman Sam nyaris 2,6 juta orang.
Akibatnya, negara bagian Texas dan Florida yang mencatat kasus terbanyak harus menghentikan pelonggaran lockdown.
Serangan Covid-19 gelombang kedua tersebut tentunya dapat memperburuk laju pemulihan ekonomi global saat ini, sehingga pelaku pasar akan berhati-hati mengalirkan modalnya ke negara emerging market seperti Indonesia.
Serangan virus corona gelombang kedua diperburuk oleh proyeksi pertumbuhan ekonomi terbaru dari Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF).
IMF dalam rilis terbarunya yang berjudul A Crisis Like No Other, An Uncertain Recovery kembali memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global.
"Pandemi Covid-19 memiliki dampak yang negatif pada paruh pertama 2020 daripada yang diperkirakan," tulis lembaga itu, dikutip CNBC Indonesia, Kamis (25/6/2020).
Di negara dengan tingkat penularan Covid-19 dengan tren menurun, pemulihan ekonomi masih akan lambat karena aturan social distancing yang diberlakukan, dan akan berpengaruh hingga semester II-2020.
Sementara di negara yang masih berjuang menghadapi pandemi, lockdown akan terjadi lebih lama, sehingga pemulihan ekonomi pun akan memerlukan waktu yang lebih lama.
Dalam rilis tersebut, IMF memprediksi perekonomian global di tahun ini akan berkontraksi atau minus 4,9% lebih dalam ketimbang proyeksi yang diberikan pada bulan April lalu minus 3%. Itu artinya, resesi perekonomian global di tahun ini bisa semakin dalam.
Nyaris semua negara, dari negara maju hingga negara berkembang diramal akan mengalami kontraksi ekonomi. Secara umum, perekonomian negara maju akan minus 8%.
Amerika Serikat (AS), negara dengan nilai ekonomi terbesar di dunia diprediksi mengalami kontraksi 8%, kemudian ekonomi zona euro -10,2%. Jepang, negara dengan nilai ekonomi terbesar ketiga di dunia diprediksi -5,8%.
Sementara itu, dari negara berkembang secara umum diramal minus 3%, tetapi perekonomian China diprediksi masih bisa tumbuh 1%.
Meski demikian, harapan datang dari China yang akan melaporkan aktivitas manufaktur bulan Juni. Jika data purchasing managers' index (PMI) manufaktur tersebut masih menunjukkan ekspansi (di atas 50) tentunya akan berdampak positif ke pasar finansial. Setelah China mengalami serangan virus corona gelombang kedua, PMI manufaktur yang masih berekspansi akan menjadi kabar yang sangat bagus.
PMI manufaktur China akan dirilis pada hari Selasa (30/6/2020).
Selain itu, AS akan merilis data tenaga kerja untuk bulan Juni pada Kamis (2/7/2020), juga bisa mengangkat sentimen pelaku jika menunjukkan perbaikan saat Negeri Paman Sam mengalami serangan virus corona gelombang kedua.
Data tenaga kerja terakhir yang dirilis dari AS menunjukkan kejutan yang cukup mencengangkan. Sepanjang bulan Mei, perekonomian AS mampu menyerap lebih dari 2,5 juta tenaga kerja, padahal prediksi pasar jumlah tenaga kerja yang dirumahkan dan/atau mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) sebanyak 7,75 juta.
Selain itu, tingkat pengangguran juga turun menjadi 13,3% dari bulan April 14,7%, sementara pasar memprediksi tingkat pengangguran akan mendekati 20%.
Kejutan data tenaga kerja AS tersebut menjadi salah satu pemicu penguatan bursa saham global.
Kali ini, polling Reuters menunjukkan perekonomian AS diprediksi menyerap 3.074 juta tenaga kerja, dengan tingkat pengangguran turun menjadi 12,3%.
Jika kejutan yang sama juga terjadi pada Kamis nanti, dalam arti data tenaga kerja AS lebih bagus dari prediksi, tentunya akan memberikan sentimen positif ke pasar global. Pasar keuangan dalam negeri juga berpeluang menguat pada perdagangan Jumat (3/7/2020).
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Bos IMF: Dunia Sekarang Dalam Resesi