Newsletter

Neraca Dagang Diramal Surplus, Akankah Happy Monday Hari Ini?

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
15 June 2020 06:13
Defisit Neraca Perdagangan Indonesia 2018

Jakarta, CNBC IndonesiaIndeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada perdagangan akhir pekan Jumat (12/6/20) ditutup di zona hijau di menit terakhir perdagangan, dengan naik 0,53% ke 4.880,35 setelah sempat drop hampir 3% pada sesi 1. Hari ini, data perdagangan bakal dicermati, karena berpeluang memberikan alasan untuk koreksi lanjutan.

Meski berhasil menguat pada Jumat, IHSG secara mingguan masih tertekan 1,36% jika dibandingkan dengan posisi akhir pekan lalu di level 4.947,78. Di sisi lain, pasar obligasi juga tertekan yang terlihat dari kenaikan imbal hasil (yield) obligasi bertenor 10 tahun yang menjadi acuan (benchmark) di pasar.

Imbal hasil surat utang seri FR0082 tersebut naik 1,84 persen poin menjadi 7,2%. Imbal hasil bergerak berkebalikan dari harga obligasi, sehingga kenaikan imbal hasil tersebut mengindikasikan koreksi harga.

Koreksi sepekan kemarin terjadi setelah pemodal asing keluar dari pasar, menyusul kekhawatiran penyebaran infeksi Covid-19 di tengah pelonggaran karantina wilayah (lockdown) di Amerika Serikat (AS) dan Indonesia.

Kasus corona baru di AS meningkat menjadi 20.248 kasus per hari (pada Kamis) dari sebelumnya 17.376. Secara total, jumlah pengidap virus corona mencapai 2 juta orang di AS dengan 116.000 korban jiwa. Indonesia melaporkan rekor tambahan kasus baru sebanyak 1.042 kasus pada Selasa (9/6/2020) dan sebanyak 1.241 kasus pada Rabu (10/6/2020).

Dengan naiknya kasus harian ini, pasar memikirkan ulang peluang pemulihan ekonomi secara cepat, apalagi setelah The Fed memprediksi ekonomi 2020 agak suram dengan kontraksi -6,5%. Kekhawatiran itu memicu mereka mengurangi penempatan dana di aset berisiko di negara berkembang, sehingga berujung pada aksi jual di bursa saham nasional.

Berdasarkan data RTI, sepanjang pekan ini investor asing mencatatkan jual bersih (net sell) sebesar Rp 1,74 triliun atau berbalik dari posisi beli bersih (net buy) pekan lalu sebesar Rp 3,45 triliun. Nilai transaksi selama sepekan ini menyentuh Rp 55,9 triliun.

Di tengah situasi demikian, Mata Uang Garuda menghadapi kenyataan harus terkoreksi sebesar 1,55% secara mingguan ke level Rp 14.065 per dolar AS.

Wall Street berakhir menguat pada penutupan Jumat (12/6/2020), setelah sehari sebelumnya merah membara akibat meningkatnya kasus Covid-19 di sejumlah negara dan proyeksi suram ekonomi Amerika Serikat (AS).

Dow Jones Industrial Average berakhir dengan penguatan 475 poin atau naik 1,9% ke 25.605,54. Sementara itu, S&P 500 naik 1,3% ke 3.041,31 sedangkan Nasdaq naik 1% ke 9.588.81.

Penguatan terjadi terutama di sejam terakhir perdagangan. Meski demikian, secara mingguan indeks acuan bursa AS tersebut terhitung masih di zona merah. Indeks S&P kehilangan 5% selama sepekan.

Koreksi terbesar terjadi pada Kamis yang merupakan koreksi terburuk sejak 16 Maret 2020 tatkala pasar saham terjun akibat pengumuman lockdown guna mengendalikan Covid-19.

"Dengan koreksi pasar baru-baru ini, kita lagi-lagi lebih nyaman dengan mengambil pandangan positif - karena posisi di bursa saham tidak naik secara signifikan dan risiko China terlihat mulai menurun," tutur Perencana Derivatif & Kuantitatif Global JPMorgan Marko Kolanovic, dalam laporan risetnya sebagaimana dikutip CNBC International.

Pasar kembali bergairah setelah Menteri Keuangan Steven Mnuchin dalam wawancara dengan CNBC International menegaskan bahwa pihaknya tak bisa kembali membekukan aktivitas perekonomian, sehingga pasar berekspektasi bahwa ekonomi bakal terus bergulir meski dibayangi pandemi.

Saham maskapai penerbangan jadi salah satu yang paling fluktuatif karena melonjak pada Jumat setelah terkoreksi besar pada Kamis. Saham American Airlines, United Airlines dan Delta Air Lines melonjak lebih dari 10%. Perusahaan teknologi Adobe juga naik 4,8% karena melaporkan laba tinggi pada kuartal kedua ini.

