
Perekonomian RI Diramal Minus, Ada Peluang Lepas dari Resesi?

Jakarta, CNBC Indonesia - Virus corona telah memukul dunia di berbagai lini. Perekonomian global dibawa menuju jurang resesi, tidak ada negara yang lepas dari kemerosotan ekonomi. Berdasarkan data Worldometer, pandemi Covid-19 menyerang lebih dari 200 negara/wilayah, menjangkiti lebih dari 10 juta orang, dengan 500 ribu lebih meninggal dunia.
Guna menghentikan penyebaran virus corona baru penyebab Covid-19, banyak negara menerapkan kebijakan karantina wilayah (lockdown). Kebijakan tersebut sukses meredam penyebaran virus yang berasal dari kota Wuhan, China tersebut, tetapi konsekuensinya perekonomian mengalami kemerosotan.
Saat lockdown, roda perekonomian melambat signifikan bahkan nyaris terhenti. Maklum saja, masyarakat diminta untuk tinggal di rumah, mengurangi aktivitas di luar. Akibatnya resesi pun mengancam dunia.
Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) di bulan ini kembali menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global.
Dalam rilis terbarunya yang berjudul A Crisis Like No Other, An Uncertain Recovery, IMF memprediksi perekonomian global di tahun ini akan berkontraksi atau minus 4,9% lebih dalam ketimbang proyeksi yang diberikan pada bulan April lalu minus 3%.
Proyeksi dari IMF tersebut masih lebih baik dari Bank Dunia (World Bank). Dalam rilis Global Economic Prospects. Bank Dunia memprediksi pertumbuhan ekonomi global tahun ini -5,2%, yang akan menjadi resesi terdalam dalam delapan dekade terakhir.
Tidak sampai di sana, Bank Dunia memprediksi kontraksi ekonomi bisa lebih buruk lagi, mengingat tingginya ketidakpastian kapan pandemi Covid-19 dapat dihentikan.
Semakin lama virus corona "menyerang" maka membutuhkan waktu lama untuk memutar kembali roda perekonomian. Dengan kondisi seperti itu, Bank Dunia memprediksi perekonomian global akan tumbuh -8% di 2020.
Indonesia juga tak lepas dari Covid-19. Hingga hari ini, jumlah kasus konfirmasi positif dilaporkan sebanyak 54.010 orang, dengan 2.754 orang meninggal dunia, dan 22.936 sembuh. Indonesia tidak menerapkan kebijakan lockdown tetapi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Tetapi dampak ekonomi yang diberikan jauh lebih besar. Di kuartal I-2020, perekonomian Indonesia hanya tumbuh 2,97% year-on-year (YoY), turun jauh dari kuartal IV-2019 sebesar 4,97%.
Khusus untuk Indonesia, IMF memprediksi pertumbuhan ekonomi tahun ini -0,3%, sementara Bank Dunia meramal produk domestic bruto (PDB) tersebut akan stagnan 0%.
Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memproyeksikan PDB Indonesia di tahun 2020 sebesar minus 0,14% sampai positif 1%. Bahkan, Sri Mulyani memproyeksikan Indonesia bisa saja mengalami resesi di kuartal III-2020.
Di kuartal II-2020, Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini menyebut sepertinya ekonomi Indonesia akan minus 3,1%, dan ada kemungkinan hal yang sama terjadi di kuartal III-2020.
Ia juga mengungkapkan jika PSBB telah direlaksasi namun publik tidak berbelanja maka Indonesia bisa jatuh ke jurang resesi. Sebab di kuartal III-2020 ekonomi Indonesia bisa minus 1,6%. PSBB memang sudah dilonggarkan secara bertahap di bulan Juni di DKI Jakarta, Jawa Barat dan Surabaya Raya bahkan sudah menghentikan PSBB.
Dalam proyeksi Kemenkeu, dengan adanya biaya penanganan Covid-19 yang mulai tersalurkan dan PSBB yang direlaksasi namun dengan dukungan belanja maka kuartal III dan IV PDB bisa tumbuh 1,4%.
"Tapi kalau dalam [dengan asumsi tidak berbelanja] bisa -1,6%. Itu technically bisa resesi. Kalau kuartal III negatif dan secara teknis Indonesia bisa masuk ke zona resesi," papar Sri Mulyani dalam perbincangannya dengan Komisi XI DPR RI, Senin (22/6/2020).
Melansir The Balance, ada lima indikator ekonomi yang dijadikan acuan suatu negara mengalami resesi, yakni GDP riil, pendapatan, tingkat pengangguran, manufaktur, dan penjualan ritel.
Tiga indikator terakhir sudah menunjukkan Indonesia terancam mengalami resesi.
Pandemi Covid-19 membuat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terjadi dimana-mana. Per 12 Mei, total pekerja yang dirumahkan dan di-PHK sebanyak 1.727.913 orang.
Sektor manufaktur Indonesia juga merosot tajam, meski sedikit membaik di bulan Mei. Pada Selasa (2/6/2020), IHS Markit melaporkan Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur Indonesia periode Mei adalah 28,6. Naik dibandingkan April yang sebesar 27,5. PMI Indonesia di bulan April merupakan yang terendah sepanjang pencatatan sejak April 2011.
PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas. Jika nilainya di bawah 50 berarti ekspansi, sementara di atas 50 berarti ekspansi.
Sementara itu penjualan ritel atau eceran juga nyungsep. Dalam rilis terbaru Survei Penjualan Eceran (SPE) Bank Indonesia, penjualan ritel bulan April 2020 tercatat minus 16,9% YoY. Ini merupakan kontraksi paling dalam sejak Desember 2008.
Hampir seluruh pos penjualan ritel mengalami kontraksi. Pos yang paling dalam kontraksinya adalah penjualan bahan bakar -39% YoY, barang budaya dan rekreasi sebesar -48,5% YoY dan barang lainnya seperti sandang sebesar -68,5% YoY.
Maklum saja, saat PSBB diterapkan masyarakat diminta untuk tetap di rumah, sehingga konsumsi pun menurun drastis.