
Neraca Dagang Diramal Surplus, Akankah Happy Monday Hari Ini?

Badan Pusat Statistik (BPS) dijadwalkan merilis data perdagangan internasional periode Mei pada 15 Juni. Indonesia diperkirakan membukukan surplus perdagangan pada Mei 2020. Impor yang anjlok lebih dalam ketimbang impor membuat neraca perdagangan mampu positif.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekspor bakal minus 19,01%, sedangkan impor turun lebih dalam yaitu -24,55%. Dus, neraca perdagangan diproyeksi surplus US$ 405,85 juta.
Surplus perdagangan biasanya merupakan hal yang positif, karena menunjukkan devisa yang mengalir keluar untuk mengimpor terhitung lebih rendah dari devisa hasil ekspor pada periode yang sama. Namun untuk kasus Indonesia, surplus di tengah koreksi impor merupakan kabar yang negatif, karena mengindikasikan lesunya aktivitas bisnis di dalam negeri.
Harap diingat, bahan baku/penolong porsinya mencapai 75% dari total keseluruhan barang impor. Barang modal berada di posisi kedua dengan porsi 16%, disusul barang kosumsi sekitar 9%.
Penurunan impor bahan baku/penolong menekan pertumbuhan industri dan perdagangan, sementara penurunan impor barang modal menekan komponen Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) dalam pertumbuhan ekonomi dari sisi pengeluaran.
Jika polling tersebut terkonfirmasi, maka akivitas perdagangan nasional merosot dengan laju lebih tajam ketimbang April, ketika ekspor terkontraksi 7,02% dan impor anjlok 18,58%. Artinya, kita melihat separah apa virus corona (strain terbaru) ini menginfeksi aktivitas ekonomi nasional.
Pandemi Covid-19 memang memicu terhentinya aktivitas pabrik sebagai konsekuensi dari penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Ketika permintaan bahan baku dan barang modal berkurang drastis sehingga mempengaruhi impor keseluruhan.
Dari Wall Street, arah pasar saat ini cenderung negatif karena mayoritas saham konstituen Indeks S&P 500 dinilai sudah jenuh beli (overbought) sehingga berpeluang memicu aksi koreksi.
Sam Stovall, Kepala Perencana Investasi CFRA menyebutkan bahwa 97% saham emiten di indeks S&P 500 kini sudah di atas rerata pergerakan 50-harinya (Moving Average/MA-50) sepekan lalu.
Dalam analisis teknikal, MA-50 dianggap sebagai indikator momentum. Saham-saham dari sebuah indeks dinilai menarik jika sudah naik di atas itu. Namun jika semuanya sudah naik, maka justru menjadi peringatan akan terjadi pembalikan tren.
"Secara historis, itu terlalu tinggi.. dan rasio harga terhadap laba bersih per saham (Price to earning/PE Ratio) indeks S&P sudah 25,1 kali untuk laba bersih 12 bukan ke depan, yang berarti 52% di atas rerata PE sejak 2000," tuturnya, sebagaimana dikutip CNBC International.
Rasio PE adalah alat penting dalam menilai valuasi saham. Level PE yang normal di AS rata-rata adalah 16,5 kali.
Dengan kombinasi sentimen tersebut, saham-saham sektor perdagangan, manufaktur, dan keuangan berpeluang menjadi pemberat utama pada perdagangan di hari pertama pekan ini jika memang impor anjlok parah.
Demikian juga sebaliknya yakni menjadi penggerak utama IHSG, jika data ekspor-impor nasional justru menunjukkan sinyal (sekecil apapun) bahwa aktivitas bisnis masih bertahan, dan bahkan bergulir meski dicekam pandemi Corona.
(ags)