Badan Pusat Statistik (BPS) dijadwalkan merilis data perdagangan internasional periode Mei pada 15 Juni. Indonesia diperkirakan membukukan surplus perdagangan pada Mei 2020. Impor yang anjlok lebih dalam ketimbang impor membuat neraca perdagangan mampu positif.

Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekspor bakal minus 19,01%, sedangkan impor turun lebih dalam yaitu -24,55%. Dus, neraca perdagangan diproyeksi surplus US$ 405,85 juta.

Surplus perdagangan biasanya merupakan hal yang positif, karena menunjukkan devisa yang mengalir keluar untuk mengimpor terhitung lebih rendah dari devisa hasil ekspor pada periode yang sama. Namun untuk kasus Indonesia, surplus di tengah koreksi impor merupakan kabar yang negatif, karena mengindikasikan lesunya aktivitas bisnis di dalam negeri.

Harap diingat, bahan baku/penolong porsinya mencapai 75% dari total keseluruhan barang impor. Barang modal berada di posisi kedua dengan porsi 16%, disusul barang kosumsi sekitar 9%.

Penurunan impor bahan baku/penolong menekan pertumbuhan industri dan perdagangan, sementara penurunan impor barang modal menekan komponen Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) dalam pertumbuhan ekonomi dari sisi pengeluaran.

Jika polling tersebut terkonfirmasi, maka akivitas perdagangan nasional merosot dengan laju lebih tajam ketimbang April, ketika ekspor terkontraksi 7,02% dan impor anjlok 18,58%. Artinya, kita melihat separah apa virus corona (strain terbaru) ini menginfeksi aktivitas ekonomi nasional.

Pandemi Covid-19 memang memicu terhentinya aktivitas pabrik sebagai konsekuensi dari penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Ketika permintaan bahan baku dan barang modal berkurang drastis sehingga mempengaruhi impor keseluruhan.

Dari Wall Street, arah pasar saat ini cenderung negatif karena mayoritas saham konstituen Indeks S&P 500 dinilai sudah jenuh beli (overbought) sehingga berpeluang memicu aksi koreksi.

Sam Stovall, Kepala Perencana Investasi CFRA menyebutkan bahwa 97% saham emiten di indeks S&P 500 kini sudah di atas rerata pergerakan 50-harinya (Moving Average/MA-50) sepekan lalu.

Dalam analisis teknikal, MA-50 dianggap sebagai indikator momentum. Saham-saham dari sebuah indeks dinilai menarik jika sudah naik di atas itu. Namun jika semuanya sudah naik, maka justru menjadi peringatan akan terjadi pembalikan tren.

"Secara historis, itu terlalu tinggi.. dan rasio harga terhadap laba bersih per saham (Price to earning/PE Ratio) indeks S&P sudah 25,1 kali untuk laba bersih 12 bukan ke depan, yang berarti 52% di atas rerata PE sejak 2000," tuturnya, sebagaimana dikutip CNBC International.

Rasio PE adalah alat penting dalam menilai valuasi saham. Level PE yang normal di AS rata-rata adalah 16,5 kali.

Dengan kombinasi sentimen tersebut, saham-saham sektor perdagangan, manufaktur, dan keuangan berpeluang menjadi pemberat utama pada perdagangan di hari pertama pekan ini jika memang impor anjlok parah.

Demikian juga sebaliknya yakni menjadi penggerak utama IHSG, jika data ekspor-impor nasional justru menunjukkan sinyal (sekecil apapun) bahwa aktivitas bisnis masih bertahan, dan bahkan bergulir meski dicekam pandemi Corona.

Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:

  • Produksi industri China per Mei (02:00 WIB)
  • Penjualan ritel China per Mei (02:00 WIB)
  • Indeks Keyakinan Bisnis RI Q1-2020 (04:00 WIB)
  • Rilis neraca dagang RI per Mei (04:00 WIB)
  • RUPST PT Protech Mitra Perkasa Tbk (08:30)
  • Rilis neraca dagang Uni Eropa per April (09:00 WIB)
  • RUPST PT Buana Lintas Lautan Tbk (10:00)
  • RUPST PT Fuji Finance Indonesia Tbk (11:00)
  • Rilis neraca dagang India per Mei (13:00 WIB)
  • RUPST PT Trisula International Tbk (13:30)

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan ekonomi (Kuartal I-2020 YoY)

2,97%

Inflasi (Mei 2020 YoY)

2,19%

BI 7 Day Reverse Repo Rate (Mei 2020)

4,5%

Defisit anggaran (APBN 2020)

-5,07% PDB

Transaksi berjalan (1Q20)

-1,4% PDB

Cadangan devisa (April 2020)

US$ 127,88 miliar

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular